Pernyataan Sikap FMN UPI atas Rancangan Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tentang Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi
Isu pemberlakuan Rancangan baru Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tentang Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa), belakangan santer mendapat reaksi penolakan keras dari kalangan mahasiswa. Hadirnya penolakan dari kalangan mahasiswa dilatarbelakangi isi dari rancangan Peraturan Menteri yang bertendensi kuat mengancam cita-cita pendidikan demokratis yang menghargai kebebasan berpendapat, berorganisasi (berkumpul dan berserikat), juga menjunjung asas keilmiahan.
Terbukti, rancangan baru Peraturan Kementerian tentang Ormawa telah mencantumkan secara baku struktur organisasi, serta penyeragaman tenggat akhir periode kepengurusan. Pemberlakuan rancangan Peraturan Menteri ini juga akan mengekang kebebasan mahasiswa dalam mengkaji bermacam khasanah ilmu pengetahuan dengan pembatasan untuk melarang penyelenggaraan kegiatan mahasiswa yang terindikasi sebagai penyebaran paham-paham (yang dianggap) bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Gambaran Singkat Situasi Ekonomi Politik Indonesia
Sebelum meneropong lebih jauh untuk membedah rancangan Permen tentang Ormawa, penting untuk melakukan pemetaan terlebih dahulu situasi sosial ekonomi-politik (sitsoskopol) Indonesia yang menjadi prakondisi kemunculan peraturan tersebut. Secara global, sitsoskopol Indonesia dapat kita deskripsikan berikut:
- Dominasi ekonomi di Indonesia adalah Neoliberalisme, bertopang pada investasi, baik asing maupun dalam negeri, dan persaingan bebas berskala global. Di Indonesia, Neoliberalisme telah mencakup segala bidang kehidupan masyarakat (ekonomi, pendidikan, budaya, sosial, dan lain-lain) sebagai lumbung akumulasi kapital. Di era pemerintahan Jokowi, bukti tersebut dapat dilacak terutama dalam paket 2, 5, dan 10 kebijakan ekonomi Jokowi yang isinya berencana memperlancar arus kapital asing ke dalam negeri, serta berorientasi pada pembangunan infrastruktur secara besar-besaran.
- Sebagai imbas dari Neoliberalisme, ketimpangan secara sosial dan ekonomi di Indonesia dalam kategori memprihatinkan. Hal tersebut dibuktikan sejak 2010-2017, Indeks Rasio Gini Indonesia selalu fluktutatif, namun tidak menunjukkan perbaikan signifikan. Di tahun 2017, Indeks Rasio Gini berhenti di angka 0, 393.
- Realisasi dari paket-paket kebijakan Neoliberal Jokowi telah memicu beragam konflik yang dilatarbelakangi oleh ketimpangan kesejahteraan dan sengketa lahan di pelosok-pelosok desa yang diproyeksikan sebagai lahan pembangunan. Menurut rilis terbaru Konsorsium Pembaruan Agraria, sengketa agraria di Indonesia mencapai 659 konflik sepanjang 2017, melibatkan lahan 520. 491, 87 ha ( hektar). Jumlah ini menngkat 50 % dibanding 2016. Konflik muncul dari sektor perkebunan (208), properti (199) infrastruktur (94), kehutanan (30), tambang (22), pesisir-kelautan (28), dan pertanian (78). Konflik agraria di Lampung Desa Mekar Jaya- PT. Langkat Nusantara Kepong, serta Sukamulya dan Kulon Progo yang berjuang melawan pembangunan bandara internasional menjadi beberapa contoh kasus.
- Ketimpangan massal beragam sektor kemasyarakatan serta sengitnya konflik persengketaan lahan di Indonesia telah menjadi prakondisi material munculnya gerakan sebagai reaksi perlawanan, baik gerakan reaksioner seperti mobilisasi umat 212 berjilid-jilid, gerakan anti-kapitalisme (gerakan buruh, gerakan tani), sampai purifikasi agama yang mengusung tatanan kekhilafahan.
- Masifnya perlawanan rakyat lewat serangkaian protes dinilai berpotensi mengancam investasi dan akumulasi kapital. Kondisi tersebut memaksa negara mengeluarkan wataknya yang represif. Pemberlakuan Perppu No. 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan adalah bentuk dari mekanisme hukum yang bertujuan meredam perjuangan rakyat.
- Pemberlakuan Perppu Ormas telah meningkatkan iklim kewaspadaan akan kebangkitan paham radikalisme. Isu kewaspadaan akan paham radikalisme ini terus di blow up di media-media massa. Kewaspadaan anti radikalisme belakangan juga masuk ke dalam institusi pendidikan lewat seminar-seminar dan rencana pencanangan kebijakan.
- Kewaspadaan institusi pendidikan akan masuknya radikalisme selaras dengan semakin munculnya kesadaran mahasiswa yang mengakibatkan demonstrasi seputar permasalahan-permasalahan kampus, seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang menjadi instrumen liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang lahir dari rahim Neoliberalisme untuk akumulasi kapital.
Analisis
Diskursus akan diberlakukannya Rancangan Peraturan Menteri tentang Organisasi Kemahasiswaan, apabila kita pasang pada frame sistsoskopol sebelumnya, besar kemungkinan rancangan tersebut hadir sebagai implikasi dari pemberlakuan Perppu Ormas. Dengan kata lain, regulasi serupa berusaha diterapkan di dalam kampus demi memperkuat pengaruh kontrol secara kedudukan hukum.
Secara umum, rancangan Peraturan Kementerian tentang Organisasi Kemahasiswaan telah mengkhianati semangat UUD 1945 dan Pancasila. Pada pasal 28, UUD 1945 yang khusus mengatur tentang Hak Asasi Manusia dan hukum, hukum Indonesia sudah seharusnya mengedepankan asas demokratis yang menghargai hak mengutarakan pendapat dan berserikat, serta penyelenggaraan hukum yang adil. Hadirnya Rancangan Permen ini tentu merupakan bentuk nyata dari pengingkaran semangat tersebut, karena memanipulasi kekuatan legal untuk mengekang kebebasan berserikat dan mendapat hukum adil.
Pengingkaran atas semangat UUD 1945 dan Pancasila pada Rancangan Permen ini tentu tidak muncul dari ruang kosong. Memperhitungkan praktik akumulasi kapital Neoliberalisme yang telah mengooptasi segala aspek kemasyarakatan, rancangan ini adalah wujud kekhawatiran rezim akan munculnya kesadaran mahasiswa yang memicu terjadinya demonstrasi atas permasalahan kampus. Dengan dalih mencegah masuknya paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta mengisi kekosongan hukum atas kegiatan organisasi kemahasiswaan, pada dasarnya peraturan ini akan diberlakukan untuk mengekang kebebasan berserikat mahasiswa.
Bergerak dari tesis Habermas tentang Administred World, kehadiran rancangan Permen Organisasi Kemahasiswaan adalah untuk mengadministrasikan dan membirokratisasi sehingga memungkinkan keberlangsungan kontrol ketat atas mahasiswa. Dengan mekanisme hukum ini, intervensi kampus akan mampu menjangkau ruang internal organisasi, sehingga akan lebih mudah secara legal bagi pihak kampus untuk menstabilisasi gerak organisasi mahasiswa demi memelihara ststus quo.
Terbukti, dalam BAB IV, bagian Organisasi Kemahasiswaan Intra Perguruan Tinggi pasal 7 ayat 5, yang menetapkan “Peraturan lebih lanjut mengenai pembentukan dan kepengurusan organisasi kemahasiswaan ditetapkan oleh pemimpin Perguruan Tinggi”. Pasal ini gamblang menegaskan secara garis koordinasi antara Perguruan Tinggi dan Organisasi Kemahasiswaan menjadi struktural-sentralistis.
Upaya pengekangan juga tercantum pada pasal yang memaparkan aturan baku struktur organisasi. Pada BAB yang sama, pasal 8, ayat 1 dan 2 menyebutkan Organisasi kemahasiswaan dinyatakan sah apabila pembentukannya ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi. Pengesahan ini bisa dilakukan apabila seluruh perangkat organisasi mahasiswa disetujui oleh Pemimpin Perguruan Tinggi, termasuk AD/ART dan dokumen organisasi lainnya. Secara asas demokratis mekanisme hukum ini telah jelas membatasi kewenangan aspirasi mahasiswa untuk berekspresi, berserikat, dan berpendapat. Sudah seharusnya organisasi kemahasiswaan berstatus non-struktural dengan kampus. Singkatnya, mekanisme ini akan sangat mengancam kebebasan mahasiswa dan mengerdilkan nalar kritis.
Fakta lain yang dapat mengancam terwujudnya pendidikan yang demokratis lewat proses birokratisasi dan administrasi sentralisasi adalah cakupan Permen Ormawa yang juga mengatur hubungan Organisasi Kemahasiswaan antar kampus. Dalam BAB V, tentang Organisasi Kemahasiswaan antar Perguruan Tinggi, pasal 1-5 menetapkan susunan Organisasi Kemahasiswaan akan ditentukan oleh Direktur Jenderal, dan diperbolehkan hanya untuk bidang keilmuan. Pasal ini secara langsung akan mengakibatkan hubungan Organisasi Kemahasiswaan antar kampus menjadi sentralistis, dan terbatas pada bidang keilmuan saja.
Apa yang dimaksud bidang keilmuan? Kalau kita lihat secara kasar maksud dari pasal ini, dengan membacanya pada konteks akademis, maka bidang keilmuan dapat dimaksudkan sebatas pada pengembangan prestasi perkuliahan, dan minat bakat semata, sedangkan hubungan antar Organisasi Kemahasiswaan secara politik akan tidak diperkenankan, atau dipersulit. Pada praksisnya, pasal ini berimbas tercegahnya Organisasi Kemahasiswaan untuk mengonsolidasikan kekuatan untuk menyikapi persoalan sosial-politik yang terjadi saat ini, baik intra kampus maupun masyarakat. Singkatnya, pasal ini berusaha menetralisasi segala kemungkinan menyatunya elemen-elemen politis dan menyerapnya ke dalam skema kerja institusi kampus untuk menaikkan peringkat akreditasi.
Penyeragaman juga jelas tertera pada BAB VI tentang Periode Kepengurusan, pasal 10 ayat 1-3 gamblang menetapkan batas akhir periode kepengurusan yakni 31 Desember. Pasal ini seakan mengesampingkan aspek sosiologis kampus dan organisasi kemahasiswaan yang memiliki dinamika masing-masing, sehingga paradigma hukumnya cenderung top-down bukan bottom-up. Sekali lagi ini, menandakan Rancangan Permen tentang Organisasi Kemahasiswaan tidak memiliki semangat demokratis.
Pendidikan Demokratis: Utopia?
Dalam buku The Divided Academic, universitas sudah seharusnya menjadi tempat hak untuk berpendapat, bertukar pikiran dan berserikat dijunjung tinggi. Inilah tempat sebuah permasalahan realitas dipecahkan, mempertanyakan validitas ilmu pengetahuan, kebijakan, dan budaya yang tengah mapan. Universitas juga merupakan tempat ketika seorang dosen dan mahasiswa dalam posisi setara dalam mengutarakan haknya, berdialog untuk bersama-sama membangun perubahan masyarakat, dan membebaskan yang tertindas.
Sayangnya hari ini gambaran tersebut masih terasa jauh untuk direalisasikan. Kooptasi modal asing yang berimplikasi pada praktik komersialisasi dan liberalisasi pendidikan adalah rintangan nyata untuk merealisasikan tujuan itu. Seringkali, praktik-praktik komersialisasi dan liberalisasi mendapat topangan dari pemberlakuan hukum secara sewenang-wenang, seperti yang dapat kita temui pada isu akan diberlakukannya rancangan Permen tentang Organisasi Kemahasiswaan, yang notabene, adalah bentuk dari kebijakan yang tidak mengedepankan nilai-nilai demokratis pendidikan.
Akhirnya, dengan serangkaian pemaparan sebelumnya, FMN ranting Universitas Pendidikan Indonesia menegaskan sikap menolak dengan keras rancangan Permenriestekdikti tentang Organisasi Kemahasiswaan, karena tidak selaras dengan falsafah pendidikan bangsa yang menjunjung tinggi kebebasan berserikat dan berpendapat, perlakuan adil di hadapan hukum, dan kesetaraan derajat dan hak. Wallahu'alam bishawab***
Ttd
Ahmad Thariq, anggota FMN Universitas Pendidikan Indonesia.
No comments:
Post a Comment