TOLAK DAN BATALKAN UU CIPTA KERJA!
PEMUDA-MAHASISWA BANGKIT MELAWAN PENGHISAPAN DAN PENINDASAN SKALA MASSIF UNTUK
MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI KEPADA RAKYAT!
Pimpinan
Cabang
FMN Cabang Bandung Raya
Pengantar
Di tengah pandemi Covid-19,
Imperialisme mengalami krisis overproduksi yang sangat akut, kapital yang terus
membusuk dan bahkan lebih parah dari krisis finans yang terjadi pada 2008-2009.
Amerika Serikat sendiri mengalami resesi pada kuartal II 2020. Konsumsi rumah
tangga di Amerika Serikat anjlok hingga 25% dan tingkat pertumbuhan ekonominya
mencapai minus 32,9%. Negara-negara industri besar lainnya seperti Jerman juga
mengalami krisis hingga tingkat pertumbuhan ekonominya anjlok, mencapai minus
10,1%.
Akan tetapi, Imperialisme yang
dipimpin oleh Amerika serikat, tidak akan hancur dengan sendirinya, dia tidak
akan menggali kubur dengan tangannya sendiri, walaupun membutuhkan fase pemulihan
yang lebih panjang. Perang agresi dan intervensi adalah cara untuk pulih dari
krisis, untuk memperkuat dominasi mereka ke negara-negara jajahan diseluruh
dunia, memperlancar laju ekspor kapital dalam bentuk investasi langsung ataupun
utang dan menguasai serta mengeruk sumber daya alam, memeras keringat klas
buruh, kaum tani, dan seluruh rakyat tertindas di Dunia sehingga mendapatkan
super profit yang lebih tinggi.
Sebagai salah satu negara yang
hidup dibawah dominasi Imperialis AS, Indonesia melalui Pemerintahan bonekanya
menjalankan dikte kebijakan Neoliberal dari tuannya. Untuk mengatur ulang semua
regulasi (deregulasi) yang akan mempercepat laju ekspor kapital Imperialis
dalam bentuk investasi langsung maupun utang. Dengan kata lain, Indonesia menanggung
beban krisis Imperialis, sehingga krisis kronis yang terjadi di negara jajahan
dan setengah jajahan seperti indonesia semakin parah. Indonesia sendiri mengalami
tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai minus 5,32% pada kuartal II dan dapat
diprediksikan Indonesia masih mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang minus
pada kuartal III 2020 dikarenakan kontraksinya hanya mencapai 0,6% sampai 1,7%.
Celakanya pertumbuhan ekonomi tersebut hanya bertumpu pada investasi dan hutang
yang dibebankan diatas pundak penderitaan rakyat.
Di tengah krisis tersebut, rezim
Jokowi mempercepat pengesahan produk undang-undang Omnibus Law yang terdiri atas
berbagai klaster, diantaranya klaster perizinan usaha, ketenagakerjaan, hingga
klaster pengadaan lahan. Omnibus Law sendiri merupakan undang-undang sapu jagat
yang mencakup banyak peraturan dan meringkas segala peraturan sebelumnya.
Produk hukum Omnibus Law di Indonesia sendiri merupakan bentuk deregulasi,
yaitu salah satu dari kebijakan Neoliberal yang bertujuan untuk mempermudah
penanaman modal asing di Indonesia dalam bentuk investasi dan hutang, dengan
demikian Rezim Jokowi menyeret beban
krisis kronis bagi rakyat semakin dalam lagi.
Omnibus Law Adalah Solusi Licik Dari Imperialis untuk Menyelamatkan
Diri dari Krisis Yang Semakin Akut
Kebijakan Omnibus Law UU Cipta
Kerja yang dirancang oleh rezim boneka Jokowi sejatinya adalah dikte langsung
dari kapitalis monopoli internasional pimpinan Amerika Serikat. Kebijakan
tersebut secara langsung adalah pelimpahan beban krisis yang tengah dialami
oleh negara-negara Imperialis. Dampak konkrit Omnibus Law akan menciptakan
krisis kronis di Indonesia dan memperparah jurang kemerosotan penghidupan
rakyat Indonesia. Rezim boneka Jokowi sebagai kaki tangan langsung Imperialis
AS akan semakin jelas menindas kehidupan rakyat dengan memperparah perampasan
akan upah, tanah dan lapangan pekerjaan. Melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja
ini, rezim boneka Jokowi akan semakin melestarikan karakter negara Indonesia
sebagai negara setengah jajahan dan setengah feodal yang tidak mempunyai
kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Omnibus Law UU Cipta Kerja
sengaja dirancang oleh rezim Jokowi sebagai persembahan untuk memperlancar dan
memudahkan ekspor kapital Imperialis pimpinan Amerika Serikat di Indonesia. Hal
ini ditujukan untuk memperkuat cengkeraman penghisapan Imperialis AS di negara-negara
boneka (jajahan) termasuk Indonesia. Tujuan utama Omnibus Law adalah
menyejahterakan kaum pemodal asing, pengusaha komprador dan tuan tanah besar di
dalam negeri dengan membuka ruang eksploitasi besar-besaran atas tenaga kerja
dan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Maka jelas, Omnibus Law UU Cipta Kerja
hadir sebagai penghalang besar bagi Reforma Agraria Sejati dan pembangunan
Industri Nasional serta sangat merugikan klas buruh dan kaum tani Indonesia.
Mengapa bisa demikian?
Melalui Bank Dunia sebagai
lembaga multilateral yang mengikuti dikte Imperialis AS. Bank Dunia tahun lalu
merilis dokumen resmi bernama World Development Report 2019: The Changing
Nature of Work yang dimana dalam dokumen tersebut berisi proyek Labour
Market Flexibility atau Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja melalui
otomasi kerja, teknologisasi, deregulasi sektor perburuhan, penyesuaian
kebijakan pengupahan, fleksibilitas jam kerja, dan fleksibilitas tenaga kerja.
Dokumen tersebut merupakan perintah yang harus dilaksanakan oleh negara-negara
anggota Bank Dunia yang notabene sebagian besarnya merupakan jajahan Imperialis
AS, salah satunya ialah Indonesia. Melalui dokumen tersebut, Bank Dunia
memerintahkan harus ada undang-undang baru yang mengatur tentang perburuhan,.
Skema ini diperparah dengan adanya program Bank Dunia lainnya yang bernama Land
Reform Market Oriented dan One Map Policy, yang mana kedua
program tersebut dijalankan oleh rezim boneka pelayan Imperialis di Indonesia
dengan bentuk kebijakan Reforma Agraria Palsu. Program tersebut pada hakikatnya
ialah legalisasi aset dalam bentuk sertifikasi yang terhubung dengan program
Bank Tanah. Program tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian investasi,
pembangunan perkebunan skala besar, food
estate, pembangunan infrastruktur untuk mempercepat mobilisasi sumber daya
alam, dan melanggengkan monopoli tanah. Dengan demikian hal ini yang
melatarbelakangi lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja
Omnibus Law Adalah Skema Penghisapan dan Penindasan Bagi Klas Buruh dan
Kaum Tani Indonesia
Memangnya bagaimana isi dari
Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut?
Pada hakikatnya, UU Cipta Kerja
adalah skema perampasan upah yang lebih parah daripada UU Ketenagakerjaan serta
PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (atau biasa disebut PP 78). Jika
keberadaan buruh outsourcing dan
kontrak dilegitimasi oleh adanya UU Ketenagakerjaan, maka fleksibilitas upah
dan penetapan upah yang hanya berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi serta
inflasi dilegitimasi oleh PP 78. Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, keduanya
skema tersebut dilanggengkan dan bahkan disistematisasikan, sehingga pasar
tenaga kerja menjadi lebih fleksibel lagi. Diantara ketentuan-ketentuan
pelanggengan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, ketentuan mengenai Upah
Minimum yang sebelumnya setiap Bupati/Walikota mempunyai wewenang untuk
menentukannya, seperti yang diatur dalam pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Maka
dalam UU Cipta Kerja pasal 88C ayat (1) dan (2), Upah Minimum dapat ditetapkan
oleh Gubernur dengan syarat-syarat tertentu. Kurang lebihnya, syarat-syarat
tersebut sama persis dengan apa yang disebutkan dalam PP 78, yaitu kondisi
ekonomi yang mencakup tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta
ketenagakerjaan. Selain itu, Omnibus Law UU Cipta Kerja juga mengatur Upah per
satuan waktu dan hasil yang disebutkan dalam pasal 92. Dalam pasal tersebut,
klas pemodal diberi kebebasan untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan
kepada buruh sebagai dasar penghitungan upah. Itu berarti, bukan klas buruhlah
yang menentukan skala upah berdasarkan hasil produksi mereka, melainkan klas
pemodal.
Kedua, Mengenai pesangon bagi
buruh yang di-PHK, diatur dalam pasal 156 UU Cipta Kerja, dimana pesangon hanya
meliputi cuti tahunan yang belum gugur, biaya/ongkos pulang buruh ke
keluarganya, dan hal-hal lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
dengan maksimal penerimaan sebesar 25 kali upah pokok per bulan. Sedangkan
dalam UU Ketenagakerjaan, selain yang telah disebutkan diatas, uang penggantian
hak juga meliputi penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% dari pesangon bagi yang memenuhi syarat. Dalam UU
Ketenagakerjaan juga disebutkan bahwa maksimal pesangon sebesar 32 kali upah
pokok per bulan, sehingga dapat disimpulkan bahwa nominal pesangon di UU Cipta
Kerja menurun. Sebanyak 6 dari 25 kali upah yang dibayarkan menjadi pesangon
berasal dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan dalam naungan BPJS Ketenagakerjaan.
Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa klas buruh yang membayar iuran BPJS
Ketenagakerjaan sendirilah yang membayar pesangon mereka, bukan murni dari
pengusaha atau anggaran negara.
Ketiga, mengenai cuti biologis
bagi kaum perempuan seperti cuti haid (yang diatur sebelumnya dalam pasal 81 UU
Ketenagakerjaan), cuti hamil-melahirkan (yang diatur sebelumnya dalam pasal 82
UU Ketenagakerjaan), serta cuti menyusui (yang diatur sebelumnya dalam pasal 83
UU Ketenagakerjaan) ditiadakan dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, dalam pasal 80 UU Ketenagakerjaan
diatur soal kesempatan untuk melakukan ibadah yang secukupnya bagi klas buruh.
Tetapi dalam UU Cipta Kerja, hal tersebut tidak diatur sama sekali. Selain itu,
cuti keagamaan juga ditiadakan dalam UU Cipta Kerja. Sedangkan untuk cuti
tahunan diatur dalam pasal 79 UU Cipta Kerja.
Keempat, mengenai outsourcing, UU Cipta Kerja pasal 89
menghapus pasal 65 dan mengubah pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan
perubahan tersebut akan berdampak semakin merajalelanya buruh outsourcing karena tidak ada lagi
pembatasan jenis pekerjaan outsourcing.
Sedangkan ketentuan mengenai PKWT dan PKWTT telah diatur dalam pasal 59 UU
Ketenagakerjaan dengan maksimal 2 tahun dan lalu bisa diperpanjang hingga 1
tahun, namun dalam UU Cipta Kerja pasal 89 tidak mengatur batas maksimal waktu
perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum, sehingga
membuka kesempatan status buruh kontrak jadi tidak terbatas.
Kelima, mengenai jam kerja, UU
Ketenagakerjaan mengatur bahwa waktu lembur maksimal 3 jam per hari dan 14 jam
per minggu, namun dalam UU Cipta Kerja pasal 89 menjadi 4 jam per hari dan 18
jam per minggu; sehingga waktu kerja buruh semakin panjang.
Keenam, Mengenai PHK diatur dalam
pasal 151 UU Ketenagakerjaan, dimana dalam aturan tersebut ketentuannya sangat
banyak, sedangkan dalam UU Cipta Kerja pasal 153 dan pasal 154A menghilangkan
ketentuan-ketentuan tersebut, sehingga pengusaha bisa seenaknya melakukan PHK
sepihak kepada klas buruh.
Contoh-contoh tersebut telah
membuktikan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja memang menjadi landasan yang
paling ekstrim untuk menghisap serta menindas klas buruh Indonesia.
Bagaimana dengan dampak Omnibus
Law UU Cipta Kerja terhadap kaum tani?
Menteria Agraria dan Tata Ruang,
Sofyan Djalil pada 15 Oktober lalu mengatakan bahwa Pemerintah sedang
menggalakkan banyaknya investor masuk ke dalam negeri melalui berbagai
regulasi, baik Omnibus Law UU Cipta Kerja maupun kemudahan pengadaan tanah yang
bisa diperoleh investor secara cuma-cuma alias gratis.
Omnibus Law UU Cipta kerja, tidak
menjawab sedikitpun persoal kaum tani, sebaliknya, sebagai penghalang baru bagi
Reforma Agraria Sejati dan Industri Nasional
sebagai aspirasinya kaum tani dan rakyat Indonesia. Perampasan tanah
akan semakin masif, dengan dalih pengadaan tanah untuk kepentingan umum (yang
diatur dalam UU Cipta Kerja), untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan
Kawasan Ekonomi Khusus, pembangunan perkebunan skala besar yang berorientasi
untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi
kapitalis besar monopoli, serta pembangunan food
estate.
Selain itu, tanah kaum tani juga
akan terus dirampas dengan adanya Bank Tanah yang diatur dalam pasal 125 dan
126 UU Cipta Kerja. Bank Tanah tersebut melanggengkan program Land
Reform Market Oriented, dimana Bank Tanah akan mengelola dan
mendistribusikan lahan untuk kepentingan penanaman modal asing. Pasal 129 ayat
(4) UU Cipta Kerja bahkan menyebutkan bahwa Bank Tanah dihadirkan dalam rangka
mendukung investasi, sehingga Bank Tanah mempunyai wewenang untuk melakukan
penyusunan rencana induk, memberikan kemudahan perizinan berusaha, melakukan
pengadaan lahan, serta menentukan tarif pelayanan.
Kebijakan tersebut hanya akan
memasifkan perampasan tanah, melanggengkan monopoli tanah, dan semakin
memiskinkan kaum tani di Pedesaan. Kaum tani yang menggantungkan hidupnya secara
turun temurun di sekitar kawasan hutan, petani pemukim, dan petani penggarap
hutan akan dikambinghitamkan sebagai
perambah hutan, pembalak liar, perusak lingkungan, dan dihantui dengan sanksi
dan denda yang sangat berat. Rezim ini akan terus menutup mata terkait semakin
tingginya ekspor bahan baku kayu yang dilakukan oleh perusahaan negara ataupun
swasta untuk memenuhi kebutuhan perusahaan besar asing.
Undang-undang ini, tentunya
sangat mendukung kedatangan ekspor kapital yang merupakan salah satu dari pokok
Imperialisme. Seperti yang kita ketahui, kepentingan kaum Imperialis di
Indonesia diantaranya ialah eksploitasi sumber daya alam, eksploitasi tenaga kerja
berupah murah, menjadikan Indonesia sebagai pasar penjualan komoditas, serta
untuk menanamkan investasi dan hutang. Lalu hoaks apalagi yang dihadirkan rezim
Jokowi untuk memiskinkan klas buruh dan kaum tani Indonesia sekarang?
Kenapa Pemuda-Mahasiswa Harus Menentang Omnibus Law?
Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak
hanya berdampak ke klas buruh dan kaum tani saja. Walaupun rezim Jokowi
mengklarifikasi bahwa klaster pendidikan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja,
tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Di dalam UU Cipta Kerja versi terakhir
(812 halaman) banyak menyebutkan soal pelaksanaan perizinan sektor pendidikan
serta pelaksanaan pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus. Selain itu terdapat program
Kampus Merdeka, yang pada hakikatnya hanya untuk memobilisasi tenaga kerja
murah melalui skema program magang.
Pertama, soal perizinan sektor
pendidikan yang diatur dalam paragraf 12 pasal 65 UU Cipta Kerja yang
menyebutkan bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan
melalui perizinan berusaha. Dengan demikian, bisnis pendidikan akan merajalela
jika UU Cipta Kerja ini diterapkan. Hal ini secara historis bertentangan dengan
visi pendidikan yang salah satunya ialah nirlaba. Tetapi kita perlu ingat,
sejak sektor pendidikan masuk ke dalam General Agreement on Trade in Service (GATS),
WTO memposisikan pendidikan sebagai sektor dagang tersier. Hal tersebut
diperparah dengan adanya Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Right (TRIPs) yang dimana perjanjian tersebut
ditujukan untuk dapat mengakumulasi keuntungan dari bisnis pendidikan. Kebijakan
yang melatarbelakangi komersialisasi pendidikan lewat sistem pembayaran UKT. Di
Amerika Serikat sendiri, kebijakan tersebut berdampak pada kenaikan biaya
pendidikan tinggi hingga mencapai 1120% dalam rentang 1970-2012.
Indonesia meratifikasi seluruh
perjanjian Neoliberal tersebut melalui berbagai macam produk hukum, seperti UU
Sisdiknas tahun 2003 dan UU Perguruan Tinggi tahun 2012. Keduanya secara halus
mencantumkan bahwa pendidikan bisa dikomersialisasikan. Selain itu, melalui
kedua peraturan tersebut, sektor pendidikan mengalami swastanisasi
besar-besaran. Itu artinya, skema liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi
pendidikan berjalan mulus dengan skema yang menindas pemuda–mahasiwa di
Indonesia. Hal tersebut berdampak pada naiknya biaya sekolah dan kuliah per
tahun dan semakin eratnya hubungan antara institusi pendidikan dengan korporasi
multinasional. Kita bisa lihat bahwa untuk tahun ajaran 2017/2018 saja,
rata-rata biaya pendidikan SD mencapai Rp 2,4 juta; SMP mencapai Rp 4,2 juta;
dan SMA/SMK mencapai Rp 6,5 juta. Sedangkan untuk biaya pendidikan tinggi
rata-rata mencapai Rp 15,3 juta per semester. Bandingkan denngan upah klas buruh
rata-rata di Indonesia pada 2019 yang hanya mencapai Rp 2,91 juta per bulan.
Didalam pasal 65 UU Cipta Kerja,
definisi yang termaktub dalam ayat (1) di pasal tersebut adalah legalitas yang
diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya. Konsekuensinya ialah lembaga atau institusi pendidikan akan
berstatus perusahaan, itu berarti komersialisasi pendidikan. Ini adalah salah
satu bentuk ratifikasi kompleks yang dilakukan oleh rezim Jokowi terhadap
program WTO yang berkaitan dengan liberalisasi pendidikan. Padahal dalam UU
Sisdiknas yang statusnya sudah meliberalisasi pendidikan saja tidak
mencantumkan definisi tersebut, dan bahkan disebutkan bahwa sektor pendidikan
itu nirlaba. Hal ini akan memicu rendahnya rakyat dalam mengakses pendidikan.
BPS sendiri mencatat pada Februari 2020, pekerja terbanyak adalah lulusan SD
dan hampir semuanya ialah buruh kontrak atau outsourcing.
Lalu bagaimana dengan Kebijakan
Kampus Merdeka?
Terdapat 4 pokok Kebijakan Kampus
Merdeka yang dicanangkan sejak Februari lalu, yaitu 1) pembukaan program studi
baru; 2) sistem akreditasi perguruan tinggi; 3) Perguruan Tinggi Negeri
Berbadan Hukum, serta; 4) hak belajar tiga semester di luar program studi.
Keempatnya membuka kesempatan korporasi multinasional untuk menjajaki sektor
pendidikan tinggi sebagai sektor yang profit-oriented.
Selain mencetak komoditas pendidikan yang terdiri atas hasil-hasil penelitian,
Kebijakan Kampus Merdeka juga akan mencetak tenaga kerja cadangan yang cakap,
profesional, namun tetap berupah murah.
Dalam Kebijakan Kampus Merdeka
disebutkan bahwa mitra yang dapat bekerjasama dengan sektor pendidikan tinggi
diantaranya ialah korporasi multinasional, korporasi teknologi global,
korporasi startup teknologi,
organisasi multilateral, serta BUMN dan BUMD. Kalau kita tilik, semua mitra
tersebut berkepentingan untuk menghasilkan profit
melalui perampasan nilai lebih, sehingga jelas kepentingan mereka untuk menjadi
mitra di sektor pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan profit pula dengan membuka program studi
baru di perguruan tinggi.
Mengenai Perguruan Tinggi Negeri
Berbadan Hukum (PTN-BH) sendiri yang sudah jelas merupakan produk liberalisasi
pendidikan tinggi juga diatur dalam Kebijakan Kampus Merdeka. Seluruh Perguruan
Tinggi Negeri atau PTN akan dipermudah untuk menjadi PTN-BH dengan berbagai
syarat kemudahannya, seperti tanpa ada akreditasi maksimum, dan PTN-BLU atau
Satker dapat mengajukan permohonan menjadi Berbadan Hukum kapan pun jika sudah
siap. Itu artinya rezim Jokowi akan melakukan percepatan liberalisasi
pendidikan tinggi melalui Kebijakan Kampus Merdeka tersebut.
Selain itu, mengenai hak belajar
di luar Program Studi akan dilaksanakan selama 2 semester atau 40 SKS di luar
perguruan tinggi, atau melaksanakan program kerja magang; serta mengambil 1
semester atau 20 SKS di Program Studi yang berbeda namun dalam naungan
Perguruan Tinggi yang sama. Jelas bahwa hal ini sesuai dengan semangat Omnibus
Law UU Cipta Kerja yang membuka investasi besar-besaran, karena investor butuh
pekerja handal namun bisa diupah murah. Kemunculan buruh magang sendiri bahkan
ditargetkan oleh rezim Jokowi. Contohnya pada 2017, dimana rezim Jokowi
menargetkan jumlah buruh magang sebanyak 163 ribu orang dan program tersebut didukung
oleh 2.648 perusahaan, dengan 1.776 diantaranya ialah perusahaan manufaktur.
Program pemagangan tersebut dilegitimasi melalui Permen No. 36 Tahun 2016
dimana dalam aturan tersebut, para buruh magang hanya diberi upah sebesar
60-75% dari UMK yang berlaku.
Beberapa hal tersebut sudah
menjadi alasan bagi para pemuda-mahasiswa untuk menolak Omnibus Law UU Cipta
Kerja serta aturan-aturan yang menopangnya. Karena tidak ada hari depan bagi
pemuda-mahasiswa jika tidak menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja dan berjuang
bersama klas buruh dan kaum tani.
Pemuda-Mahasiswa Harus Mengorganisir Diri untuk Menentang Omnibus Law
Salah satu poin penting yang
perlu kita sadari adalah bahwa penyakit anti-demokrasi telah akut menjangkit
tubuh pendidikan di Indonesia. Pembungkaman dan pemberangusan suara kerap
terjadi di antara dinding-dinding kampus sampai saat ini. Kampus sebagai
lembaga pendidikan seharusnya menjadi wadah yang bebas untuk membedah segala
hal secara objektif dan ilmiah, bukan malah menjadi penjara bagi gerakan
progresif mahasiswa itu sendiri. Isu Omnibus Law yang tengah panas akhir-akhir
ini, ternyata mampu menarik sorotan dari berbagai sektor rakyat, termasuk kaum
intelektual. Berbagai hasil kajian yang dilakukan oleh kaum intelektual mampu
melahirkan satu simpulan yang sama bahwa Omnibus Law akan dan hanya
menyengsarakan rakyat. Tentunya Omnibus Law dengan segala kebusukannya telah menjadi
pemantik terbentuknya kembali kesadaran pemuda-mahasiswa untuk bergerak bersama
klas buruh dan kaum tani untuk memperjuangkan haknya dengan menolak keseluruhan
UU Cipta Kerja di berbagai daerah. Namun, noktah hitam kecacatan pendidikan
Indonesia kembali mencuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Kemendikbud No.
1035/E/KM/2020 perihal Himbauan Pembelajaran Secara Daring dan Sosialisasi UU
Cipta Kerja yang menjadi alat pemberangus dan pembungkaman suara mahasiswa.
Rezim Jokowi hanya bisa memerintah pemuda-mahasiswa untuk belajar, belajar, dan
belajar di dalam kelas seperti binatang peliharaan yang nantinya harus tunduk
terhadap rezim. Rezim busuk ini mengharamkan segala bentuk kesadaran maju dari
mahasiswa untuk bergerak bersama klas buruh dan kaum tani dengan ancaman
akademik yang fasis dan tidak berdasar.
Maka mahasiswa harus mempunyai
kesadaran dan mental yang kuat untuk menjalankan trah-nya dalam berjuang bersama klas buruh dan kaum tani sebagai
rakyat terhisap di negeri setengah jajahan setegah feodal ini. Mahasiswa harus
menggalang kekuatan untuk tetap konsisten bergerak berdasarkan pada tuntutan
rakyat dan menyuarakan persatuan dalam perjuangan klas buruh dan kaum tani.
Karena mahasiswa sejatinya bukan agent of
change seperti yang disuarakan oleh rezim Orde Baru, tetapi merupakan
pengiring perjuangan klas buruh dan kaum tani serta terpimpin oleh klas buruh.
Karena itulah tidak hari depan bagi pemuda-mahasiswa, jika tidak ikut serta
dalam perjuangan Demokrasi Nasional yang anti Imperialisme dan anti Feodalisme
bersama klas buruh dan kaum tani.
Solusi Konkrit Bagi Rakyat Indonesia Bukan Omnibus Law, Tetapi Reforma
Agraria Sejati dan Pembangunan Industri Nasional
Krisis Imperialisme yang kronis pada
akhirnya direspon oleh Imperialis dengan meningkatkan keuntungan melalui laba
super (super-profit) yang didapatkan
dari penghisapan nilai lebih atas kerja buruh, serta bunga hutang yansg terus
digelontorkan ke negeri-negeri jajahan serta semi jajahan seperti Indonesia.
Maka dari itu, rezim boneka pelayan Imperialis AS yang dipimpin oleh Jokowi
merespon krisis tersebut dengan mempercepat pengesahan Omnibus Law yang
sejatinya merupakan pesanan dari Imperialis. Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, bahwa Omnibus Law merupakan kelanjutan dari program fleksibilitas
tenaga kerja yang telah disusun oleh Imperialis melalui Bank Dunia, IMF, dan
WTO. Maka dari itu, Omnibus Law yang bukan berasal dari aspirasi rakyat
Indonesia, sama sekali tidak berpihak kepada rakyat Indonesia, khususnya klas
buruh dan kaum tani.
Maka dari itu, solusi dari krisis
ekonomi yang terus akut ini hanyalah Reforma Agraria Sejati serta pembangunan
Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri. Reforma Agraria Sejati merupakan
program pengembalian seluruh tanah dan sumber kekayaan alam yang telah
dieksploitasi oleh tuan tanah swasta maupun negara kepada kaum tani agar
dikelola secara mandiri. Reforma Agraria Sejati sendiri diadakan sebagai dasar
untuk membangun Industri Nasional yang berdaulat dan mandiri, bebas dari
intervensi kapital asing serta mampu dijalankan oleh klas buruh. Tidak ada
jalan lain bagi klas buruh, selain memimpin pembebasan rakyat Indonesia melalui
kedua program tersebut tanpa bergantung kepada klas-klas reaksi yang telah
menindas klas buruh dan seluruh rakyat tertindas di Indonesia.
Lalu bagaimana caranya untuk
mencapai Reforma Agraria Sejati dan pembangunan Industri Nasional?
Cara satu-satunya untuk
membebaskan klas buruh dan kaum tani dari penindasan dan penghisapan yang
dilakukan oleh Imperialis dan sekutunya ialah perjuangan Demokrasi Nasional.
Perjuangan Demokrasi Nasional ialah perjuangan demokratis anti Feodalisme dan
perjuangan pembebasan nasional anti Imperialisme. Perjuangan Demokrasi Nasional
adalah perjuangan untuk membebaskan rakyat Indonesia yang dipimpin oleh klas
buruh dengan kekuatan pokok Kaum Tani serta golongan demokratis lainnya dari
belenggu sistem Setengah Jajahan Setengah Feodal terhadap klik reaksi yang terdiri
atas Feodalisme yang dipimpin oleh tuan tanah besar negara maupun swasta, Imperialis
yang dipimpin oleh AS, serta Kapitalis Birokrat yang menjadi pemulus jalannya
penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh tuan tanah dan borjuasi
komprador yang dipimpin oleh Imperialis AS.
Dengan demikian, pada akhirnya
nanti, perjuangan Demokrasi Nasional juga akan menghasilkan sebuah sistem pendidikan
yang diidam-idamkan oleh pemuda-mahasiswa, yaitu sistem pendidikan yang ilmiah,
demokratis, dan mengabdi kepada rakyat. Mengapa harus begitu? Karena sistem
pendidikan yang ilmiah akan menjamin keseluruhan ilmu pengetahuan bersesuaian
dengan kenyataan konkrit rakyat. Sistem pendidikan yang demokratis juga akan
menjamin kebebasan berserikat, berpendapat, dan berorganisasi bagi
pemuda-mahasiswa. Sedangkan, sistem pendidikan yang mengabdi kepada masyarakat
akan menjamin keseluruhan ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh
pemuda-mahasiswa tidak sia-sia, tetapi akan diabdikan untuk kemajuan peradaban massa
rakyat.
Bandung, 17 Oktober 2020