Pertemuan
Annual
Meeting IMF-WB yang dihelat pada 12-14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali,
menjadi agenda yang akan sangat menentukan kondisi rakyat Indonesia
selanjutnya. Pasalnya, dalam pertemuan ini akan membahas serangkaian kebijakan
di ranah ekonomi, politik dan kebudayaan. Secara proyeksi tertulisnya, topik
yang diperbicangkan akan ditujukan untuk pengentasan kemiskinan, krisis ekologi
dan ketimpangan akses pendidikan. Forum tersebut akan melibatkan partisipasi
dari para petinggi IMF-WB, politisi mancanegara dan pemangku kebijakan dalam
negeri.
Terlepas
dari proyeksi ideal yang ditawarkan, pertemuan tersebut juga memuat tendensi
politik tersendiri. Pasalnya, World Bank dan IMF telah sejak lama dikenal
sebagai oreganisasi yang melayani kepentingan ekonomi imperialisme AS. Sejak
pembentukannya, IMF dan World Bank diplot menjadi organisasi yang mempromosikan
neoliberalisme lewat peminjaman dan investasi kepada negara-negara berkembang
dan pasca-koloni. Alih-alih menyelesaikan permasalahan ketimpangan dan
kemiskinan, investasi dan peminjaman yang didonor oleh IMF-WB justru telah
menjerat negara berkembang dalam skup intervensi pasar kebijakan dan skema
hutang.
Bergerak
dari urgensi sebelumnya, tulisan ini akan berusaha untuk menghadirkan
presentasi singkat terkait IMF dan World Bank. Bagian pertama akan berfokus
pada sejarah IMF dan World Bank. Sementara itu, bagian kedua akan berfokus pada
operasionalisasi imperialisme lewat agenda dan kebijakan yang dipromosikannya
dalam bidang pendidikan. Bagaian ketiga akan berfokus pada pertemuan Annual
Meeting IMF-WB dan implikasinya pada kondisi rakyat Indonesia.
I
Apa itu IMF?
International
Monetary Fund (IMF) dibentuk pada Konferensi Bretton Woods pada
tahun 1944 di New Hampshire. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari 44
negara, termasuk John Maynard Keynes dan Harry Dexter Whites. Tujuan utama
dibentuknya IMF adalah untuk menstabilisasi pasar finansial global, yang pasca
Perang Dunia II mengalami depresi hebat (Great
Depression), karena absannya lembaga atau organisasi yang berfokus pada ranah
finansial, khsusunya yang mengawasi nilai pertukaran dan mengatasi krisis
finansial. Selain itu peranan IMF terhadap
anggotanya dilakukan dengan berbagai cara, yakni (1). Mendorong kerjasama
internasional dan mengamankan stabilitas keuangan, (2). Memfasilitasi
perdagangan internasional,
(3). Mendorong pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan serta
penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan
(4). Mengurangi kemiskinan di dunia
Apa itu World Bank?
Seperti
hal nya IMF, World Bank Group (WB)
atau Bank Dunia pun dibentuk pada peristiwa, tempat dan waktu yang sama.
Pembentukan World Bank dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan mekanisme finansial
dalam rangka pembangunan kembali Eropa pasca Perang Dunia II. Secara teknis,
World Bank juga ditujukan untuk memberikan donor dan bantuan teknis kepada
negara berkembang, yang secara retorika politisnya bertujuan untuk mengurangi kemiskinan
dan ketimpangan. World Bank terdiri dari lima organisasi yakni International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD), International
Development Association (IDA), International
Finance Corporation (IFC), Multilateral
Investment Guarantee Agency (MIGA) dan International
Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)
II
IMF-World Bank dan
Agenda Neoliberalisme
Di
luar proyeksi permukaannya, IMF dan World Bank telah dibentuk oleh imperialisme
untuk melancarkan skema Neioliberalisme. Neoliberalisme adalah paham ekonomi
yang beroirentasi pada fundamentalisme pasar skala global melalui penghilangan
batas-batas negara. Paham ekonomi ini juga berimplikasi pada privatisasi sektor
publik seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Hal
ini dapat kita telisik dalam Washington
Consensus pada tahun 1989 saat IMF, World Bank dan pemerintah AS bersama-sama
merumuskan instrumen kebijakan dan reformasi. Tiga ide pokok yang
melatarbelakangi Washington Consensus meliputi ekonomi pasar, keterbukaan dan
displin fiskal makroekonomi. Sedangkan, reformasi dalam perjanjian tersebut
meliputi, (1) Disiplin fiskal, (2) pengaturan ulang prioritas pengeluaran
publik, (3) reformasi pajak, (4) liberalisasi suku bunga, (5) nilai tukar komparatif,
(6) liberalisasi perdagangan, (7) liberalisasi investasi langsung asing, (8) privatisasi,
(9) deregulasi, dan (10) hak kepemilikan.
Bergerak
dari latar belakang tersebut, maka tak mengherankan apabila World Bank dan IMF,
lewat skema investasi dan hutang, dengan gencar menerobos batas-batas negara Investasi
dan hutang merupakan sarana yang efektif bagi imperialisme lewat skema
neoliberal untuk melakukan intervensi atas negara lain, khususnya negara
berkembang atau bekas jajahan.
Demi
merealisasikan hal tersebut, IMF dan World Bank mempergunakan mekanisme Structural Adjustment Program (SAP’s).
Program yang dicanangkan sejak 1980-an ini mengharuskan negara manapun yang
ingin bergabung dengan World Bank, harus juga turut tergabung dengan IMF.
Selain itu, ada keharusan bagi negara tergabung untuk melakukan liberalisasi
perdagangan dan sektor publik.
Implikasinya
dari SAP’s terbilang sangat serius. Negara berkembang atau bekas jajahan yang
tergabung di dalam IMF dan World Bank tidak mampu untuk melunasi hutang yang
terpaksa diterima semenjak tergabung.
Pemaksaan
liberalisasi sebagai implikasi dari SAP’s juga diikuti oleh struktur
pengambilan keputusan yang tidak demokratis. Struktur pengambilan keputusan
kebijakan dalam World Bank terkonsentrasi pada Amerika Serikat sebagai negara
yang memiliki proporsi suara terbesar, diikuti oleh Jepang dan Jerman. Berikut
adalah struktur pengambilan keputusan dalam World Bank.
Bagan 1: Bank Dunia: Konstituensi,
Direktur Eksekutif, and Status Suara
Country / countries represented
|
Executive Director
|
Vote, as % of total vote
|
United States
|
United States
|
16.45
|
Japan
|
Japan
|
7.89
|
Germany
|
Germany
|
4.51
|
France
|
France
|
4.32
|
United Kingdom
|
United Kingdom
|
4.32
|
.
.
.
|
.
.
.
|
.
.
.
|
Eritrea, Angola, Botswana, Burundi, Gambia, Kenya,
Lesotho, Liberia, Malawi, Mozambique, Namibia, Nigeria, Seychelles, Sierra
Leone, South Africa, Sudan, Swaziland, Tanzania,
Uganda, Zambia, Zimbabwe
|
Eritrea
|
3.35
|
.
.
.
|
.
.
.
|
.
.
.
|
Mali, Benin,
Burkina Faso, Cameroon, Cape Verde, Central African Republic, Chad, Comoros, Congo, Cote D’Ivoire,
Djibouti, Equatorial
Guinea, Gabon, Guinea, GuineaBissau, Madagascar, Mauritania, Mauritius,
Niger, Rwanda, Sao Tome and Principe,
Senegal, Togo
|
Mali
|
2.00
|
Source:
Griffith-Jones 2002. In his article, Griffith-Jones illustrates the
Constituencies, Executive Directors, and Voting Status of all members of the
World Bank, but we selected certain countries from both developed and developing countries to see
the gap between them in the bank’s administration and decision making.
|
Berdasarkan
bagan struktur ssebelumnya, dapat dicermati bahwa AS memegang proporsi suara
sebanyak 16,45%, diikuti oleh Jepang 7,89%, dan Jerman 4,51%, sementara negara
sisanya hanya memperoleh proporsi suara sebanyak masing-masing 3,55% dan 2%.
Indonesia tidak tercantum sebagai pihak yang memiliki kekuatan suara siginifikan dalam pengambilan keputusan dengan hanya menyandang porsi suara 0,96%. Fakta ini tentu sangat memilukan karena di sisi lain Indonesia merupakan
salah satu lumbung profit dari imperialisme.
Indonesia secara tidak langsung memanfaatkan relasi kuasa struktural demi
memaksakan implementasi kebijakan pada Indonesia.
Bagan
2: Struktur Organisasional IMF
Berdasarkan bagan tersebut, dapat diperhatikan G7 dan G20 dapat memengaruhi (secara informal) perumusan kebijakan melalui saran (advises). Saran itulah yang nantinya akan disebar dan diproses oleh bidang-bidang organisasi seperti Dewan Gubernur, yang juga merepresentasikan 187 negara, dan Direktur Manajer beserta staf-staf nya. Dewan Gubernur akan melakukan pertimbangan G7 dan G20 berdasarkan pula pada saran International Monetary and Financial Commitee. Dewan Gubernur akan mendelegasikan kekuasaan pada Dewan Eksekutif sebagai pelaksana. Dalam pelaksanaanya, Dewan Eksekutif akan diawasi dan diatur oleh Direktur Manager yang akan melakukan follow up. Staf Direktur Manager bertugas untuk memberikan saran kebijakan dan bantuan teknis kepada negara-negara anggota, yang hasilnya akan dilaporkan pada Direktur Manager.
G7
merupakan aliansi antar imperialisme yang terdiri atas Inggris, Jerman, Perancis,
Kanada, Italia dan Jepang. Sementara itu, G20 adalah perkumpulan negara-negara
seperti Argentina, Australia, Brazil, Canada, Cina, the Uni Eropa, Perancis, Jerman,
India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea
Selatan, Turki, Inggris, and Amerika Serikat. Baik G7 dan G20, adalah aliansi
kerjasama ekonomi yang bertujuan untuk industrialisasi dan pembangunan ekonomi
berbasis pasar bebas. Dalam kedua aliansi tersebut, imperialisme AS adalah
pihak yang paling mendominasi setting
agenda kebijakan.
IMF-WB dan
Komersialisasi, Liberalisasi dan Privatisasi Pendidikan
Pasca
memutuskan keluar dari IBRD pada masa Orde Lama tahun 1954 karena gejolak
politik dalam negeri, Indonesia memutuskan kembali bergabung dengan IBRD pada
tanggal 17 Agustus 1965, sehubungan dengan terjadinya pergantian pemerintahan
dari Orde lama ke Orde Baru. Bergabungnya kembali Indonesia ke dalam IBRD
menjadi salah satu tonggak sejarah merangseknya kembali investasi asing ke
dalam negeri.
Pasalnya,
keharusan bagi setiap negara tergabung untuk melakukan liberalisasi
besar-besaran turut berimbas pada sektor peublik, seperti hal nya pendidikan.
SAP’s yang ditetapkan pada forum Washington Consensus secara eksplisit
menetapkan privatisasi pendidikan tinggi, layaknya universitas. Proses
komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi berlangsung dalam dua tahap. Pada
tahun 1980 sampai 1990, IMF-World Bank melancarkan ekspansi dan konsolidasi
masif pasar-pasar nasional dalam sektor pendidikan tinggi. Pada tahun 1990,
IMF, WB dan WTO fokus merealisasikan pembentukan pasar transnasional pendidikan
tinggi. Pertemun ini
Kondisi
tersebutlah yang melatarbelakangi munculnya GATS (General Agreement Trade and Services), sebuah perjanjian yang
didalamnya memuat liberalisasi, komersialisasi dan privatisasi 12 sektor bidang
jasa, termasuk pendidikan tinggi. Perundingan inilah yang hari ini telah melahirkan UU PT No 12 tahun 2012 sebagai payung hukum legitimasi komersialisasi pendidikan.
Pada
tahun 1998 World Bank mempublikasikan laporan dengan tajuk The Financing And Administration of Superior Education, yang memuat
agenda “reformasi” pendidikan. Dalam laporan tersebut, World Bank
memproyeksikan sistem pendidikan yang berorientasi pasar. Fakta ini tercermin
dalam kalimat berikut
“Agenda reformasi 90an, dan tentunya hampir sampai beberapa abad ke depan,
berorientasi
pasar daripada kepemilkan publik ataupun perencanaan dan regulasi pemerintah. Pokok
dari program pendidikan WB adalah, sebagaimana disebut di laporan, ditujukan untuk privatisasi,
deregulasi dan “berorientasi
pada pasar”
Pada tahun 2005, World Bank mencetuskan proyek Quality of Undergraduate Education. Proyek ini memiliki dua tujuan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan di dalam negeri, dan alokasi sumber daya secara efektif kepd universitas negeri dan swasta. Proyek ini memakan biaya sekitar 109, 10 Juta Dollar AS. Inti dari program ini adalah reformasi sistem pendanaan dan orientasi kurikulum pendidikan agar sesuai dengan tuntutan pasar. Dengan kata lain pendidkan yang dimaksud adalah pendidikan yang mengdepankan kompetisi.
Bagaimana Implementasi dari kebijakan IMF-WB terhadap sistem pendidikan di Indonesia?
Diterapkannya Undang-undang Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012, yang menjadi asas legal dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia, semakin membuka ruang komersialisasi pendidikan. Melalui narasi otonomi kampus, pada hakekatnya lepasnya tanggung jawab dari negara dan menyerahkan dunia pendidikan kepada investasi, bahkan merubah lembaga pendidikan tinggi layaknya perusahaan jasa.
Dari undang-undang ini juga yang melegitimasi mahalnya biaya pendidikan tinggi dengan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal, kredit pendidikan/ student loan dan membuka ruang kerja sama dengan perusahaan lebih luas.
Sebelumnya, Word Bank mengeluarkan program Khusus pendidikan untuk Indonesia, Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) 2005-2011 dengan dana hutang sebesar 114,54 USD. Lembaga ini juga yang mendikte indonseia untuk mengganti UU BHP Tahun 2009, karena mereka membutuhkan aturan yang lebih kuat untuk meliberalisasi pendidikan. Sehingga pada tahun 2012 lahirlah UU Pendidikan Tinggi.
“ A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a legal subset of BHP”
Pada tahun 2005, World Bank mencetuskan proyek Quality of Undergraduate Education. Proyek ini memiliki dua tujuan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan di dalam negeri, dan alokasi sumber daya secara efektif kepd universitas negeri dan swasta. Proyek ini memakan biaya sekitar 109, 10 Juta Dollar AS. Inti dari program ini adalah reformasi sistem pendanaan dan orientasi kurikulum pendidikan agar sesuai dengan tuntutan pasar. Dengan kata lain pendidkan yang dimaksud adalah pendidikan yang mengdepankan kompetisi.
Bagaimana Implementasi dari kebijakan IMF-WB terhadap sistem pendidikan di Indonesia?
Diterapkannya Undang-undang Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012, yang menjadi asas legal dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia, semakin membuka ruang komersialisasi pendidikan. Melalui narasi otonomi kampus, pada hakekatnya lepasnya tanggung jawab dari negara dan menyerahkan dunia pendidikan kepada investasi, bahkan merubah lembaga pendidikan tinggi layaknya perusahaan jasa.
Dari undang-undang ini juga yang melegitimasi mahalnya biaya pendidikan tinggi dengan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal, kredit pendidikan/ student loan dan membuka ruang kerja sama dengan perusahaan lebih luas.
Sebelumnya, Word Bank mengeluarkan program Khusus pendidikan untuk Indonesia, Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) 2005-2011 dengan dana hutang sebesar 114,54 USD. Lembaga ini juga yang mendikte indonseia untuk mengganti UU BHP Tahun 2009, karena mereka membutuhkan aturan yang lebih kuat untuk meliberalisasi pendidikan. Sehingga pada tahun 2012 lahirlah UU Pendidikan Tinggi.
“ A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a legal subset of BHP”
III
Apa saja yang akan
dibahas di Annual Meeting IMF-World Bank?
IMF-World
Bank Annual Meeting akan dihelat pada 12-14 Oktober di Nusa Dua, Bali. Demi
menyukseskan pertemuan tersebut, Joko Widodo telah menggelontorkan dana kurang
lebih Rp 855,5 miliar. Pertemuan tersebut akan dihadiri oleh sekitar 15.000-18.000 delegasi yang berasal dari kalangan
media, bankir hingga investor. Tema besar
kegiatan IMF-WB Annual Meeting 2018 adalah Voyage
to Indonesia 2018 yang berarti perjalanan menuju tempat baru.
Terpilihnya
Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan kali ini tentu bukan suatu kebetulan. Indonesia
terpilih pada bulan Oktober 2015 sebagai tuan rumah IMF-WB Annual Meeting 2018
(AM 2018) Dokumen berjudul Maximizing
Finance for Development: Leveraging the Private Sector for Growth and
Sustainable Development (Washington DC, 19 September 2017) yang
dipersiapkan oleh the World Bank Group untuk pertemuan Development Committee
Meeting pada 14 Oktober 2017 dapat dijadikan rujukan. Dokumen itu menjelaskan
bahwa Indonesia merupakan satu dari sembilan negara pilot atau percontohan (diantaranya Kamerun, Pantai Gading, Mesir,
Indonesia, Irak, Jordania, Kenya, Nepal, dan Vietnam) yang fokus melaksanakan
skema Bank Dunia dalam mengatasi krisis yakni proyek infrastruktur.
Joko
Widodo beserta jajarannya memanfaatkan pertemuan ini untuk memikat investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya, Indonesia memang memiliki
target PMA yang sangat ambisius. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI
mempublikasikan target realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) hingga akhir tahun
ini mencapai Rp 477,4 triliun. Oleh karena itu, pemerintah
berusaha memanfaatkan forum tersebut untuk mempromosikan perekonomian Indonesia
dalam berbagai kegiatan meliputi: (1) Pameran Dagang, (2) Pameran Produk Dalam
Negeri, (3) Promosi Wisata, (4) Pameran Infrastruktur, (5) Forum Investasi, dan
(6) Pameran lainnya (ekonomi kreatif, digital economy, ekonomi syariah, financial
technology
Pertemuan
ini juga akan membahas beberapa topik berkenaan dengan sektor ekonomi, politik
dan kebudayaan. Teknologisasi dan digitalisasi menjadi salah satu topiknya yang
akan dibahas. Ini berkenaan dengan revolusi industri 4.0 yang hari ini berusaha
dicanangkan oleh World Bank-IMF. Topik ini disinyalir akan disambut baik oleh
Indonesia, karena revolusi industri 4.0 juga menjadi target Joko Widodo berikutnya.
Teknoligisasi yang dimaksud salah satunya meliputi impor teknologi dari negara
maju ke negara berkembang. Sementara itu, digitalisasi pasar yang juga dibahas
bersandar pada ambisi Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia. Indonesia
saat ini telah memiliki empat unicorn (start-up digital yang bernilai lebih
dari USD 1 miliar), yaitu Go-Jek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak.
Topik Fleksibilitas Buruh Pasar (Labour Market Flexibility) juga akan mendapat perbincangan tersendiri dalam forum ini. Dalam rilis web resmi World Bank pada 24 April 2018, disebutkan Labour Market Flexibility adalah program yang diorientasikan untuk peningkatan jumlah partisipasi kerja. World Bank menempatkan progam ini untuk mengentaskan 60% rumah tangga yang meimiliki usaha mandiri di dunia hidup dalam kemiskinan. Namun paparan program tersebut jelas hanya kedok menyusul rekomendasi dari World Bank sendiri yang justru ingin mengurangi regulasi perlindungan hak buruh layaknya pengurangan upah minimum, membebaskan pemecatan besar-besaran dan melegalkan kontrak kerja murah dan tidak tetap (outsourcing). Singkat kata, Labour Market Flexibility akan berimplikasi pada deregulasi di sektor buruh.
Topik Fleksibilitas Buruh Pasar (Labour Market Flexibility) juga akan mendapat perbincangan tersendiri dalam forum ini. Dalam rilis web resmi World Bank pada 24 April 2018, disebutkan Labour Market Flexibility adalah program yang diorientasikan untuk peningkatan jumlah partisipasi kerja. World Bank menempatkan progam ini untuk mengentaskan 60% rumah tangga yang meimiliki usaha mandiri di dunia hidup dalam kemiskinan. Namun paparan program tersebut jelas hanya kedok menyusul rekomendasi dari World Bank sendiri yang justru ingin mengurangi regulasi perlindungan hak buruh layaknya pengurangan upah minimum, membebaskan pemecatan besar-besaran dan melegalkan kontrak kerja murah dan tidak tetap (outsourcing). Singkat kata, Labour Market Flexibility akan berimplikasi pada deregulasi di sektor buruh.
Selain
itu topik-topik lama seperti pengentasan kemiskinan, mengurangi kesenjangan
sampai masalah lingkungan pun turut akan dibahas dalam pertemuan ini. Salah
satunya adalah Human Capital Project atau
Proyek Modal Manusia. Proyek ini ini menitiktekankan pada asumsi bahwa semakin
tinggi pendidikan populasi suatu negara, maka secara korelasional pertumbuhan
ekonomi suatu negara pun akan semakin cepat. Oleh karena itu, investasi dalam
sektor pendidikan harus didorong secara intesif guna merealisasikan pendidikan
yang lebih baik.
Topik
terkait Human Capital Project
sebenarnya sudah sempat dibahas pada Annual Meeting IMF-WB 2017 lalu yang
bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi berbasis investasi. Pada Annual
Meeting IMF-WB kali ini, topik ini pun akan kembali dibahas. Oktober sekarang,
pembahasan akan ditujukan pada Human Capital Index untuk mengukur tingkat
populasi berdasarkan tingkat pendidikan berbasis
investasi yang
nantinya akan diplot untuk menjadi skilled
labour
Apa Implikasinya?
Beberapa
implikasi dari Annual meeting IMF-WB apabila dipetakan, maka dapat ditarik
arguemntasi berikut:
- Beberapa topik yang sudah dipaparkan sebelumnya apabila diinterogasi secara lebih mendalam memiliki sisi-sisi problematis dan sarat akan kepentingan pasar global. Dalam sektor teknologi, impor teknologi ke dalam negeri menjadi legitimasi bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Ini berarti bahwa pasar dalam negeri akan didominasi oleh para investor asing, dan akan secara gradual menyingkirkan usaha-usaha kecil dalam negeri dari persaingan pasar bebas yang timpang. Skema ini justru akan kembali menimbulkan banyaknya pengangguran ataupun terpaksa menjadi unskilled labour yang harus rela dibayar murah
- Impor teknologi baru juga akan berimbas pada semakin banyaknya PHK massal karena digantinya tenaga manusia oleh hadirnya teknologi baru. Teknologi dipandang lebih efisien dan mampu untuk menghasilkan profit ganda dibanding tenaga manusia.
- Di sektor pendidikan, Human Capital Project akan berujung pada semakin masif dan intensifnya komerisialisasi dan liberalisasi pendidikan. Ini karena Human Capital Project mendorong kualitas pendidikan dan manusia lewat determinasi investasi. Proyek ini menyediakan celah bagi kepentingan pasar bebas untuk mengintervensi rancangan kurikulum agar disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja, sehingga lulusannya dapat menjadi skilled labour dan menjalankan skrup perekonomian dunia. Lulusan yang tidak sesuai kualifikasi akan tersingkir dari persaingan kerja.
- Investasi yang masuk ke dalam dunia pendidikan juga akan secara simultan mengurangi tanggung jawab negara pada sektor pendidikan tinggi. Investor akan diberi keleluasaan lebih untuk mendonori perguruan tinggi. Ini artinya privatisasi pendidikan tinggi adalah hal yang tak terhindarkan. Singkatnya proyek ini akan memperdalam krisis akibat UU PT 12 tahun 2012
- Komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi yang kembali dipromosikan secara terselubung dalam serangkaian proyek yang akan diperbincangkan dalam pertemuan tersebut tidak akan menyelesaikan problem atas akses pendidikan. Keleluasaan bagi pasar untuk mengintervensi orientasi pendidikan tinggi dan ruang investasi lebih bagi para investor hingga semakin renggangnya tanggung jawab negara akan berakibat pada semakin mahalnya harga pendidikan tinggi. Semakin mahalnya biaya pendidikan tinggi tentu akan mengandaskan hak dari kelas buruh, kaum tani, miskin kota untuk mengakses pendidikan. Orientasi program pendidikan seperti KKN, program studi hingga penambahan prodi pun disesuaikan dengan tuntutan tuntutan dari pasar global. Secara politis, jargon dari World Bank-IMF Annual Meeting utuk memberantas kemiskinan tidaklah lebih dari bius jargon semata, yang sebenarnya dibelakang semua itu terdapat kepentingan segelintir elit imperialisme.
- Akses Pendidikan yang semakin mahal, akses perkerjaan yang terbatas, hingga kualifikasi pasar kerja layak yang semakin ketat karena tuntutan teknologi akan berujung pada membludaknya pengangguran yang berduyun-duyun rela menjadi pekerja upah murah, layaknya outsourcing/buruh harian lepas. Imbasnya kesenjangan upah antara skilled dan unskilled labour akibat implementasi program Labour Market Flexibility menjadi tak terhindarkan. Terlebih hadirnya regulasi perburuhan hari ini yang sangat menindas, seperti PP 78 tahun 2015 yang mengatur pningkatan upah hanya sampai 9% dan dissuaikan dengan inflasi dan investasi, UU Ketenagakerjaan 13 tahun 2013 yang melegalkan status outsourcing melalui dikotomi PKWT dan PKWTT, hingga yang terbaru Pergub No 54 thun 2018 tentang Upah Minimum yang mengatur penentuan kenaikan upah didasarkan pada penetapan.
Apa Yang Harus Dilakukan?
- Atas dasar situasi tersebut, Mahaiswa mesti menjadi penggerak utama untuk membangun persatuan antar Rakyat tertindas. Karena jawaban atas rencana Imperialist IMF-WB adalah dengan membangun kekuatan untuk melawan rencana jahatnya dengan membangun organisasi yang demokratis anti Imperialist sebagai alat perjuangan.
- Gerakan Mahasiswa juga mesti terhubung dengan Gerakan Buruh, Tani dan Rakyat tertindas lainnya untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati sebagai pondasi pembangunan Industrialisasi Nasional yang mandiri tanpa tergantung dengan utang dan intervensi IMF WB
- Mengorganisasikan aksi kampaye untuk menolak pertemuan IMF dan Word Bank di Bali
Pustaka Rujukan
Baca: Ervjola
Selenica, Universities Between the State & the Market. Development policy,
commercialization &liberalization of higher education.
Baca:
Muhumed Mohamed Muhumed dan Sayid Gas, World Bank and IMF in Deeveloping
Countries: Helping or Hindering?. International Journal of African and Asian
Studies. Vol. 28, 2016
Baca: Erwin
R. Tiongsom. Education Policy Reform: Analyzing the Distributional Effect of
Reform.
Baca: Gian-Carlo
Delgado Ramos dan John Saxe-Fernandez. The World Bank and the Privatization of
Public Education: A Mexican Perspective
Baca:
Investing in People to Build Human Capital (worldbank.org)
Baca:
Siaran Pers Persiapan Penyelenggaran Annual Meeting (AM) IMF-WBG 2018
Pelaksanaan AM 2018 125 Hari Lagi, Seluruh Persiapan Berjalan Lancar
(kemenkeu.go.id)
Baca:
“ Menentang Neo-Kolonialisme Imperialisme Abad 21: Majukan Perjuangan Rakyat Dunia Melawan
Penghisapan dan Penindasan Imperialis AS
Melalui Skema IMF-WB Dan Rezim Boneka Dalam Negeri”. Kampanye Menentang Dana
Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB) Dalam Rencana Menyambut Annual Meeting IMF-WB 12-14 Oktober 2018 di
Bali. (INDIES)
Baca: World Bank Recommends Fewer Regulation Proteting Workers (The Guardian)
Baca: Labour Market Flexibility (worldbank.org)
Baca: Pemprov Jabar Miliki Tiga Program untuk Buruh (Republika)
Baca: Labour Market Flexibility (worldbank.org)
Baca: Pemprov Jabar Miliki Tiga Program untuk Buruh (Republika)
Baca: Quality of Undergraduate Education (Dokumen resmi WB)
No comments:
Post a Comment