Mengabarkan Ketidakadilan: Intervensi IMF dan World Bank dalam Sektor Pendidikan



Oleh: Ahmad Thariq



Pertemuan Annual Meeting IMF-WB yang dihelat pada 12-14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali, menjadi agenda yang akan sangat menentukan kondisi rakyat Indonesia selanjutnya. Pasalnya, dalam pertemuan ini akan membahas serangkaian kebijakan di ranah ekonomi, politik dan kebudayaan. Secara proyeksi tertulisnya, topik yang diperbicangkan akan ditujukan untuk pengentasan kemiskinan, krisis ekologi dan ketimpangan akses pendidikan. Forum tersebut akan melibatkan partisipasi dari para petinggi IMF-WB, politisi mancanegara dan pemangku kebijakan dalam negeri.

Terlepas dari proyeksi ideal yang ditawarkan, pertemuan tersebut juga memuat tendensi politik tersendiri. Pasalnya, World Bank dan IMF telah sejak lama dikenal sebagai oreganisasi yang melayani kepentingan ekonomi imperialisme AS. Sejak pembentukannya, IMF dan World Bank diplot menjadi organisasi yang mempromosikan neoliberalisme lewat peminjaman dan investasi kepada negara-negara berkembang dan pasca-koloni. Alih-alih menyelesaikan permasalahan ketimpangan dan kemiskinan, investasi dan peminjaman yang didonor oleh IMF-WB justru telah menjerat negara berkembang dalam skup intervensi pasar kebijakan dan skema hutang.

Bergerak dari urgensi sebelumnya, tulisan ini akan berusaha untuk menghadirkan presentasi singkat terkait IMF dan World Bank. Bagian pertama akan berfokus pada sejarah IMF dan World Bank. Sementara itu, bagian kedua akan berfokus pada operasionalisasi imperialisme lewat agenda dan kebijakan yang dipromosikannya dalam bidang pendidikan. Bagaian ketiga akan berfokus pada pertemuan Annual Meeting IMF-WB dan implikasinya pada kondisi rakyat Indonesia.
I
Apa itu IMF?
International Monetary Fund (IMF) dibentuk pada Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944 di New Hampshire. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari 44 negara, termasuk John Maynard Keynes dan Harry Dexter Whites. Tujuan utama dibentuknya IMF adalah untuk menstabilisasi pasar finansial global, yang pasca Perang Dunia II mengalami depresi hebat (Great Depression), karena absannya lembaga atau organisasi yang berfokus pada ranah finansial, khsusunya yang mengawasi nilai pertukaran dan mengatasi krisis finansial. Selain itu peranan IMF terhadap anggotanya dilakukan dengan berbagai cara, yakni (1). Mendorong kerjasama internasional dan mengamankan stabilitas keuangan, (2). Memfasilitasi perdagangan internasional, (3). Mendorong pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan serta penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan (4). Mengurangi kemiskinan di dunia

Apa itu World Bank?
Seperti hal nya IMF, World Bank Group (WB) atau Bank Dunia pun dibentuk pada peristiwa, tempat dan waktu yang sama. Pembentukan World Bank dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan mekanisme finansial dalam rangka pembangunan kembali Eropa pasca Perang Dunia II. Secara teknis, World Bank juga ditujukan untuk memberikan donor dan bantuan teknis kepada negara berkembang, yang secara retorika politisnya bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. World Bank terdiri dari lima organisasi yakni International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), International Development Association (IDA), International Finance Corporation (IFC), Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) dan International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)

II
IMF-World Bank dan Agenda Neoliberalisme
Di luar proyeksi permukaannya, IMF dan World Bank telah dibentuk oleh imperialisme untuk melancarkan skema Neioliberalisme. Neoliberalisme adalah paham ekonomi yang beroirentasi pada fundamentalisme pasar skala global melalui penghilangan batas-batas negara. Paham ekonomi ini juga berimplikasi pada privatisasi sektor publik seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Hal ini dapat kita telisik dalam Washington Consensus pada tahun 1989 saat IMF, World Bank dan pemerintah AS bersama-sama merumuskan instrumen kebijakan dan reformasi. Tiga ide pokok yang melatarbelakangi Washington Consensus meliputi ekonomi pasar, keterbukaan dan displin fiskal makroekonomi. Sedangkan, reformasi dalam perjanjian tersebut meliputi, (1) Disiplin fiskal, (2) pengaturan ulang prioritas pengeluaran publik, (3) reformasi pajak, (4) liberalisasi suku bunga, (5) nilai tukar komparatif, (6) liberalisasi perdagangan, (7) liberalisasi investasi langsung asing, (8) privatisasi, (9) deregulasi, dan (10) hak kepemilikan.

Bergerak dari latar belakang tersebut, maka tak mengherankan apabila World Bank dan IMF, lewat skema investasi dan hutang, dengan gencar menerobos batas-batas negara Investasi dan hutang merupakan sarana yang efektif bagi imperialisme lewat skema neoliberal untuk melakukan intervensi atas negara lain, khususnya negara berkembang atau bekas jajahan.

Demi merealisasikan hal tersebut, IMF dan World Bank mempergunakan mekanisme Structural Adjustment Program (SAP’s). Program yang dicanangkan sejak 1980-an ini mengharuskan negara manapun yang ingin bergabung dengan World Bank, harus juga turut tergabung dengan IMF. Selain itu, ada keharusan bagi negara tergabung untuk melakukan liberalisasi perdagangan dan sektor publik.

Implikasinya dari SAP’s terbilang sangat serius. Negara berkembang atau bekas jajahan yang tergabung di dalam IMF dan World Bank tidak mampu untuk melunasi hutang yang terpaksa diterima semenjak tergabung.

Pemaksaan liberalisasi sebagai implikasi dari SAP’s juga diikuti oleh struktur pengambilan keputusan yang tidak demokratis. Struktur pengambilan keputusan kebijakan dalam World Bank terkonsentrasi pada Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki proporsi suara terbesar, diikuti oleh Jepang dan Jerman. Berikut adalah struktur pengambilan keputusan dalam World Bank.

Bagan 1: Bank Dunia: Konstituensi, Direktur Eksekutif, and Status Suara

Country / countries represented

Executive Director
Vote, as % of total vote
United States 

United States 
16.45 
Japan

Japan
7.89
Germany 

Germany
4.51
France 

France
4.32
United Kingdom 

United Kingdom 
4.32
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Eritrea, Angola, Botswana, Burundi, Gambia, Kenya, Lesotho, Liberia, Malawi, Mozambique, Namibia, Nigeria, Seychelles, Sierra Leone, South Africa, Sudan, Swaziland, Tanzania,
Uganda, Zambia, Zimbabwe
Eritrea 
3.35
.
.
.                       
.
.
.
.
.
.
Mali, Benin, Burkina Faso, Cameroon, Cape Verde, Central African Republic, Chad, Comoros, Congo, Cote D’Ivoire, Djibouti, Equatorial Guinea, Gabon, Guinea, GuineaBissau, Madagascar, Mauritania, Mauritius,
Niger, Rwanda, Sao Tome and Principe,
Senegal, Togo
Mali
2.00
Source: Griffith-Jones 2002. In his article, Griffith-Jones illustrates the Constituencies, Executive Directors, and Voting Status of all members of the World Bank, but we selected certain countries from both developed and developing countries to see the gap between them in the bank’s administration and decision making.  

Berdasarkan bagan struktur ssebelumnya, dapat dicermati bahwa AS memegang proporsi suara sebanyak 16,45%, diikuti oleh Jepang 7,89%, dan Jerman 4,51%, sementara negara sisanya hanya memperoleh proporsi suara sebanyak masing-masing 3,55% dan 2%. Indonesia tidak tercantum sebagai pihak yang memiliki kekuatan suara siginifikan dalam pengambilan keputusan dengan hanya menyandang porsi suara 0,96%. Fakta ini tentu sangat memilukan karena di sisi lain Indonesia merupakan salah satu lumbung profit dari imperialisme. Indonesia secara tidak langsung memanfaatkan relasi kuasa struktural demi memaksakan implementasi kebijakan pada Indonesia.

Agenda Neoliberalisme yang dipromosikan IMF-WB pun semakin kentara terlihat mengingat keterhubungan IMF dengan G7 dan G20. Berikut adalah bagan yang menjelaskan keterhubungan IMF dengan G7 dan G20.:

Bagan 2: Struktur Organisasional IMF


Berdasarkan bagan tersebut, dapat diperhatikan G7 dan G20 dapat memengaruhi (secara informal) perumusan kebijakan melalui saran (advises). Saran itulah yang nantinya akan disebar dan diproses oleh bidang-bidang organisasi seperti Dewan Gubernur, yang juga merepresentasikan 187 negara, dan Direktur Manajer beserta staf-staf nya. Dewan Gubernur akan melakukan pertimbangan G7 dan G20 berdasarkan pula pada saran International Monetary and Financial Commitee. Dewan Gubernur akan mendelegasikan kekuasaan pada Dewan Eksekutif sebagai pelaksana. Dalam pelaksanaanya, Dewan Eksekutif akan diawasi dan diatur oleh Direktur Manager yang akan melakukan follow up. Staf Direktur Manager bertugas untuk memberikan saran kebijakan dan bantuan teknis kepada negara-negara anggota, yang hasilnya akan dilaporkan pada Direktur Manager. 

G7 merupakan aliansi antar imperialisme yang terdiri atas Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Italia dan Jepang. Sementara itu, G20 adalah perkumpulan negara-negara seperti Argentina, Australia, Brazil, Canada, Cina, the Uni Eropa, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, and Amerika Serikat. Baik G7 dan G20, adalah aliansi kerjasama ekonomi yang bertujuan untuk industrialisasi dan pembangunan ekonomi berbasis pasar bebas. Dalam kedua aliansi tersebut, imperialisme AS adalah pihak yang paling mendominasi setting agenda kebijakan. 

IMF-WB dan Komersialisasi, Liberalisasi dan Privatisasi Pendidikan
Pasca memutuskan keluar dari IBRD pada masa Orde Lama tahun 1954 karena gejolak politik dalam negeri, Indonesia memutuskan kembali bergabung dengan IBRD pada tanggal 17 Agustus 1965, sehubungan dengan terjadinya pergantian pemerintahan dari Orde lama ke Orde Baru. Bergabungnya kembali Indonesia ke dalam IBRD menjadi salah satu tonggak sejarah merangseknya kembali investasi asing ke dalam negeri.

Pasalnya, keharusan bagi setiap negara tergabung untuk melakukan liberalisasi besar-besaran turut berimbas pada sektor peublik, seperti hal nya pendidikan. SAP’s yang ditetapkan pada forum Washington Consensus secara eksplisit menetapkan privatisasi pendidikan tinggi, layaknya universitas. Proses komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi berlangsung dalam dua tahap. Pada tahun 1980 sampai 1990, IMF-World Bank melancarkan ekspansi dan konsolidasi masif pasar-pasar nasional dalam sektor pendidikan tinggi. Pada tahun 1990, IMF, WB dan WTO fokus merealisasikan pembentukan pasar transnasional pendidikan tinggi. Pertemun ini

Kondisi tersebutlah yang melatarbelakangi munculnya GATS (General Agreement Trade and Services), sebuah perjanjian yang didalamnya memuat liberalisasi, komersialisasi dan privatisasi 12 sektor bidang jasa, termasuk pendidikan tinggi. Perundingan inilah yang hari ini telah melahirkan UU PT No 12 tahun 2012 sebagai payung hukum legitimasi komersialisasi pendidikan.

Pada tahun 1998 World Bank mempublikasikan laporan dengan tajuk The Financing And Administration of Superior Education, yang memuat agenda “reformasi” pendidikan. Dalam laporan tersebut, World Bank memproyeksikan sistem pendidikan yang berorientasi pasar. Fakta ini tercermin dalam kalimat berikut

Agenda reformasi 90an, dan tentunya hampir sampai beberapa abad ke depan, berorientasi pasar daripada kepemilkan publik ataupun perencanaan dan regulasi pemerintah. Pokok dari program pendidikan WB adalah, sebagaimana disebut di laporan, ditujukan untuk privatisasi, deregulasi dan “berorientasi pada pasar

Pada tahun 2005, World Bank mencetuskan proyek Quality of Undergraduate Education. Proyek ini memiliki dua tujuan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan di dalam negeri, dan alokasi sumber daya secara efektif kepd universitas negeri dan swasta. Proyek ini memakan biaya sekitar 109, 10 Juta Dollar AS. Inti dari program ini adalah reformasi sistem pendanaan dan orientasi kurikulum pendidikan agar sesuai dengan tuntutan pasar. Dengan kata lain pendidkan yang dimaksud adalah pendidikan yang mengdepankan kompetisi.

Bagaimana Implementasi dari kebijakan IMF-WB terhadap sistem pendidikan di Indonesia?

Diterapkannya Undang-undang Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012, yang menjadi asas legal dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia, semakin membuka ruang komersialisasi pendidikan. Melalui narasi otonomi kampus, pada hakekatnya lepasnya tanggung jawab dari negara dan menyerahkan dunia pendidikan kepada investasi, bahkan merubah lembaga pendidikan tinggi layaknya perusahaan jasa.

Dari undang-undang ini juga yang melegitimasi mahalnya biaya pendidikan tinggi dengan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal, kredit pendidikan/ student loan dan membuka ruang kerja sama dengan perusahaan lebih luas.
Sebelumnya, Word Bank mengeluarkan program Khusus pendidikan untuk Indonesia, Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE)  2005-2011 dengan dana hutang sebesar 114,54 USD. Lembaga ini juga yang mendikte indonseia untuk mengganti UU BHP Tahun 2009, karena mereka membutuhkan aturan yang lebih kuat untuk meliberalisasi pendidikan. Sehingga pada tahun 2012 lahirlah UU Pendidikan Tinggi.


“ A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a legal subset of BHP”


III

Apa saja yang akan dibahas di Annual Meeting IMF-World Bank?
IMF-World Bank Annual Meeting akan dihelat pada 12-14 Oktober di Nusa Dua, Bali. Demi menyukseskan pertemuan tersebut, Joko Widodo telah menggelontorkan dana kurang lebih Rp 855,5 miliar. Pertemuan tersebut akan dihadiri oleh sekitar 15.000-18.000 delegasi yang berasal dari kalangan media, bankir hingga investor. Tema besar kegiatan IMF-WB Annual Meeting 2018 adalah Voyage to Indonesia 2018 yang berarti perjalanan menuju tempat baru.

Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan kali ini tentu bukan suatu kebetulan. Indonesia terpilih pada bulan Oktober 2015 sebagai tuan rumah IMF-WB Annual Meeting 2018 (AM 2018) Dokumen berjudul Maximizing Finance for Development: Leveraging the Private Sector for Growth and Sustainable Development (Washington DC, 19 September 2017) yang dipersiapkan oleh the World Bank Group untuk pertemuan Development Committee Meeting pada 14 Oktober 2017 dapat dijadikan rujukan. Dokumen itu menjelaskan bahwa Indonesia merupakan satu dari sembilan negara pilot atau percontohan  (diantaranya Kamerun, Pantai Gading, Mesir, Indonesia, Irak, Jordania, Kenya, Nepal, dan Vietnam) yang fokus melaksanakan skema Bank Dunia dalam mengatasi krisis yakni proyek infrastruktur. 

Joko Widodo beserta jajarannya memanfaatkan pertemuan ini untuk memikat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya, Indonesia memang memiliki target PMA yang sangat ambisius. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI mempublikasikan target realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) hingga akhir tahun ini mencapai Rp 477,4 triliun. Oleh karena itu, pemerintah berusaha memanfaatkan forum tersebut untuk mempromosikan perekonomian Indonesia dalam berbagai kegiatan meliputi: (1) Pameran Dagang, (2) Pameran Produk Dalam Negeri, (3) Promosi Wisata, (4) Pameran Infrastruktur, (5) Forum Investasi, dan (6) Pameran lainnya (ekonomi kreatif, digital economy, ekonomi syariah, financial technology

Pertemuan ini juga akan membahas beberapa topik berkenaan dengan sektor ekonomi, politik dan kebudayaan. Teknologisasi dan digitalisasi menjadi salah satu topiknya yang akan dibahas. Ini berkenaan dengan revolusi industri 4.0 yang hari ini berusaha dicanangkan oleh World Bank-IMF. Topik ini disinyalir akan disambut baik oleh Indonesia, karena revolusi industri 4.0 juga menjadi target Joko Widodo berikutnya. Teknoligisasi yang dimaksud salah satunya meliputi impor teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Sementara itu, digitalisasi pasar yang juga dibahas bersandar pada ambisi Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia. Indonesia saat ini telah memiliki empat unicorn (start-up digital yang bernilai lebih dari USD 1 miliar), yaitu Go-Jek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak.

Topik Fleksibilitas Buruh Pasar (Labour Market Flexibility) juga akan mendapat perbincangan tersendiri dalam forum ini. Dalam rilis web resmi World Bank pada 24 April 2018, disebutkan Labour Market Flexibility adalah program yang diorientasikan untuk peningkatan jumlah partisipasi kerja. World Bank menempatkan progam ini untuk mengentaskan 60% rumah tangga yang meimiliki usaha mandiri di dunia hidup dalam kemiskinan. Namun paparan program tersebut jelas hanya kedok menyusul rekomendasi dari World Bank sendiri yang justru ingin mengurangi regulasi perlindungan hak buruh layaknya pengurangan upah minimum, membebaskan pemecatan besar-besaran dan melegalkan kontrak kerja murah dan tidak tetap (outsourcing). Singkat kata, Labour Market Flexibility akan berimplikasi pada deregulasi di sektor buruh.

Selain itu topik-topik lama seperti pengentasan kemiskinan, mengurangi kesenjangan sampai masalah lingkungan pun turut akan dibahas dalam pertemuan ini. Salah satunya adalah Human Capital Project atau Proyek Modal Manusia. Proyek ini ini menitiktekankan pada asumsi bahwa semakin tinggi pendidikan populasi suatu negara, maka secara korelasional pertumbuhan ekonomi suatu negara pun akan semakin cepat. Oleh karena itu, investasi dalam sektor pendidikan harus didorong secara intesif guna merealisasikan pendidikan yang lebih baik.

Topik terkait Human Capital Project sebenarnya sudah sempat dibahas pada Annual Meeting IMF-WB 2017 lalu yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi berbasis investasi. Pada Annual Meeting IMF-WB kali ini, topik ini pun akan kembali dibahas. Oktober sekarang, pembahasan akan ditujukan  pada Human Capital Index untuk mengukur tingkat populasi berdasarkan tingkat pendidikan berbasis investasi yang nantinya akan diplot untuk menjadi skilled labour

Apa Implikasinya?
Beberapa implikasi dari Annual meeting IMF-WB apabila dipetakan, maka dapat ditarik arguemntasi berikut:
  •  Beberapa topik yang sudah dipaparkan sebelumnya apabila diinterogasi secara lebih mendalam memiliki sisi-sisi problematis dan sarat akan kepentingan pasar global. Dalam sektor teknologi, impor teknologi ke dalam negeri menjadi legitimasi bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Ini berarti bahwa pasar dalam negeri akan didominasi oleh para investor asing, dan akan secara gradual menyingkirkan usaha-usaha kecil dalam negeri dari persaingan pasar bebas yang timpang. Skema ini justru akan kembali menimbulkan banyaknya pengangguran ataupun terpaksa menjadi unskilled labour yang harus rela dibayar murah
  • Impor teknologi baru juga akan berimbas pada semakin banyaknya PHK massal karena digantinya tenaga manusia oleh hadirnya teknologi baru. Teknologi dipandang lebih efisien dan mampu untuk menghasilkan profit ganda dibanding tenaga manusia.
  •  Di sektor pendidikan, Human Capital Project akan berujung pada semakin masif dan intensifnya komerisialisasi dan liberalisasi pendidikan. Ini karena Human Capital Project mendorong kualitas pendidikan dan manusia lewat determinasi investasi. Proyek ini menyediakan celah bagi kepentingan pasar bebas untuk mengintervensi rancangan kurikulum agar disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja, sehingga lulusannya dapat menjadi skilled labour dan menjalankan skrup perekonomian dunia. Lulusan yang tidak sesuai kualifikasi akan tersingkir dari persaingan kerja. 
  • Investasi yang masuk ke dalam dunia pendidikan juga akan secara simultan mengurangi tanggung jawab negara pada sektor pendidikan tinggi. Investor akan diberi keleluasaan lebih untuk mendonori perguruan tinggi. Ini artinya privatisasi pendidikan tinggi adalah hal yang tak terhindarkan. Singkatnya proyek ini akan memperdalam krisis akibat UU PT 12 tahun 2012 
  • Komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi yang kembali dipromosikan secara terselubung dalam serangkaian proyek yang akan diperbincangkan dalam pertemuan tersebut tidak akan menyelesaikan problem atas akses pendidikan. Keleluasaan bagi pasar untuk mengintervensi orientasi pendidikan tinggi dan ruang investasi lebih bagi para investor hingga semakin renggangnya tanggung jawab negara akan berakibat pada semakin mahalnya harga pendidikan tinggi. Semakin mahalnya biaya pendidikan tinggi tentu akan mengandaskan hak dari kelas buruh, kaum tani, miskin kota untuk mengakses pendidikan. Orientasi program pendidikan seperti KKN, program studi hingga penambahan prodi pun disesuaikan dengan tuntutan tuntutan dari pasar global. Secara politis, jargon dari World Bank-IMF Annual Meeting utuk memberantas kemiskinan tidaklah lebih dari bius jargon semata, yang sebenarnya dibelakang semua itu terdapat kepentingan segelintir elit imperialisme.
  • Akses Pendidikan yang semakin mahal, akses perkerjaan yang terbatas, hingga kualifikasi pasar kerja layak yang semakin ketat karena tuntutan teknologi akan berujung pada membludaknya pengangguran yang berduyun-duyun rela menjadi pekerja upah murah, layaknya outsourcing/buruh harian lepas. Imbasnya kesenjangan upah antara skilled dan unskilled labour akibat implementasi program Labour Market Flexibility menjadi tak terhindarkan. Terlebih  hadirnya regulasi perburuhan hari ini yang sangat menindas, seperti PP 78 tahun 2015 yang mengatur pningkatan upah hanya sampai 9% dan dissuaikan dengan inflasi dan investasi, UU Ketenagakerjaan 13 tahun 2013 yang melegalkan status outsourcing melalui dikotomi PKWT dan PKWTT, hingga yang terbaru Pergub No 54 thun 2018 tentang Upah Minimum yang mengatur penentuan kenaikan upah didasarkan pada penetapan.

Apa Yang Harus Dilakukan?


  • Atas dasar situasi tersebut, Mahaiswa mesti menjadi penggerak utama untuk membangun persatuan antar Rakyat tertindas. Karena jawaban atas rencana Imperialist IMF-WB adalah dengan membangun kekuatan untuk melawan rencana jahatnya  dengan membangun organisasi yang demokratis anti Imperialist sebagai alat perjuangan.
  • Gerakan Mahasiswa juga mesti terhubung dengan Gerakan Buruh, Tani dan Rakyat tertindas lainnya untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati sebagai pondasi pembangunan Industrialisasi Nasional yang mandiri tanpa tergantung dengan utang dan intervensi IMF WB
  • Mengorganisasikan aksi kampaye untuk menolak pertemuan IMF dan Word Bank di Bali  
Pustaka Rujukan
Baca: Ervjola Selenica, Universities Between the State & the Market. Development policy, commercialization &liberalization of higher education.

Baca: Muhumed Mohamed Muhumed dan Sayid Gas, World Bank and IMF in Deeveloping Countries: Helping or Hindering?. International Journal of African and Asian Studies. Vol. 28, 2016

Baca: Erwin R. Tiongsom. Education Policy Reform: Analyzing the Distributional Effect of Reform.

Baca: Gian-Carlo Delgado Ramos dan John Saxe-Fernandez. The World Bank and the Privatization of Public Education: A Mexican Perspective

Baca: Investing in People to Build Human Capital (worldbank.org)

Baca: Siaran Pers Persiapan Penyelenggaran Annual Meeting (AM) IMF-WBG 2018 Pelaksanaan AM 2018 125 Hari Lagi, Seluruh Persiapan Berjalan Lancar (kemenkeu.go.id)

Baca: “ Menentang Neo-Kolonialisme Imperialisme Abad 21:  Majukan Perjuangan Rakyat Dunia Melawan Penghisapan dan Penindasan  Imperialis AS Melalui Skema IMF-WB Dan Rezim Boneka Dalam Negeri”. Kampanye Menentang Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB) Dalam Rencana Menyambut  Annual Meeting IMF-WB 12-14 Oktober 2018 di Bali. (INDIES)

Baca: World Bank Recommends Fewer Regulation Proteting Workers (The Guardian)

Baca: Labour Market Flexibility (worldbank.org)

Baca: Pemprov Jabar Miliki Tiga Program untuk Buruh (Republika)

Baca: Quality of Undergraduate Education (Dokumen resmi WB)




Share:

No comments: