SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 2020 - PERNYATAAN SIKAP FMN CABANG BANDUNG RAYA

 

PERNYATAAN SIKAP FMN CABANG BANDUNG RAYA

Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020

“Pemuda-Mahasiswa Harus Terlibat Aktif Dalam Menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja serta Mengecam Tindakan Represifitas Aparat Sebagai Kaki Tangan Rezim Jokowi dalam Memberangus Hak-Hak Demokratis Rakyat Bersama Klas Buruh dan Kaum Tani”

 

Salam Demokrasi!




 Dunia Kini Sedang Berada Dalam Cengkraman Krisis Imperialisme yang Sudah Akut

Dalam momentum Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020, Pemuda-Mahasiswa diperlihatkan dengan kondisi dunia yang sedang mengalami krisis Imperialisme yang sangat akut. Skala krisis Imperialisme yang akut tersebut sejatinya semakin nyata terlihat, bahkan sejak masa Depresi Besar 1930. Krisis Imperialisme yang akut tersebut diperparah dengan situasi pandemi Covid-19 yang sama sekali tidak bisa diselesaikan oleh negeri-negeri Imperialis. Konsekuensi dari krisis tersebut ialah bermilyar-milyar orang memasuki jurang kemiskinan, bahkan Bank Dunia sendiri sebagai lembaga multilateral yang dikemudikan oleh Imperialis AS mengatakan bahwa 150 juta orang jatuh dalam jurang kemiskinan pada 2021 nanti. Di AS sendiri, tingkat pertumbuhan ekonomi menurun hingga minus 32% pada kuartal II 2020, lalu di Jerman turun hingga minus 10% pada kuartal II 2020.

Di Indonesia sendiri, kemiskinan melonjak 10,2% dalam setahun, tingkat pengangguran naik 9,1% dari 5,5 juta jiwa menjadi 12,7 juta jiwa, dan bahkan hutang pemerintah juga melonjak tajam. Dalam satu tahun, rezim Jokowi menambah hutang sebesar Rp 323,27 triliun, sehingga total hutang hingga Agustus 2020 mencapai Rp 6.035,3 triliun. Tingkat pertumbuhan ekonomi sendiri pada kuartal III 2020 hanya mencapai minus 2,7%. Hal ini menandakan bahwa Indonesia sebagai negara setengah jajahan setengah feodal terus mendapatkan pelimpahan beban krisis dari negeri-negeri Imperialis. Rezim Jokowi sendiri sebagai rezim boneka pelayan Imperialis AS terus mempertahankan kondisi tersebut, bahkan dengan melakukan deregulasi,  liberalisasi dan swastanisasi untuk menancapkan kebijakan Neoliberal secara konsisten di Indonesia. Deregulasi itulah yang sering kita sebut sebagai Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah Regulasi yang Mensistematisasi Perampasan Tanah, Monopoli Tanah, dan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja

Sejak UU Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober lalu, rakyat Indonesia pada akhirnya menghadapi skema baru penindasan dan penghisapan Imperialisme yang dilaksanakan oleh rezim Jokowi. Disistematiskannya perampasan tanah, monopoli tanah, dan fleksibilitas pasar tenaga kerja untuk memberikan karpet merah bagi investasi modal asing membuat rakyat Indonesia semakin menderita dengan mengawetkan sistem politik upah murah. Bahkan ketika UU Cipta Kerja belum ditandatangani oleh Jokowi pun, beberapa kebijakannya sudah diterapkan oleh Pemerintah. Keluarnya SE Kemenaker No. M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 yang dimana isinya menetapkan bahwa Upah Minimum tahun 2021 tidak akan naik, membuktikan bahwa UU Cipta Kerja sudah dilaksanakan sebelum waktunya. Akibat daripada itu, klas buruh akan menghadapi kondisi penghisapan atas nilai lebih yang lebih massif lagi.

Selain itu, Menteri Agraria Sofyan Jalil juga mengatakan bahwa Pemerintah akan memberikan karpet merah bagi investasi dengan memberlakukan penyewaan tanah secara gratis untuk menarik investor asing masuk Indonesia. Tanpa peduli nasib kaum tani, rezim Jokowi melalui berbagai aparatusnya terus menerus merampas dan memonopoli tanah mereka untuk kepentingan para investor modal asing dengan dalih pembukaan Kawasan Ekonomi Khusus agar Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Indonesia dapat meningkat. Hal ini membuktikan bahwa kaum Imperialis melalui rezim pelayannya mempertahankan basis Feodalisme di pedesaan untuk terus mengakumulasikan modal, sehingga menguntungkan kaum Imperialis, borjuasi komprador, dan tuan tanah besar.

Di sektor pendidikan, pemuda-mahasiswa juga dihadapi oleh skema liberalisasi pendidikan dengan naiknya biaya perkuliahan di tengah pandemi Covid-19 dan pembelajaran melalui daring. Selain itu, munculnya Kebijakan Kampus Merdeka juga pada akhirnya membuat kampus menjadi institusi yang terus mereproduksi tenaga kerja cadangan yang bisa diupah murah menurut skema UU Cipta Kerja. Ditambah lagi dengan dicanangkannya program wajib militer pada akhirnya akan mengukuhkan kampus sebagai institusi kebudayaan yang dapat menopang seluruh skema penghisapan atas rakyat Indonesia yang dilakukan oleh kaum Imperialis melalui rezim pelayannya.

Keberadaan UU Cipta Kerja yang sudah disahkan oleh DPR tersebut pada akhirnya mendapatkan perlawanan yang cukup keras dari massa rakyat. Ekspresi massa rakyat secara spontan tumpah di berbagai kota di Indonesia. Tak terkecuali bagi klas buruh dan kaum tani yang terus konsisten menolak UU Cipta Kerja tersebut bersama Pemuda-mahasiswa. Sayangnya perlawanan massa rakyat tersebut belum cukup untuk menekan rezim Jokowi agar finalisasi pengesahan tidak dilakukan.

Perlawanan Massa Rakyat dalam Menolak UU Cipta Kerja Dibalas dengan Tindakan Fasis Rezim Jokowi Melalui Aparatus Bersenjatanya

Sejak awal tahun hingga sekarang, perlawanan massa rakyat dalam menolak pengesahan UU Cipta Kerja terus dilakukan dan terus membesar. Seiring besarnya perlawanan tersebut, Rezim Jokowi melakukan tindakan fasis terhadap massa rakyat melalui aparatus bersenjatanya. Hingga hari ini, penangkapan, pemukulan, hingga penculikan yang dilakukan oleh aparat terus terjadi. Tindakan fasis tersebut diarahkan untuk membungkam aktivis massa pro demokratis yang sedang berjuang. Akibatnya terdapat sekitar 5800 orang yang ditangkap dan beberapa lainnya diculik hingga hilang tanpa jejak. Di Makassar sendiri, kawan Ijul selaku Pimpinan FMN Cabang Makassar juga ditangkap melalui operasi Cyber Patrol oleh pihak Polrestabes Makassar. Kekerasan aparat dengan membubarkan massa aksi dalam menyuarakan pendapat berbalas dengan penangkapan terjadi juga di Kota Bandung, terhadap 8 orang aktivis gerakan mahasiswa dan 2 orang masih mendekam di Polrestabes Bandung. Jelas bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang sangat anti demokratis, sehingga kita sebagai Pemuda-mahasiswa harus mengecam tindakan tersebut.

Pemuda-Mahasiswa Harus Terlibat Aktif Dalam Perjuangan Klas Buruh dan Kaum Tani untuk Melawan Tiga Musuh Pokok Rakyat

Pemuda-mahasiswa sebagai salah satu pihak yang terdampak oleh adanya UU Cipta Kerja serta skema liberalisasi pendidikan untuk menopang kebudayaan Imperialis tersebut sudah seharusnya berada di posisi bertalian erat dengan klas buruh dan kaum tani dibawah pimpinan klas buruh. Karena tidak ada hari depan bagi pemuda-mahasiswa, tanpa berjuang bersama klas buruh dan kaum tani. Sehingga tidak ada jalan lain bagi Pemuda-mahasiswa untuk terus mengintensifkan perjuangan di dalam kampus untuk melawan liberalisasi pendidikan dan memenangkan tuntutan atas pemenuhan hak demokratisnya, serta terlibat aktif dalam perjuangan klas buruh dan kaum tani dalam mewujudkan Reforma Agraria Sejati serta membangun Industri Nasional yang mandiri dan berdaulat.

Maka dari itu, kami dari FMN Cabang Bandung Raya terus menyerukan kepada Pemuda-mahasiswa di Bandung Raya untuk berjuang bersama klas buruh dan kaum tani dibawah kepemimpinan klas buruh. Karena perlawanan terhadap rezim Jokowi sebagai rezim yang fasis dan anti demokratis, anti rakyat miskin hanya bisa dilakukan dibawah kepemimpinan klas buruh. Dengan pembangunan organisasi sebagai alat perjuangan yang dilandasi karakter demokratis anti imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat merupakan jawaban memberikan pengaruh rakyat dapat mempunyai alat perjuagannya yang mandiri, dengan semangat garis perjuangan Demokrasi Nasional, yaitu Perjuangan Demokratis anti Feodal yang mampu memukul tuan tanah besar negara maupun swasta yang eksis di pedesaan, serta Perjuangan Pembebasan Nasional anti Imperialisme yang dapat mengusir Imperialisme dari negeri Indonesia dalam sekali pukul.

Karena sejatinya Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional tidak bisa dilakukan tanpa melalui perjuangan Demokrasi Nasional. Perjuangan Demokrasi Nasional adalah jalan keluar dari keberlangsungan krisis akut yang dialami oleh rakyat agar rakyat berdaulat atas hak – hak demokratisnya.

Berdasarkan pandangan diatas, kami FMN Cabang Bandung Raya menyatakan sikap pada momentum HARI SUMPAH PEMUDA 2020 sebagai berikut.

  1. Menolak pengesahan UU Cipta Kerja dan ambil bagian aktif untuk terlibat berjuang bersama klas buruh dan kaum tani dalam perlawanan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja yang sangat menyengsarakan rakyat Indonesia;
  2. Terus konsisten untuk berjuang bersama klas buruh dan kaum tani dalam melawan seluruh skema kebijakan Neoliberal dari rezim boneka Jokowi, yang mana kebijakan-kebijakan tersebut hanya akan menghancurkan kedaulatan nasional dan memperparah kemiskinan di Indonesia;
  3. Berjuang bersama klas buruh dan kaum tani untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional yang berdaulat serta mandiri dalam perjuangan Demokrasi Nasional;
  4. Menentang dan mengecam segala bentuk tindakan represifitas aparat sebagai kaki tangan dari rezim boneka Jokowi untuk memberangus hak-hak demokratis rakyat; serta
  5. Menolak segala skema liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan serta menuntut diberlakukannya sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.

Demikianlah pernyataan sikap FMN Cabang Bandung Raya dalam momentum Hari Sumpah Pemuda 2020 di tanggal 28 Oktober ini.

 

JAYALAH PERJUANGAN MASSA RAKYAT TERTINDAS!

HIDUP KLAS BURUH DAN KAUM TANI!

TOLAK OMNIBUS LAW! JEGAL OMNIBUS LAW SAMPAI GAGAL! BATALKAN OMNIBUS LAW SECARA KESELURUHAN TANPA SYARAT SEKARANG JUGA!

 

 

Bandung, 28 Oktober 2020

Pimpinan Cabang FMN Bandung Raya

 

 


Share:

TOLAK DAN BATALKAN UU CIPTA KERJA! - PERNYATAAN SIKAP FRONT RAKYAT MEMBATALKAN OMNIBUS LAW (FORMO)

 

Pernyataan Sikap

Front Rakyat Membatalkan Omnibus Law (FORMO)







TOLAK DAN BATALKAN UU CIPTA KERJA!

RAKYAT INDONESIA BUKAN BUDAK BANGSA ASING!

LAKSANAKAN LANDREFORM SEJATI DAN PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL!

 

Sejak berada dibawah dominasi Imperialisme di abad 20, rakyat Indonesia telah menghadapi krisis kronis, yang semakin parah saat kaum Imperialis mengalihkan bebannya ke negeri setengah jajahan seperti Indonesia. Di masa pandemi Covid-19, krisis kronis tersebut semakin akut dan tidak tertangguhkan oleh rakyat Indonesia. Rezim Jokowi tidak sanggup mengatasi Covid-19 selain menambah beban hutang baru mencapai Rp 400-600 triliun, merampas hak-hak demokratis rakyat, dan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi minus 5,32% pada kuartal ke II dan minus 2,7% pada kuartal III tahun 2020. Di masa krisis tersebut, rakyat semakin sulit menafkahi keluarganya, semakin banyak yang kehilangan pekerjaannya, serta kehilangan syarat untuk bertahan hidup.

Dalam mengatasi krisis Imperialisme yang sudah kronis tersebut, rezim Jokowi malah menetapkan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sejatinya merupakan pesanan dari kaum Imperialis untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia melalui kelancaran investasi dan hutang. UU Cipta Kerja tersebut jelas merupakan upaya baru dari kaum Imperialis untuk merintangi tuntutan mendesak rakyat, yaitu Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional, juga merintangi gerakan pembebasan rakyat dari dominasi Imperialisme. Dalih pemerataan lapangan kerja digunakan untuk mempercepat dan memperkuat monopoli tanah melalui pembangunan infrastruktur strategis nasional, perluasan perkebunan berskala besar, food estate, korporasi pertanian, pertambangan besar, dan taman nasional berkedok konservasi. Kaum tani, nelayan, suku adat, dan suku bangsa minoritas di Indonesia akan semakin dirampas tanah dan kekayaan alamnya, hanya akan menjadi klas buruh dengan upah yang sangat murah atau tani miskin yang dipaksa hidup dalam sistem pertanian skala kecil dan terbelakang dibawah dominasi tuan tanah besar.

Penerapan UU Cipta Kerja juga terang-terangan merampas hak-hak dasar ekonomi seperti upah, memperpanjang jam kerja, memperburuk kondisi kerja, mempermudah dan menghilangkan kompensasi PHK, memperpendek waktu untuk proses perizinan bagi Imperialis dan kaki tangannya untuk menanamkan modal di Indonesia. Seluruh skema perampasan tanah dan upah berkedok lapangan kerja dan pembangunan sepenuhnya ditopang oleh kapital produktif-investasi dan kapital hutang milik Imperialis, dan kembali terakumulasi bagi kekayaan Imperialis, khususnya Imperialis AS.

Alih-alih menjawab dan membatalkan UU Cipta Kerja, rezim Jokowi justru mengintimidasi, menangkap, menganiaya buruh, kaum tani, pemuda-mahasiswa, dan golongan rakyat tertindas lainnya yang menentang pengesahan UU ini. Bahkan para pelajar dipukuli, ditembak dengan gas air mata, dan ditangkap. Sebanyak 5.918 orang ditangkap, disiksa, dan ribuan lainnya menjadi korban pemukulan. Bahkan untuk meredam gerakan pemuda-mahasiswa, rezim Jokowi mengeluarkan SE Kemendikbud No. 1035/E/KM/2020 tentang Pembelajaran Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja yang justru isinya sangat tidak demokratis.

Aksi massa di berbagai daerah menjadi ekspresi ketidakpercayaan dan pertentangan nyata massa rakyat terhadap rezim Jokowi yang semakin menunjukkan wajah sejatinya sebagai pelayan Kapitalis Monopoli Internasional. Pengajuan berikutnya pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR menjadi bukti bagi rakyat bahwa rezim Jokowi tidak akan memperjuangkan aspirasi sejati rakyat Indonesia untuk melaksanakan Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional, sebaliknya, rezim Jokowi menjadi penyedia instrumen hukum untuk memfasilitasi kepentingan Kapitalis Monopoli Internasional yang disokong oleh Borjuasi Besar Komprador dan Tuan Tanah Besar di dalam negeri.

Dengan pandangan diatas, kami organisasi yang tergabung di dalam Front Rakyat Membatalkan Omnibus Law (FORMO) menyatakan Menentang dan Menolak Pemberlakuan Omnibus Law UU Cipta Kerja, serta menuntut Rezim Jokowi untuk membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja Secara Keseluruhan Tanpa Syarat, serta menuntut:

  1. Hentikan monopoli dan perampasan lahan di pedesaan;
  2. Naikkan upah buruh tani;
  3. Hentikan kriminalisasi terhadap aktivis massa pro demokrasi;
  4. Maksimalkan kinerja pengawasan Disnaker;
  5. Tetapkan UMK yang layak bagi klas buruh tahun 2021;
  6. Hentikan PHK di masa pandemi Covid-19;
  7. Tolak kebijakan Kampus Merdeka yang melanggengkan liberalisasi pendidikan;
  8. Tolak program Wajib Militer di institusi pendidikan, sekolah, dan kampus;
  9. Turunkan harga sarana produksi pertanian, mencakup pupuk, bibit, dan alat-alat pertanian; serta
  10. Hentikan segala bentuk dan tindakan fasis rezim Jokowi dalam memberangus hak-hak demokratis rakyat;

Selain itu, kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia yang terdiri atas klas buruh, kaum tani, nelayan, pemuda, mahasiswa, kaum perempuan, pelajar, pekerja seni, kaum profesional intelektual, dan golongan rakyat tertindas lainnya untuk melawan pengesahan UU Cipta Kerja, dan berjuang lebih gigih untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati dan Industri Nasional untuk kesejahteraan rakyat.

 

Bandung, 20 Oktober 2020

 

Hormat Kami

Front Rakyat Membatalkan Omnibus Law (FORMO)

 

 

Slamet Priyanto

Penanggung Jawab

 

FPPB-KASBI Bandung Raya, PEPPSI-FSPPI, GOBSI, SEKAR, KSPN, SPN, AGRA Wilayah Jawa Barat, FMN Cabang Bandung Raya, BEM REMA UPI, UKSK UPI, PEMBARU Ranting Majalaya-Ciparay, ASOEMSI IKOPIN, LPPMD UNPAD, Komunitas Pasar Gratis Jatinangor, Rancaekek Unite, PMII Komisariat UIN Sunan Gunung Djati Cabang Kabupaten Bandung, Tim Medis Universitas Bhakti Kencana, dan Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UNINUS

 

Share:

TOLAK DAN BATALKAN UU CIPTA KERJA! - BROSUR UNTUK KLAS BURUH INDONESIA

 

TOLAK DAN BATALKAN UU CIPTA KERJA!

BURUH INDONESIA BUKAN BUDAK BANGSA ASING! LAKSANAKAN LANDREFORM SEJATI DAN PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL!

 

Tim Propaganda

FPPB-KASBI Bandung Raya

 dan

Pimpinan Cabang

FMN Cabang Bandung Raya

 



 

Apa itu Omnibus Law UU Cipta Kerja?

Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah undang-undang sapu jagat yang mencakup banyak peraturan dan meringkas segala peraturan yang sebelumnya. Omnibus Law merupakan pelaksanaan dari kebijakan Neoliberalisme yang memudahkan seluruh aktivitas penanaman modal asing di satu negeri. Di Indonesia terdapat UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober pada rapat paripurna DPR atas permintaan Pemerintahan Jokowi. Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, rezim Jokowi telah memantapkan dirinya sebagai Pemerintah boneka Imperialis Amerika Serikat (AS) yang menindas serta menghisap rakyat Indonesia, utamanya klas buruh dan kaum tani.

Darimana datangnya kebijakan Omnibus Law UU Cipta Kerja?

Omnibus Law UU Cita Kerja sengaja dirancang oleh rezim Jokowi sebagai persembahan untuk memperlancar dan memudahkan ekspor kapital Imperialis pimpinan Amerika Serikat di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memperkuat cengkeraman penghisapan Imperialis AS di negara-negara boneka (jajahan) termasuk Indonesia. Tujuan utama Omnibus Law adalah menyejahterakan kaum pemodal asing, pengusaha komprador dan tuan tanah besar di dalam negeri dengan membuka ruang eksploitasi besar-besaran atas tenaga kerja dan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Maka jelas, Omnibus Law UU Cipta Kerja hadir sebagai penghalang besar bagi landreform sejati dan pembangunan industri nasional yang sangat merugikan klas buruh dan kaum tani Indonesia.

Kenapa rezim Jokowi membuat kebijakan Omnibus Law UU Cipta Kerja?

Kebijakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dirancang oleh rezim boneka Jokowi hakikatnya adalah dikte langsung dari kapitalis monopoli internasional pimpinan Amerika Serikat. Kebijakan tersebut secara langsung adalah pelimpahan beban krisis yang tengah dialami oleh negara-negara Imperialis. Dampak konkrit Omnibus Law akan menciptakan krisis kronis di Indonesia dan memperparah jurang kemerosotan penghidupan rakyat Indonesia. Rezim boneka Jokowi sebagai kaki tangan langsung Imperialis AS akan semakin dalam menindas kehidupan rakyat dengan memperparah perampasan akan upah, tanah dan lapangan pekerjaan. Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, rezim boneka Jokowi akan semakin melestarikan karakter negara Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan setengah feodal yang tidak mempunyai kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Kenapa klas buruh Indonesia harus Menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja?

Karena beberapa pasal sangat merugikan klas buruh dan menguntungkan klas pemodal. Diantaranya ialah:

  1. Ketentuan mengenai upah minimum yang sebelumnya setiap wilayah kabupaten/kota mempunyai wewenang untuk menentukannya (sesuai pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan), dalam UU Cipta Kerja pasal 88C Bab Ketenagakerjaan ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa upah minimum kabupaten/kota dapat ditetapkan oleh gubernur dengan syarat tertentu, diantaranya ialah memperhatikan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi di kabupaten/kota tersebut (seperti yang telah ditentukan dalam PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan). Selain itu, ketentuan mengenai upah satuan waktu dan hasil yang sebelumnya tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan, diatur dalam pasal 92 UU Cipta Kerja. Dalam pasal tersebut, pengusaha diberikan kebebasan untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada buruh sebagai dasar penghitungan upah;
  2. Mengenai pesangon bagi buruh yang di-PHK, diatur dalam pasal 156 UU Cipta Kerja, dimana pesangon hanya meliputi cuti tahunan yang belum gugur, biaya/ongkos pulang buruh ke keluarganya, dan hal-hal lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan maksimal penerimaan sebesar 25 kali upah pokok per bulan. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan, selain yang telah disebutkan diatas, uang penggantian hak juga meliputi penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari pesangon bagi yang memenuhi syarat. Dalam UU Ketenagakerjaan juga disebutkan bahwa maksimal pesangon sebesar 32 kali upah pokok per bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa nominal pesangon di UU Cipta Kerja menurun. Sebanyak 6 dari 25 kali upah yang dibayarkan menjadi pesangon berasal dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan dalam naungan BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa klas buruh yang membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sendirilah yang membayar pesangon mereka, bukan murni dari pengusaha atau anggaran negara;
  3. Mengenai cuti biologis bagi kaum perempuan seperti cuti haid (yang diatur sebelumnya dalam pasal 81 UU Ketenagakerjaan), cuti hamil-melahirkan (yang diatur sebelumnya dalam pasal 82 UU Ketenagakerjaan), serta cuti menyusui (yang diatur sebelumnya dalam pasal 83 UU Ketenagakerjaan) ditiadakan dalam UU Cipta Kerja.  Selain itu, dalam pasal 80 UU Ketenagakerjaan diatur soal kesempatan untuk melakukan ibadah yang secukupnya bagi klas buruh. Tetapi dalam UU Cipta Kerja, hal tersebut tidak diatur sama sekali. Selain itu, cuti keagamaan juga ditiadakan dalam UU Cipta Kerja. Sedangkan untuk cuti tahunan diatur dalam pasal 79 UU Cipta Kerja;
  4. Mengenai outsourcing, UU Cipta Kerja pasal 89 menghapus pasal 65 dan mengubah pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan perubahan tersebut akan berdampak semakin merajalelanya buruh outsourcing karena tidak ada lagi pembatasan jenis pekerjaan outsourcing. Sedangkan ketentuan mengenai PKWT dan PKWTT telah diatur dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan dengan maksimal 2 tahun dan lalu bisa diperpanjang hingga 1 tahun, namun dalam UU Cipta Kerja pasal 89 tidak mengatur batas maksimal waktu perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum, sehingga membuka kesempatan status buruh kontrak jadi tidak terbatas;
  5. Mengenai jam kerja, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa waktu lembur maksimal 3 jam per hari dan 14 jam per minggu, namun dalam UU Cipta Kerja pasal 89 menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu; sehingga waktu kerja buruh semakin panjang;
  6. Mengenai PHK diatur dalam pasal 151 UU Ketenagakerjaan, dimana dalam aturan tersebut ketentuannya sangat banyak, sedangkan dalam UU Cipta Kerja pasal 153 dan pasal 154A menghilangkan ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga pengusaha bisa seenaknya melakukan PHK sepihak kepada klas buruh.

(Sumber: Draf RUU Cipta Kerja versi awal, versi 905 halaman, dan versi 812 halaman)

Dari hal-hal tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa klas pemodal akan semakin menghisap klas buruh melalui UU Cipta Kerja dengan berbagai mekanisme aturan yang semakin menguntungkan mereka. Oleh karena itu, klas buruh harus mengetahui UU Cipta Kerja sebagai bentuk penghisapan yang lebih ekstrim lagi daripada UU Ketenagakerjaan dan PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.

Apa yang harus dilakukan klas buruh terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja?

Klas Buruh Indonesia harus tegas menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sejatinya hanya memberikan pelayanan kepada kapitalis asing dan kaki tangannya di dalam negeri yakni kapitalis Komprador dan Tuan Tanah besar untuk menjalankan ekspor kapital serta menjadikan Indonesia sebagai negeri terbelakang, bergantung dan dipaksa mengemis dengan hutang, investasi serta menjadi pasar bagi produk-produk Imperialis. Klas buruh Indonesia harus mengerti dan memahami bahwa Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalis Birokrat merupakan musuh utama rakyat Indonesia. Perlawanan klas buruh Indonesia juga harus dibarengi dengan pembangunan serikat buruh yang independen dan memiliki semangat militan serta mempunyai strategi jangka panjang agar terus bisa melawan segala bentuk kebijakan dari rezim klik reaksi yang melanggengkan sistem setengah jajahan dan setengah feodal.

Strategi dan taktik yang tepat untuk melawan segala kebijakan rezim boneka Jokowi hanya bisa dicapai oleh persatuan kuat yang didasari oleh aliansi dasar klas buruh dan kaum tani sebagai mayoritas rakyat Indonesia dan menarik dukungan luas dari pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan profesional. Adapun metode perlawanan klas buruh dalam merespon Omnibus Law ini bisa dilakukan dengan cara melakukan aksi massa yang terpimpin dan terorganisir serta bisa melakukan aksi mogok kerja secara militan agar dapat menghentikan aliran keuntungan para pemodal. Karena pemogokan merupakan senjata utama dari klas buruh untuk menekan klas pemodal agar mau menuruti segala permintaan klas buruh.

Apakah gerakan rakyat menentang UU Cipta Kerja bergerak berdasarkan hoax?

Gerakan massa menolak Omnibus Law UU Cipta kerja yang bergejolak dari berbagai sektor di berbagai daerah membuktikan bahwa rezim Jokowi buta dan tuli terhadap suara dan protes rakyat tertindas di Indonesia. Rezim Jokowi menyebutkan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah jembatan emas yang memakmurkan rakyat Indonesia. Namun nyatanya apa yang disebut sebagai kemakmuran tersebut adalah hoaks terbesar yang disebarkan oleh pemerintah Jokowi. Dengan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan membuka ruang penghisapan, penindasan dan pemiskinan besar-besaran terhadap kaum tani dan klas buruh Indonesia. Pemberitaan terkait gerakan rakyat menolak Omnibus Law Cipta Kerja saat ini tidak direspon oleh rezim Jokowi saat ini. Rezim Jokowi dengan kotor dan keji malah membuat propaganda bohong dengan menuduh gerakan rakyat menolak Omnibus Law adalah tidak berdasar dan semata-mata terbawa hoax yang beredar.

Sejak disahkannya UU Cipta Kerja dalam rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020 di DPR, belum ada kejelasan dan tansparansi terkait draf final UU Ciptaker. Ketidakjelasan ini sengaja diciptakan oleh rezim Jokowi untuk menghambat kajian mandiri yang dilakukan oleh gerakan rakyat dan ditujukan untuk mendukung tuduhan keji rezim terhadap gerakan rakyat. Namun hoak dan manipulasi oleh rezim Jokowi ini tidak akan menghentikan kajian objektif sebagai landasan gerakan rakyat menolak Omnibus Law. Karena dari kelima draf UU Ciptaker tersebut sejatinya tidak ada perubahan secara hakikatnya, bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja akan menyengsarakan klas buruh dan kaum tani Indonesia.

Bila bukan Omnibus Law UU Cipta Kerja, apa solusi sejati ekonomi bagi rakyat Indonesia?

Krisis Imperialisme yang kronis pada akhirnya direspon oleh kaum Imperialis dengan meningkatkan keuntungan melalui laba super (super-profit) yang didapatkan dari penghisapan nilai lebih atas kerja buruh, serta bunga hutang yang terus digelontorkan ke negeri-negeri jajahan serta semi jajahan seperti Indonesia. Maka dari itu, rezim boneka pelayan Imperialis AS yang dipimpin oleh Jokowi merespon krisis tersebut dengan mempercepat pengesahan Omnibus Law yang sejatinya merupakan pesanan dari kaum Imperialis. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa Omnibus Law merupakan kelanjutan dari program fleksibilitas tenaga kerja yang telah disusun oleh kaum Imperialis melalui Bank Dunia, IMF, dan WTO. Maka dari itu, Omnibus Law yang bukan berasal dari aspirasi rakyat Indonesia, sama sekali tidak berpihak kepada rakyat Indonesia, khususnya klas buruh dan kaum tani.

Maka dari itu, solusi dari krisis ekonomi yang terus akut ini hanyalah Reforma Agraria Sejati serta pembangunan Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri. Reforma Agraria Sejati merupakan program pengembalian seluruh tanah dan sumber kekayaan alam yang telah dieksploitasi oleh tuan tanah swasta maupun negara kepada kaum tani agar dikelola secara mandiri. Reforma Agraria Sejati sendiri diadakan sebagai dasar untuk membangun Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri, bebas dari intervensi kapital asing serta mampu dijalankan oleh klas buruh. Tidak ada jalan lain bagi klas buruh, selain memimpin pembebasan rakyat Indonesia melalui kedua program tersebut tanpa bergantung kepada klas-klas reaksi yang telah menindas klas buruh dan seluruh rakyat tertindas di Indonesia.

 

 

 

Bandung, 16 Oktober 2020

Share:

TOLAK DAN BATALKAN UU CIPTA KERJA! - BROSUR UNTUK PEMUDA-MAHASISWA

 

TOLAK DAN BATALKAN UU CIPTA KERJA!

PEMUDA-MAHASISWA BANGKIT MELAWAN PENGHISAPAN DAN PENINDASAN SKALA MASSIF UNTUK MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI KEPADA RAKYAT!

 

Pimpinan Cabang

FMN Cabang Bandung Raya

 





Pengantar

Di tengah pandemi Covid-19, Imperialisme mengalami krisis overproduksi yang sangat akut, kapital yang terus membusuk dan bahkan lebih parah dari krisis finans yang terjadi pada 2008-2009. Amerika Serikat sendiri mengalami resesi pada kuartal II 2020. Konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat anjlok hingga 25% dan tingkat pertumbuhan ekonominya mencapai minus 32,9%. Negara-negara industri besar lainnya seperti Jerman juga mengalami krisis hingga tingkat pertumbuhan ekonominya anjlok, mencapai minus 10,1%.

Akan tetapi, Imperialisme yang dipimpin oleh Amerika serikat, tidak akan hancur dengan sendirinya, dia tidak akan menggali kubur dengan tangannya sendiri, walaupun membutuhkan fase pemulihan yang lebih panjang. Perang agresi dan intervensi adalah cara untuk pulih dari krisis, untuk memperkuat dominasi mereka ke negara-negara jajahan diseluruh dunia, memperlancar laju ekspor kapital dalam bentuk investasi langsung ataupun utang dan menguasai serta mengeruk sumber daya alam, memeras keringat klas buruh, kaum tani, dan seluruh rakyat tertindas di Dunia sehingga mendapatkan super profit yang lebih tinggi.

Sebagai salah satu negara yang hidup dibawah dominasi Imperialis AS, Indonesia melalui Pemerintahan bonekanya menjalankan dikte kebijakan Neoliberal dari tuannya. Untuk mengatur ulang semua regulasi (deregulasi) yang akan mempercepat laju ekspor kapital Imperialis dalam bentuk investasi langsung maupun utang. Dengan kata lain, Indonesia menanggung beban krisis Imperialis, sehingga krisis kronis yang terjadi di negara jajahan dan setengah jajahan seperti indonesia semakin parah. Indonesia sendiri mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai minus 5,32% pada kuartal II dan dapat diprediksikan Indonesia masih mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang minus pada kuartal III 2020 dikarenakan kontraksinya hanya mencapai 0,6% sampai 1,7%. Celakanya pertumbuhan ekonomi tersebut hanya bertumpu pada investasi dan hutang yang dibebankan diatas pundak penderitaan rakyat.

Di tengah krisis tersebut, rezim Jokowi mempercepat pengesahan produk undang-undang Omnibus Law yang terdiri atas berbagai klaster, diantaranya klaster perizinan usaha, ketenagakerjaan, hingga klaster pengadaan lahan. Omnibus Law sendiri merupakan undang-undang sapu jagat yang mencakup banyak peraturan dan meringkas segala peraturan sebelumnya. Produk hukum Omnibus Law di Indonesia sendiri merupakan bentuk deregulasi, yaitu salah satu dari kebijakan Neoliberal yang bertujuan untuk mempermudah penanaman modal asing di Indonesia dalam bentuk investasi dan hutang, dengan demikian  Rezim Jokowi menyeret beban krisis kronis bagi rakyat semakin dalam lagi.

 

Omnibus Law Adalah Solusi Licik Dari Imperialis untuk Menyelamatkan Diri dari Krisis  Yang Semakin Akut

Kebijakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dirancang oleh rezim boneka Jokowi sejatinya adalah dikte langsung dari kapitalis monopoli internasional pimpinan Amerika Serikat. Kebijakan tersebut secara langsung adalah pelimpahan beban krisis yang tengah dialami oleh negara-negara Imperialis. Dampak konkrit Omnibus Law akan menciptakan krisis kronis di Indonesia dan memperparah jurang kemerosotan penghidupan rakyat Indonesia. Rezim boneka Jokowi sebagai kaki tangan langsung Imperialis AS akan semakin jelas menindas kehidupan rakyat dengan memperparah perampasan akan upah, tanah dan lapangan pekerjaan. Melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, rezim boneka Jokowi akan semakin melestarikan karakter negara Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan setengah feodal yang tidak mempunyai kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Omnibus Law UU Cipta Kerja sengaja dirancang oleh rezim Jokowi sebagai persembahan untuk memperlancar dan memudahkan ekspor kapital Imperialis pimpinan Amerika Serikat di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memperkuat cengkeraman penghisapan Imperialis AS di negara-negara boneka (jajahan) termasuk Indonesia. Tujuan utama Omnibus Law adalah menyejahterakan kaum pemodal asing, pengusaha komprador dan tuan tanah besar di dalam negeri dengan membuka ruang eksploitasi besar-besaran atas tenaga kerja dan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Maka jelas, Omnibus Law UU Cipta Kerja hadir sebagai penghalang besar bagi Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional serta sangat merugikan klas buruh dan kaum tani Indonesia.

Mengapa bisa demikian?

Melalui Bank Dunia sebagai lembaga multilateral yang mengikuti dikte Imperialis AS. Bank Dunia tahun lalu merilis dokumen resmi bernama World Development Report 2019: The Changing Nature of Work yang dimana dalam dokumen tersebut berisi proyek Labour Market Flexibility atau Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja melalui otomasi kerja, teknologisasi, deregulasi sektor perburuhan, penyesuaian kebijakan pengupahan, fleksibilitas jam kerja, dan fleksibilitas tenaga kerja. Dokumen tersebut merupakan perintah yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota Bank Dunia yang notabene sebagian besarnya merupakan jajahan Imperialis AS, salah satunya ialah Indonesia. Melalui dokumen tersebut, Bank Dunia memerintahkan harus ada undang-undang baru yang mengatur tentang perburuhan,. Skema ini diperparah dengan adanya program Bank Dunia lainnya yang bernama Land Reform Market Oriented dan One Map Policy, yang mana kedua program tersebut dijalankan oleh rezim boneka pelayan Imperialis di Indonesia dengan bentuk kebijakan Reforma Agraria Palsu. Program tersebut pada hakikatnya ialah legalisasi aset dalam bentuk sertifikasi yang terhubung dengan program Bank Tanah. Program tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian investasi, pembangunan perkebunan skala besar, food estate, pembangunan infrastruktur untuk mempercepat mobilisasi sumber daya alam, dan melanggengkan monopoli tanah. Dengan demikian hal ini yang melatarbelakangi lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja

 

Omnibus Law Adalah Skema Penghisapan dan Penindasan Bagi Klas Buruh dan Kaum Tani Indonesia

Memangnya bagaimana isi dari Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut?

Pada hakikatnya, UU Cipta Kerja adalah skema perampasan upah yang lebih parah daripada UU Ketenagakerjaan serta PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (atau biasa disebut PP 78). Jika keberadaan buruh outsourcing dan kontrak dilegitimasi oleh adanya UU Ketenagakerjaan, maka fleksibilitas upah dan penetapan upah yang hanya berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi serta inflasi dilegitimasi oleh PP 78. Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, keduanya skema tersebut dilanggengkan dan bahkan disistematisasikan, sehingga pasar tenaga kerja menjadi lebih fleksibel lagi. Diantara ketentuan-ketentuan pelanggengan tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, ketentuan mengenai Upah Minimum yang sebelumnya setiap Bupati/Walikota mempunyai wewenang untuk menentukannya, seperti yang diatur dalam pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Maka dalam UU Cipta Kerja pasal 88C ayat (1) dan (2), Upah Minimum dapat ditetapkan oleh Gubernur dengan syarat-syarat tertentu. Kurang lebihnya, syarat-syarat tersebut sama persis dengan apa yang disebutkan dalam PP 78, yaitu kondisi ekonomi yang mencakup tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta ketenagakerjaan. Selain itu, Omnibus Law UU Cipta Kerja juga mengatur Upah per satuan waktu dan hasil yang disebutkan dalam pasal 92. Dalam pasal tersebut, klas pemodal diberi kebebasan untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada buruh sebagai dasar penghitungan upah. Itu berarti, bukan klas buruhlah yang menentukan skala upah berdasarkan hasil produksi mereka, melainkan klas pemodal.

Kedua, Mengenai pesangon bagi buruh yang di-PHK, diatur dalam pasal 156 UU Cipta Kerja, dimana pesangon hanya meliputi cuti tahunan yang belum gugur, biaya/ongkos pulang buruh ke keluarganya, dan hal-hal lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan maksimal penerimaan sebesar 25 kali upah pokok per bulan. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan, selain yang telah disebutkan diatas, uang penggantian hak juga meliputi penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari pesangon bagi yang memenuhi syarat. Dalam UU Ketenagakerjaan juga disebutkan bahwa maksimal pesangon sebesar 32 kali upah pokok per bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa nominal pesangon di UU Cipta Kerja menurun. Sebanyak 6 dari 25 kali upah yang dibayarkan menjadi pesangon berasal dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan dalam naungan BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa klas buruh yang membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sendirilah yang membayar pesangon mereka, bukan murni dari pengusaha atau anggaran negara.

Ketiga, mengenai cuti biologis bagi kaum perempuan seperti cuti haid (yang diatur sebelumnya dalam pasal 81 UU Ketenagakerjaan), cuti hamil-melahirkan (yang diatur sebelumnya dalam pasal 82 UU Ketenagakerjaan), serta cuti menyusui (yang diatur sebelumnya dalam pasal 83 UU Ketenagakerjaan) ditiadakan dalam UU Cipta Kerja.  Selain itu, dalam pasal 80 UU Ketenagakerjaan diatur soal kesempatan untuk melakukan ibadah yang secukupnya bagi klas buruh. Tetapi dalam UU Cipta Kerja, hal tersebut tidak diatur sama sekali. Selain itu, cuti keagamaan juga ditiadakan dalam UU Cipta Kerja. Sedangkan untuk cuti tahunan diatur dalam pasal 79 UU Cipta Kerja.

Keempat, mengenai outsourcing, UU Cipta Kerja pasal 89 menghapus pasal 65 dan mengubah pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan perubahan tersebut akan berdampak semakin merajalelanya buruh outsourcing karena tidak ada lagi pembatasan jenis pekerjaan outsourcing. Sedangkan ketentuan mengenai PKWT dan PKWTT telah diatur dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan dengan maksimal 2 tahun dan lalu bisa diperpanjang hingga 1 tahun, namun dalam UU Cipta Kerja pasal 89 tidak mengatur batas maksimal waktu perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum, sehingga membuka kesempatan status buruh kontrak jadi tidak terbatas.

Kelima, mengenai jam kerja, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa waktu lembur maksimal 3 jam per hari dan 14 jam per minggu, namun dalam UU Cipta Kerja pasal 89 menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu; sehingga waktu kerja buruh semakin panjang.

Keenam, Mengenai PHK diatur dalam pasal 151 UU Ketenagakerjaan, dimana dalam aturan tersebut ketentuannya sangat banyak, sedangkan dalam UU Cipta Kerja pasal 153 dan pasal 154A menghilangkan ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga pengusaha bisa seenaknya melakukan PHK sepihak kepada klas buruh[1].

Contoh-contoh tersebut telah membuktikan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja memang menjadi landasan yang paling ekstrim untuk menghisap serta menindas klas buruh Indonesia.

Bagaimana dengan dampak Omnibus Law UU Cipta Kerja terhadap kaum tani?

Menteria Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil pada 15 Oktober lalu mengatakan bahwa Pemerintah sedang menggalakkan banyaknya investor masuk ke dalam negeri melalui berbagai regulasi, baik Omnibus Law UU Cipta Kerja maupun kemudahan pengadaan tanah yang bisa diperoleh investor secara cuma-cuma alias gratis.

Omnibus Law UU Cipta kerja, tidak menjawab sedikitpun persoal kaum tani, sebaliknya, sebagai penghalang baru bagi Reforma Agraria Sejati dan Industri Nasional  sebagai aspirasinya kaum tani dan rakyat Indonesia. Perampasan tanah akan semakin masif, dengan dalih pengadaan tanah untuk kepentingan umum (yang diatur dalam UU Cipta Kerja), untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, pembangunan perkebunan skala besar yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku  bagi kapitalis besar monopoli, serta pembangunan food estate.

Selain itu, tanah kaum tani juga akan terus dirampas dengan adanya Bank Tanah yang diatur dalam pasal 125 dan 126 UU Cipta Kerja. Bank Tanah tersebut melanggengkan program Land Reform Market Oriented, dimana Bank Tanah akan mengelola dan mendistribusikan lahan untuk kepentingan penanaman modal asing. Pasal 129 ayat (4) UU Cipta Kerja bahkan menyebutkan bahwa Bank Tanah dihadirkan dalam rangka mendukung investasi, sehingga Bank Tanah mempunyai wewenang untuk melakukan penyusunan rencana induk, memberikan kemudahan perizinan berusaha, melakukan pengadaan lahan, serta menentukan tarif pelayanan.

Kebijakan tersebut hanya akan memasifkan perampasan tanah, melanggengkan monopoli tanah, dan semakin memiskinkan kaum tani di Pedesaan. Kaum tani yang menggantungkan hidupnya secara turun temurun di sekitar kawasan hutan, petani pemukim, dan petani penggarap hutan  akan dikambinghitamkan sebagai perambah hutan, pembalak liar, perusak lingkungan, dan dihantui dengan sanksi dan denda yang sangat berat. Rezim ini akan terus menutup mata terkait semakin tingginya ekspor bahan baku kayu yang dilakukan oleh perusahaan negara ataupun swasta untuk memenuhi kebutuhan perusahaan besar asing[2].

Undang-undang ini, tentunya sangat mendukung kedatangan ekspor kapital yang merupakan salah satu dari pokok Imperialisme. Seperti yang kita ketahui, kepentingan kaum Imperialis di Indonesia diantaranya ialah eksploitasi sumber daya alam, eksploitasi tenaga kerja berupah murah, menjadikan Indonesia sebagai pasar penjualan komoditas, serta untuk menanamkan investasi dan hutang. Lalu hoaks apalagi yang dihadirkan rezim Jokowi untuk memiskinkan klas buruh dan kaum tani Indonesia sekarang?

 

Kenapa Pemuda-Mahasiswa Harus Menentang Omnibus Law?

Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak hanya berdampak ke klas buruh dan kaum tani saja. Walaupun rezim Jokowi mengklarifikasi bahwa klaster pendidikan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Di dalam UU Cipta Kerja versi terakhir (812 halaman) banyak menyebutkan soal pelaksanaan perizinan sektor pendidikan serta pelaksanaan pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus. Selain itu terdapat program Kampus Merdeka, yang pada hakikatnya hanya untuk memobilisasi tenaga kerja murah melalui skema program magang.

Pertama, soal perizinan sektor pendidikan yang diatur dalam paragraf 12 pasal 65 UU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Dengan demikian, bisnis pendidikan akan merajalela jika UU Cipta Kerja ini diterapkan. Hal ini secara historis bertentangan dengan visi pendidikan yang salah satunya ialah nirlaba. Tetapi kita perlu ingat, sejak sektor pendidikan masuk ke dalam General Agreement on Trade in Service (GATS), WTO memposisikan pendidikan sebagai sektor dagang tersier. Hal tersebut diperparah dengan adanya Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Right (TRIPs) yang dimana perjanjian tersebut ditujukan untuk dapat mengakumulasi keuntungan dari bisnis pendidikan. Kebijakan yang melatarbelakangi komersialisasi pendidikan lewat sistem pembayaran UKT. Di Amerika Serikat sendiri, kebijakan tersebut berdampak pada kenaikan biaya pendidikan tinggi hingga mencapai 1120% dalam rentang 1970-2012.

Indonesia meratifikasi seluruh perjanjian Neoliberal tersebut melalui berbagai macam produk hukum, seperti UU Sisdiknas tahun 2003 dan UU Perguruan Tinggi tahun 2012. Keduanya secara halus mencantumkan bahwa pendidikan bisa dikomersialisasikan. Selain itu, melalui kedua peraturan tersebut, sektor pendidikan mengalami swastanisasi besar-besaran. Itu artinya, skema liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan berjalan mulus dengan skema yang menindas pemuda–mahasiwa di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada naiknya biaya sekolah dan kuliah per tahun dan semakin eratnya hubungan antara institusi pendidikan dengan korporasi multinasional. Kita bisa lihat bahwa untuk tahun ajaran 2017/2018 saja, rata-rata biaya pendidikan SD mencapai Rp 2,4 juta; SMP mencapai Rp 4,2 juta; dan SMA/SMK mencapai Rp 6,5 juta. Sedangkan untuk biaya pendidikan tinggi rata-rata mencapai Rp 15,3 juta per semester. Bandingkan denngan upah klas buruh rata-rata di Indonesia pada 2019 yang hanya mencapai Rp 2,91 juta per bulan.

Didalam pasal 65 UU Cipta Kerja, definisi yang termaktub dalam ayat (1) di pasal tersebut adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Konsekuensinya ialah lembaga atau institusi pendidikan akan berstatus perusahaan, itu berarti komersialisasi pendidikan. Ini adalah salah satu bentuk ratifikasi kompleks yang dilakukan oleh rezim Jokowi terhadap program WTO yang berkaitan dengan liberalisasi pendidikan. Padahal dalam UU Sisdiknas yang statusnya sudah meliberalisasi pendidikan saja tidak mencantumkan definisi tersebut, dan bahkan disebutkan bahwa sektor pendidikan itu nirlaba. Hal ini akan memicu rendahnya rakyat dalam mengakses pendidikan. BPS sendiri mencatat pada Februari 2020, pekerja terbanyak adalah lulusan SD dan hampir semuanya ialah buruh kontrak atau outsourcing.

Lalu bagaimana dengan Kebijakan Kampus Merdeka?

Terdapat 4 pokok Kebijakan Kampus Merdeka yang dicanangkan sejak Februari lalu, yaitu 1) pembukaan program studi baru; 2) sistem akreditasi perguruan tinggi; 3) Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, serta; 4) hak belajar tiga semester di luar program studi. Keempatnya membuka kesempatan korporasi multinasional untuk menjajaki sektor pendidikan tinggi sebagai sektor yang profit-oriented. Selain mencetak komoditas pendidikan yang terdiri atas hasil-hasil penelitian, Kebijakan Kampus Merdeka juga akan mencetak tenaga kerja cadangan yang cakap, profesional, namun tetap berupah murah.

Dalam Kebijakan Kampus Merdeka disebutkan bahwa mitra yang dapat bekerjasama dengan sektor pendidikan tinggi diantaranya ialah korporasi multinasional, korporasi teknologi global, korporasi startup teknologi, organisasi multilateral, serta BUMN dan BUMD. Kalau kita tilik, semua mitra tersebut berkepentingan untuk menghasilkan profit melalui perampasan nilai lebih, sehingga jelas kepentingan mereka untuk menjadi mitra di sektor pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan profit pula dengan membuka program studi baru di perguruan tinggi.

Mengenai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) sendiri yang sudah jelas merupakan produk liberalisasi pendidikan tinggi juga diatur dalam Kebijakan Kampus Merdeka. Seluruh Perguruan Tinggi Negeri atau PTN akan dipermudah untuk menjadi PTN-BH dengan berbagai syarat kemudahannya, seperti tanpa ada akreditasi maksimum, dan PTN-BLU atau Satker dapat mengajukan permohonan menjadi Berbadan Hukum kapan pun jika sudah siap. Itu artinya rezim Jokowi akan melakukan percepatan liberalisasi pendidikan tinggi melalui Kebijakan Kampus Merdeka tersebut.

Selain itu, mengenai hak belajar di luar Program Studi akan dilaksanakan selama 2 semester atau 40 SKS di luar perguruan tinggi, atau melaksanakan program kerja magang; serta mengambil 1 semester atau 20 SKS di Program Studi yang berbeda namun dalam naungan Perguruan Tinggi yang sama. Jelas bahwa hal ini sesuai dengan semangat Omnibus Law UU Cipta Kerja yang membuka investasi besar-besaran, karena investor butuh pekerja handal namun bisa diupah murah. Kemunculan buruh magang sendiri bahkan ditargetkan oleh rezim Jokowi. Contohnya pada 2017, dimana rezim Jokowi menargetkan jumlah buruh magang sebanyak 163 ribu orang dan program tersebut didukung oleh 2.648 perusahaan, dengan 1.776 diantaranya ialah perusahaan manufaktur. Program pemagangan tersebut dilegitimasi melalui Permen No. 36 Tahun 2016 dimana dalam aturan tersebut, para buruh magang hanya diberi upah sebesar 60-75% dari UMK yang berlaku.

Beberapa hal tersebut sudah menjadi alasan bagi para pemuda-mahasiswa untuk menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja serta aturan-aturan yang menopangnya. Karena tidak ada hari depan bagi pemuda-mahasiswa jika tidak menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja dan berjuang bersama klas buruh dan kaum tani.

 

Pemuda-Mahasiswa Harus Mengorganisir Diri untuk Menentang Omnibus Law

Salah satu poin penting yang perlu kita sadari adalah bahwa penyakit anti-demokrasi telah akut menjangkit tubuh pendidikan di Indonesia. Pembungkaman dan pemberangusan suara kerap terjadi di antara dinding-dinding kampus sampai saat ini. Kampus sebagai lembaga pendidikan seharusnya menjadi wadah yang bebas untuk membedah segala hal secara objektif dan ilmiah, bukan malah menjadi penjara bagi gerakan progresif mahasiswa itu sendiri. Isu Omnibus Law yang tengah panas akhir-akhir ini, ternyata mampu menarik sorotan dari berbagai sektor rakyat, termasuk kaum intelektual. Berbagai hasil kajian yang dilakukan oleh kaum intelektual mampu melahirkan satu simpulan yang sama bahwa Omnibus Law akan dan hanya menyengsarakan rakyat. Tentunya Omnibus Law dengan segala kebusukannya telah menjadi pemantik terbentuknya kembali kesadaran pemuda-mahasiswa untuk bergerak bersama klas buruh dan kaum tani untuk memperjuangkan haknya dengan menolak keseluruhan UU Cipta Kerja di berbagai daerah. Namun, noktah hitam kecacatan pendidikan Indonesia kembali mencuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Kemendikbud No. 1035/E/KM/2020 perihal Himbauan Pembelajaran Secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja yang menjadi alat pemberangus dan pembungkaman suara mahasiswa. Rezim Jokowi hanya bisa memerintah pemuda-mahasiswa untuk belajar, belajar, dan belajar di dalam kelas seperti binatang peliharaan yang nantinya harus tunduk terhadap rezim. Rezim busuk ini mengharamkan segala bentuk kesadaran maju dari mahasiswa untuk bergerak bersama klas buruh dan kaum tani dengan ancaman akademik yang fasis dan tidak berdasar.

Maka mahasiswa harus mempunyai kesadaran dan mental yang kuat untuk menjalankan trah-nya dalam berjuang bersama klas buruh dan kaum tani sebagai rakyat terhisap di negeri setengah jajahan setegah feodal ini. Mahasiswa harus menggalang kekuatan untuk tetap konsisten bergerak berdasarkan pada tuntutan rakyat dan menyuarakan persatuan dalam perjuangan klas buruh dan kaum tani. Karena mahasiswa sejatinya bukan agent of change seperti yang disuarakan oleh rezim Orde Baru, tetapi merupakan pengiring perjuangan klas buruh dan kaum tani serta terpimpin oleh klas buruh. Karena itulah tidak hari depan bagi pemuda-mahasiswa, jika tidak ikut serta dalam perjuangan Demokrasi Nasional yang anti Imperialisme dan anti Feodalisme bersama klas buruh dan kaum tani.

 

Solusi Konkrit Bagi Rakyat Indonesia Bukan Omnibus Law, Tetapi Reforma Agraria Sejati dan Pembangunan Industri Nasional

Krisis Imperialisme yang kronis pada akhirnya direspon oleh Imperialis dengan meningkatkan keuntungan melalui laba super (super-profit) yang didapatkan dari penghisapan nilai lebih atas kerja buruh, serta bunga hutang yansg terus digelontorkan ke negeri-negeri jajahan serta semi jajahan seperti Indonesia. Maka dari itu, rezim boneka pelayan Imperialis AS yang dipimpin oleh Jokowi merespon krisis tersebut dengan mempercepat pengesahan Omnibus Law yang sejatinya merupakan pesanan dari Imperialis. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa Omnibus Law merupakan kelanjutan dari program fleksibilitas tenaga kerja yang telah disusun oleh Imperialis melalui Bank Dunia, IMF, dan WTO. Maka dari itu, Omnibus Law yang bukan berasal dari aspirasi rakyat Indonesia, sama sekali tidak berpihak kepada rakyat Indonesia, khususnya klas buruh dan kaum tani.

Maka dari itu, solusi dari krisis ekonomi yang terus akut ini hanyalah Reforma Agraria Sejati serta pembangunan Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri. Reforma Agraria Sejati merupakan program pengembalian seluruh tanah dan sumber kekayaan alam yang telah dieksploitasi oleh tuan tanah swasta maupun negara kepada kaum tani agar dikelola secara mandiri. Reforma Agraria Sejati sendiri diadakan sebagai dasar untuk membangun Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri, bebas dari intervensi kapital asing serta mampu dijalankan oleh klas buruh. Tidak ada jalan lain bagi klas buruh, selain memimpin pembebasan rakyat Indonesia melalui kedua program tersebut tanpa bergantung kepada klas-klas reaksi yang telah menindas klas buruh dan seluruh rakyat tertindas di Indonesia.

Lalu bagaimana caranya untuk mencapai Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional?

Cara satu-satunya untuk membebaskan klas buruh dan kaum tani dari penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh Imperialis dan sekutunya ialah perjuangan Demokrasi Nasional. Perjuangan Demokrasi Nasional ialah perjuangan demokratis anti Feodalisme dan perjuangan pembebasan nasional anti Imperialisme. Perjuangan Demokrasi Nasional adalah perjuangan untuk membebaskan rakyat Indonesia yang dipimpin oleh klas buruh dengan kekuatan pokok Kaum Tani serta golongan demokratis lainnya dari belenggu sistem Setengah Jajahan Setengah Feodal terhadap klik reaksi yang terdiri atas Feodalisme yang dipimpin oleh tuan tanah besar negara maupun swasta, Imperialis yang dipimpin oleh AS, serta Kapitalis Birokrat yang menjadi pemulus jalannya penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh tuan tanah dan borjuasi komprador yang dipimpin oleh Imperialis AS.

Dengan demikian, pada akhirnya nanti, perjuangan Demokrasi Nasional juga akan menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang diidam-idamkan oleh pemuda-mahasiswa, yaitu sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat. Mengapa harus begitu? Karena sistem pendidikan yang ilmiah akan menjamin keseluruhan ilmu pengetahuan bersesuaian dengan kenyataan konkrit rakyat. Sistem pendidikan yang demokratis juga akan menjamin kebebasan berserikat, berpendapat, dan berorganisasi bagi pemuda-mahasiswa. Sedangkan, sistem pendidikan yang mengabdi kepada masyarakat akan menjamin keseluruhan ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh pemuda-mahasiswa tidak sia-sia, tetapi akan diabdikan untuk kemajuan peradaban massa rakyat.

 

 

 

 

Bandung, 17 Oktober 2020



[1] Sumber: draf RUU Cipta Kerja versi final (812 halaman) dengan merujuk pula ke versi pertama (1028 halaman).

[2] Ibid.

Share:

PERNYATAAN SIKAP FMN CABANG BANDUNG RAYA - Batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai Alat bagi Imperialisme untuk Menghisap dan Menindas Klas Buruh Indonesia

 

PERNYATAAN SIKAP FMN CABANG BANDUNG RAYA

“Batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai Alat bagi Imperialisme untuk Menghisap dan Menindas Klas Buruh Indonesia”





 

Salam Demokrasi!

Pemerintah Joko Widodo sebagai rezim boneka Imperialis pada akhirnya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Walaupun rakyat secara massif menolak RUU tersebut, tetapi para kapitalis birokrat tersebut di gedung MPR tetap mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan dalih agar lapangan kerja terbuka secara luas. Pengesahan tersebut dilakukan bahkan dalam situasi pandemi Covid-19, dimana setiap hari, hampir 4 ribu jiwa terinfeksi. Bukannya mengatasi pandemi Covid-19 terus meluas tanpa kendali, pemeritah Jokowi malah mempercepat kebijakan deregulasi dalam bingkai neo-liberal bagi kepentingan imperialism pimpinan AS.

Sejak UU Ketenagakerjaan dan PP 78 ditetapkan, klas buruh Indonesia telah mengalami politik upah murah yang diwujudkan dalam penetapan upah minimum berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kini dengan ditetapkannya RUU Omnibus Law Cipta kerja sebagai undang-undang sapu jagat, maka klas buruh akan mengalami penghisapan yang lebih dalam lagi, tanpa perlindungan kerja dan semakin mengalami ketidakpastian kerja. Tidak ditetapkannya batasan waktu kontrak bagi buruh outsourcing, menghilangnya jaminan pesangon, ditetapkannya perhitungan upah per jam, hilangnya jaminan sosial bagi klas buruh, hingga hilangnya cuti haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Tidak adanya nomenklatur soal perempuan dalam UU Cipta Kerja tersebut juga menandakan tidak dipedulikannya kaum perempuan oleh rezim Jokowi.

Dengan nilai pertumbuhan ekonomi hingga minus tiga persen di kuartal III, Indonesia telah masuk dalam jurang resesi. Dengan demikian, terjadi gelombang PHK besar-besaran akibat krisis Imperialisme yang sudah semakin akut. Pemerintah Jokowi sebagai pelayan Imperialis AS tidak memiliki daya apapun selain menyuap rakyat miskin dengan BLT senilai Rp 300 ribu per 3 bulan yang sama sekali tidak menjamin penghidupan rakyat yang mengalami krisis makin kronis. Dengan ditetapkannya UU Cipta Kerja, akan terjadi gelombang pengangguran berskala masif akibat mudahnya perusahaan melakukan PHK terhadap klas buruh. Setelahnya, ketidakpastian kerja merupakan ancaman yang serius bagi klas pekerja yang di-PHK dan juga pemuda yang terus melakukan urbanisasi akibat terjadi perampasan lahan di perdesaan.

Perampasan tanah akan semakin masif dan dilegitimasi melalui UU Cipta Kerja dengan diperpanjangnya HGU hingga 90 tahun serta dimudahkannya korporasi untuk membuat AMDAL, sehingga perampasan tanah besar-besaran yang mengancam kaum tani akan menjadi pemandangan yang sering terjadi. Kebijakan tersebut merupakan dikte Bank Dunia melalui program One Map Policy yang telah ditetapkan tahun lalu dan diratifikasi menjadi Perpres Percepatan Reforma Agraria melalui mekanisme bagi-bagi sertifikat. Sejatinya bahkan Perpres tersebut merupakan wujud dari reforma agraria palsu ala Jokowi untuk mempercepat proses monopoli lahan skala massif oleh tuan tanah swasta maupun negara.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga berdampak pada sektor pendidikan. Dimana sejak pengesahannya, kluster pendidikan belum dibahas secara tuntas. Tetapi terdapat beberapa poin dalam RUU tersebut yang akan memperluas praktek komersialisasi pendidikan seperti kemudahan perizinan membuka institusi pendidikan, serta hadirnya kebijakan kampus merdeka yang memungkinkan institusi pendidikan menjadi link and match dengan korporasi, khususnya korporasi multinasional. Melalui kebijakan tersebut, mahasiswa dipaksa untuk menjadi buruh magang yang harus membayar uang kuliah hanya untuk bekerja di lingkungan korporasi. Kampus sebagai institusi yang mereproduksi tenaga kerja cadangan pada akhirnya secara terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang sangat menguntungkan bagi kaum imperialis. Munculnya kaum intelektual yang menjadi konsultan bagi rezim kapitalis birokrat, atau bahkan banyaknya lulusan kampus yang pada akhirnya bekerja menjadi buruh outsourcing menjadi bukti bahwa kampus benar-benar menjadi corong kebudayaan bagi Imperialisme.


Krisis Imperialisme hanya Bisa Diselesaikan Dengan Perjuangan Demokratis Nasional Dibawah Kepemimpinan Klas Buruh

Ditetapkannya UU Cipta Kerja pada akhirnya bukan menjadi jawaban yang tepat bagi klas buruh dan kaum tani di tengah situasi krisis Imperialisme yang semakin akut ini. Pada kenyataannya UU Cipta Kerja tersebut benar-benar membuka kran lebar bagi Imperialis AS untuk melakukan ekspor kapital ke negeri Indonesia, bahkan di tengah krisis kesehatan yang sedang terjadi pada saat ini.

Jelas bahwa apapun solusi yang ditawarkan oleh rezim Jokowi sangat bertentangan dengan keinginan rakyat Indonesia. Maka dari itu, solusi dari permasalahan tersebut ialah Reforma Agraria Sejati yang dijalankan dibawah kepemimpinan klas buruh dan disokong oleh kaum tani untuk menopang pembangunan industri nasional yang berdaulat dan mandiri. Perjuangan untuk mencapai hal tersebut harus perjuangan demokratis anti-Feodalisme dan perjuangan pembebasan nasional anti-Imperialisme, karena sejatinya Reforma Agraria Sejati akan menghapus sama sekali Feodalisme di pedesaan dan perjuangan pembebasan nasional yang melahirkan industri nasional akan mengusir Imperialisme dari negeri Indonesia.


Pentingnya Gerakan Massa Mahasiswa Berjuang Bersama Klas Buruh dan Kaum Tani

Massifnya gerakan massa mahasiswa dalam menentang pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan sebuah ekspresi klas yang tidak bisa diremehkan. Kekuatan pemuda-mahasiswa yang merupakan kaum intelektual harus mampu menyokong perjuangan klas buruh dan kaum tani dibawah kepemimpinan klas buruh. Maka dari itu, sangat penting bagi gerakan massa mahasiswa untuk berjuang beriringan bersama klas buruh dan kaum tani sebagai aliansi dasar yang mampu merubah tatanan sosial masyarakat. Tidak hari depan bagi pemuda-mahasiswa yang berjuang sendiri tanpa beraliansi dengan klas buruh dan kaum tani dengan jargon agent of change. Sejatinya pemuda-mahasiswa tidak akan bisa merubah tatanan sosial apapun jika tidak dipimpin oleh klas buruh.

Maka dari itu, kami dari FMN Cabang Bandung Raya yang merupakan organisasi massa mahasiswa demokratis di Bandung Raya mengajak kaum pemuda-mahasiswa untuk berjuang bersama klas buruh dan kaum tani dibawah kepemimpinan klas buruh untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati sebagai jalan pembebasan rakyat Indonesia satu-satunya. Tanpa Reforma Agraria Sejati, tidak akan ada hak demokratis yang didapatkan oleh kaum pemuda-mahasiswa. Tanpa pembangunan Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri, maka tidak akan ada sistem pendidikan yang ilmiah dan demokratis.

Berdasarkan pandangan di atas, kami FMN Cabang Bandung Raya menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mendukung dan ambil bagian aktif dalam perjuangan rakyat Indonesia untuk membatalkan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menyengsarakan rakyat Indonesia;
  2. Berjuang bersama klas buruh dan kaum tani dalam menentang segala skema neoliberal yang dijalankan oleh rezim boneka Jokowi-Ma’ruf Amin, yang mana kebijakan-kebijakan tersebut hanya akan menghancurkan kedaulatan nasional dan memperluas kemiskinan rakyat Indonesia;
  3. Menuntut rezim Jokowi untuk memprioritaskan keselamatan rakyat Indonesia dalam serangan pandemi Covid-19;
  4. Berjuang bersama klas buruh dan kaum tani untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati untuk menopang pembangunan Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri; serta
  5. Menolak segala skema liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan serta menuntut diberlakukannya sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.

Demikianlah pernyataan sikap FMN Cabang Bandung Raya dalam merespon gelombang aksi pemogokan klas buruh sebagai bentuk protes atas pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sarat kepentingan Imperialis AS tersebut.

 

JAYALAH PERJUANGAN MASSA RAKYAT TERTINDAS!

HIDUP KLAS BURUH DAN KAUM TANI!

TOLAK OMNIBUS LAW! JEGAL OMNIBUS LAW SAMPAI GAGAL! BATALKAN OMNIBUS LAW SEKARANG JUGA!

 

Bandung, 6 Oktober 2020

Pimpinan Cabang FMN Bandung Raya

 

 

 

 

Narahubung

*) 0857 1062 5325 (Salman al Farisi)

Share: