HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL DAN PROBLEM KHUSUS KAUM PEREMPUAN DI INDONESIA


Oleh
Alvie Harianja

Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Bandung Raya/Komunitas Kalam Saskara UNPAD

Pengantar: Sejarah Hari Perempuan Internasional

Salam Demokrasi!

Apa kepentingan kita dalam memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret
nanti?

Saat 8 Maret 2018 nanti, kita akan memperingati Hari Perempuan Internasional, yaitu hari
dimana kita memperingati suatu peristiwa yang heroik, yang berkaitan tentang kaum
perempuan dan klas buruh. Penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana sejatinya 8 Maret
2018 diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Sejarah telah mencatat bahwa pada
8 Maret 1857 terjadi demonstrasi kaum perempuan klas buruh dari berbagai pabrik (terutama
pabrik tekstil dan garmen) di New York, Amerika Serikat yang menuntut penghapusan
diskriminasi dalam hubungan kerja, pengurangan jam kerja, dan perbaikan kondisi kerja.
Aksi massa yang dilakukan oleh massa klas buruh perempuan tersebut dibubarkan paksa
oleh polisi, sedangkan sebagian kecil dari mereka ditangkap. Aksi massa tersebut pada
akhirnya meluas dan mulai bergerak ke luar pabrik.

Pada 1908 di tanggal dan bulan yang sama, sekitar 30.000 orang anggota klas buruh dari
sektor perempuan dan pendukungnya mengadakan rapat umum di New York. Dalam rapat
umum tersebut, mereka menuntut hak-hak politik, yaitu hak untuk dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum. Pada 28 Februari 1909, gerakan perempuan yang didukung oleh
kalangan sosialis Amerika melakukan deklarasi pembentukan Partai Sosialis Amerika. Pada
tanggal itu pula, Hari Perempuan ditetapkan pertamakali. Hingga 1913, perempuan Amerika
terus merayakan hari perempuan pada 28 Februari.

Pada 8 Maret 1910, Konferensi Internasional Perempuan Pekerja digelar di Copenhagen,
Denmark. Konferensi tersebut melibatkan 100 perempuan dari 17 negara yang mewakili
serikat buruh, partai sosialis, dan kelompok pekerja perempuan. Dalam konferensi tersebut,
Clara Zetkin yang merupakan pimpinan komite perempuan dari Partai Sosial Demokrat
Jerman mengusulkan agar seluruh negara memperingati hari perempuan pada 8 Maret,
berkaitan dengan peristiwa tahun 1857 sebelumnya.

Pada 1917 di Rusia, para pekerja perempuan menggelar aksi protes atas kematian lebih dari
2 juta tentara Rusia dalam perang melalui kampanye Roti dan Perdamaian. Protes tersebut
terjadi pada Minggu, 8 Maret. Protes yang dilakukan oleh para pekerja perempuan tersebut
berujung pada kejatuhan Tsar empat hari kemudian. Peristiwa tersebut yang kita kenal hari
ini sebagai Revolusi Februari Rusia, dimana pada akhirnya tanggal terjadinya peristiwa
tersebut ditetapkan sebagai hari perempuan di Rusia.

Pada akhirnya, sejak 1960 hingga 1970-an, para aktivis perempuan yang sebagian besar dari
klas buruh pada akhirnya menuntut PBB untuk menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan
Internasional dikarenakan banyaknya peristiwa-peristiwa heroik yang berkaitan dengan
perempuan terjadi pada tanggal tersebut. pada 1975, pada akhirnya PBB mulai menetapkan
8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional, terhitung sejak terjadinya peristiwa aksi
massa pekerja perempuan New York pada 1857, atau sejak terjadinya Revolusi Februari Rusia
pada 1917.

Dari paparan tersebut, jelas bagi kita semua bahwa lahirnya momentum Hari Perempuan
Internasional tidak pernah terlepas dari perjuangan klas buruh itu sendiri. Karena itu, penting
bagi klas buruh, terutama dari sektor perempuan untuk terus memperingati Hari Perempuan
Internasional sebagai momentum untuk memperkuat persatuan diantara sesama pekerja
perempuan dalam melawan penindasan terhadap mereka.
Perempuan dan Kekerasan Seksual

Dari sejak munculnya pertanian yang menyebabkan manusia mulai berhenti untuk
melakukan perburuan dan berpindah-pindah tempat tinggal hingga hari ini, penindasan
terhadap perempuan tidak pernah berhenti. Dominasi laki-laki atas perempuan sejak saat itu
tidak pernah berubah, kondisi tersebut lah yang kita kenal sebagai sistem patriarki. Pada
masa perbudakan di Eropa, kaum perempuan merupakan klas kedua yang setara dengan

budak. Pada masa Feodalisme, kaum perempuan merupakan pembantu rumah tangga laki-
laki yang tidak memiliki hak milik atas tanah sama sekali, walaupun kaum perempuan juga ikut menikmati hasil kekayaannya. Pada masa Kapitalisme, klas buruh yang upahnya paling
murah merupakan klas buruh dari sektor perempuan dan anak-anak. Penindasan terhadap
perempuan secara hakiki tidak pernah hilang, namun bentuknya berubah-ubah seiring
perkembangan tatanan masyarakat terjadi.

Hingga hari ini, perempuan mengalami penindasan dengan bentuk yang lebih banyak lagi.
Mulai dari terjadinya ketimpangan upah, tidak diberikannya hak-hak pekerja perempuan,
pengiriman pekerja perempuan ke luar negeri, hingga rendahnya partisipasi politik
perempuan dalam parlemen. Salah satu kasus ketimpangan upah yang terjadi ialah terjadi di
Pangalengan, Bandung, dimana upah buruh tani perempuan yang bekerja di PTPN VIII
hanya Rp 35.000 per hari, sedangkan upah buruh tani laki-laki mencapai Rp 50.000 per hari.
Di wilayah Siak, Riau, PT. Sinar Mas Group yang memiliki perkebunan sawit yang sangat
besar banyak melakukan ancaman reproduksi dan pelecehan seksual terhadap pekerja
perempuannya. Bila buruh perempuan ingin mengajukan cuti haid kepada mandornya,
selangkangan mereka harus diperiksa terlebih dahulu dan kemaluannya diraba. Di Kawasan
Berikat Nusantara (KBN), Cakung, Jakarta Timur, terdapat 80.000 buruh, dimana 90%
buruhnya merupakan perempuan. Dalam KBN tersebut, bahkan para pekerja perempuannya
tidak disediakan fasilitas menyusui sama sekali. Belum lagi, kasus-kasus mengenai pelecehan
seksual dan pemerkosaan yang dilakukan oleh para majikan dari buruh migran Indonesia
yang bahkan banyak menelan korban.

Dari kasus-kasus tersebut, kasus yang paling sering kita dengar mengenai perempuan ialah
kekerasan. Tahun 2017, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 74% dari tahun sebelumnya, yaitu mencapai 348.446 kasus, dimana kasus KDRT merupakan jumlah
kasus tertinggi, yaitu mencapai 71%, disusul dengan kekerasan yang terjadi di ranah publik
dan kekerasan yang dilakukan oleh negara. Dari total kasus KDRT tersebut, kasus kekerasan
fisik mencapai 41%, sedangkan kekerasan seksual mencapai 31%. Sedangkan dari jumlah
kasus kekerasan yang terjadi di publik, 76% kasus tersebut merupakan kasus kekerasan
seksual. Dari persentase tersebut, faktanya bahkan para istri dan anak perempuan tidak lagi
aman berada di rumahnya. Bahkan banyak terjadi kasus pemerkosaan anak perempuan yang
dilakukan oleh ayahnya sendiri atau anggota keluarga laki-laki lainnya.

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa terkait dengan KDRT dan kekerasan seksual di
ranah publik, hal yang paling memprihatinkan ialah para pejabat publik dan tokoh
masyarakat juga turut terlibat sebagai pelaku. Kedua sektor tersebut tidak jarang memberikan
pernyataan di hadapan publik bernada pemojokan terhadap korban. Alih-alih mendapatkan
perlindungan dan akses keadilan, perempuan korban kekerasan seksual justru kerap menjadi
korban kriminalisasi. Hal inilah yang dialami oleh Anindya Sabrina (anggota FMN Cabang
Surabaya) yang dilecehkan oleh Satpol PP saat berdemonstrasi, ibu Baiq Nuril (salah satu
guru SMK di Lombok) yang dilecehkan oleh kepala sekolahnya yang mengajaknya
berselingkuh, Agni (salah satu mahasiswa UGM) yang diperkosa oleh teman KKN-nya
sendiri yang bahkan kasusnya sengaja ditutup oleh pihak kampus agar tidak mencemari
nama kampus, hingga perkosaan yang dialami oleh WA (gadis yang berusia 15 tahun asal
Jambi), yang diperkosa oleh kakak kandungnya hingga 9 kali kemudian hamil, malah
dipenjara. Mereka adalah korban kekerasan seksual yang mengalami kriminalisasi oleh
aparatus negara. Selain itu juga terdapat kasus yang terjadi pada RA, karyawan di BPJS
Ketenagakerjaan yang sudah 4 kali diperkosa oleh atasannya sendiri, selang dua tahun
berlangsung, pada akhirnya RA pun bersuara atas kejadian yang menimpa dirinya, namun
yang terjadi ialah RA justru di-PHK sepihak oleh Dewan Pengawas BPJS.

Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa hingga hari ini, kaum perempuan yang berasal
dari klas buruh, pemuda-mahasiswa, serta kaum tani masih mengalami penindasan melalui
kekerasan fisik dan seksual. Bahkan tiap tahun, jumlah kekerasan tersebut terus meningkat.
Hal ini menandakan bahwa peran negara dalam melindungi kaum perempuan melalui
berbagai lembaganya (Kementrian Pemberdayaan Perempuan misalnya) telah gagal dan
hampir tidak berdampak sama sekali terhadap kaum perempuan. Untuk itulah para aktivis
perempuan yang berasal dari kalangan sosial demokrat dan liberal mengusulkan kepada
negara melalui DPR untuk membuat satu peraturan mengenai perlindungan terhadap kaum
perempuan dari kekerasan fisik dan seksual.

Tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Kritik Terhadapnya
Menurut Laporan Komnas Perempuan Tahun 2018, terdapat beberapa kasus kekerasan
seksual, diantaranya ialah kasus kekerasan seksual di ranah personal dan ranah publik. Kasus
kekerasan seksual di ranah personal antara lain dilakukan oleh pacar (1.528 kasus), ayah
kandung (425 kasus), paman (322 kasus), ayah tiri (205 kasus), suami (192 kasus), dan pelaku
lainnya yang masih memiliki hubungan keluarga. Sedangkan kasus kekerasan seksual di
ranah publik dilakukan oleh teman (1.106 kasus), tetangga (863 kasus), orang lain (257 kasus), orang tidak dikenal (147 kasus), guru (125 kasus), atasan kerja (54 kasus), tokoh agama (12
kasus), dan tokoh masyarakat (2 kasus). Kasus-kasus tersebut terjadi sepanjang tahun 2017.
Sedangkan menurut Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga Bulan
September 2018, jumlah korban kekerasan seksual terhadap anak mencapai 115 kasus,
sedangkan korban prostitusi anak dan eksploitasi seks komersial anak masing-masing
mencapai 81 kasus dan 49 kasus. Dari data-data tersebut, tidak mengherankan jika para
aktivis perempuan bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
mengajukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada DPR untuk disahkan.
Menurut Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Ratna Batara Munti,
mengatakan terdapat 5 poin penting yang perlu menjadi fokus perhatian Pemerintah dan
DPR dalam membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut. Pertama, berbagai
macam kasus kekerasan seksual selama ini tidak pernah diakui oleh hukum, diantaranya
ialah 9 bentuk kekerasan seksual yang tercatat dalam RUU tersebut, yaitu pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan
perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, hingga kepada penyiksaan seksual.
Kedua, RUU tersebut memuat prosedur hukum, termasuk sistem pembuktian yang sensitif
dan memperhitungkan pengalaman korban. Ketiga, mengatur penanganan hukum terpadu
dan terintegrasi dengan semua layanan bagi korban, dimana korban membutuhkan
penangan cepat dan terpadu untuk pemulihan kondisi fisik, psikologis, serta pemenuhan
akses keadilan pada saat yang sama. Keempat, mengakui dan mengutamakan hak-hak korban
serta menekankan kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak korban. Kelima, RUU tersebut
menekankan perubahan budaya masyarakat dalam memandang kekerasan seksual dengan
upaya membangun kesadaran melalui pendidikan, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik.
Di dalam RUU tersebut, juga terdapat beberapa poin yang mesti kita soroti, diantaranya ialah
arti dari ‘kekerasan seksual’ itu sendiri dalam pasal 1 yang menyebutkan:
“Kekerasan seksual ialah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual
seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan
dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena
ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual,
kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Jika kita sederhanakan, kekerasan seksual berarti selalu berhubungan dengan pemaksaan
sikap dan perilaku seksual seseorang terhadap orang lain. Bentuk-bentuk kekerasan seksual
sendiri ada 9, hal tersebut tercatat dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2), diantaranya ialah pelecehan
seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual
yang meliputi ranah rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk dalam situasi konflik,
bencana alam, dan situasi khusus lainnya.

Karena beberapa hal tersebut lah, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting
untuk segera disahkan, mengingat isinya melindungi kaum perempuan dari berbagai sektor
– termasuk klas buruh dan kaum tani – dari kekerasan seksual yang sedang marak terjadi.
Di dalam RUU tersebut juga lengkap membahas soal adanya pidana pokok yang terdiri atas
pemenjaraan terhadap pelaku dan rehabilitasi khusus (Pasal 107) serta pidana tambahan yang
terdiri atas restitusi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial,
pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak pekerjaan,
pencabutan jabatan, serta yang lainnya. Dalam kata lain, bagi para pelaku kekerasan seksual
– menurut RUU ini – harus mendapatkan hukuman yang bahkan lebih berat dan rinci
daripada hukuman yang dijelaskan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
yang bahkan hanya membahas soal perkosaan saja.

Namun jika ditinjau dari analisa ekonomi politik, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual adalah alat dari rezim yang sedang berkuasa untuk mendapatkan simpati dari kaum
perempuan di dalam negeri maupun luar negeri, sehingga muncul anggapan bahwa
Indonesia telah berhasil menjadi negara yang demokratis. Kenyataannya, RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual sendiri sebenarnya sudah lama digaungkan oleh para aktivis perempuan,
namun mirisnya, Pemerintah baru merespon aspirasi para aktivis perempuan tersebut
sekarang, ketika momen Pemilihan Umum terjadi sebentar lagi.

Sedangkan jika kita tarik lebih jauh lagi, walaupun pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual diharapkan sedikitnya mampu mengurangi kasus kekerasan seksual yang terjadi di
kalangan kaum perempuan, namun sejatinya tidak menghapus problem penindasan
terhadap perempuan secara keseluruhan. Mengapa demikian? Karena penindasan terhadap
perempuan bukan hanya sekedar masalah kekerasan seksual saja, tapi merupakan masalah
yang hadir karena adanya klas-klas dalam masyarakat. Hadirnya penindasan terhadap
perempuan tidak bisa terlepas dari hadirnya sistem pertanian yang menyebabkan munculnya
klas-klas serta tergesernya peran perempuan dari pembuat alat-alat perkakas menjadi hanya
sekedar pembantu rumah tangga saja sejak saat itu. Karena itulah, untuk menghapus
penindasan terhadap perempuan, maka kita harus menghapus akarnya, yaitu klas-klas yang
berkembang dalam masyarakat.

“Mari Melawan Penindasan Terhadap Perempuan!”
Banyaknya kasus kekerasan seksual, ketimpangan upah, tidak diterapkannya hak-hak
pekerja perempuan, hingga kekerasan fisik yang dialami kaum perempuan menandakan
bahwa negara telah gagal dalam menjalankan salah satu perannya, yaitu melindungi dan
mengayomi rakyatnya, khususnya dalam hal ini kaum perempuan. Kasus kekerasan seksual
misalnya, tercatat terus meningkat. Pada 2017, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan
meningkat hingga 74% dari tahun sebelumnya, yaitu mencapai 348.446, padahal tahun
sebelumnya hanya mencapai 259.150 kasus. Dari seluruh kasus tersebut, KDRT merupakan
kasus tertinggi yang dialami oleh kaum perempuan. Sedangkan wilayah yang paling banyak
terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan ialah wilayah DKI Jakarta, lalu disusul oleh
Jawa Timur dan Jawa Barat. Hal tersebut menandakan bahwa kekerasan terhadap perempuan
sangat umum terjadi di wilayah-wilayah metropolitan.

Selain itu, kasus-kasus yang dialami oleh klas buruh tani juga tidak kalah buruknya. Di Riau,
para buruh tani perempuan yang bekerja di PT. Sinar Mas Group mengalami pelecehan
seksual ketika mereka meminta cuti haid kepada mandornya. Di Jawa Barat, upah buruh tani
perempuan tidak lebih besar dari upah buruh tani laki-laki. Di DKI Jakarta, para buruh
perempuan bahkan tidak mendapatkan hak untuk menyusui anaknya. Hal tersebut
menambah sederetan kasus penindasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dari kasus-kasus tersebut, kaum perempuan pada akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain
melawan penindasan tersebut. Kaum perempuan harus menyatukan diri dengan
membangun organisasi perempuan yang maju, memperkuat dan memperluas organisasi
perempuan yang maju tersebut, serta melebur dalam perjuangan klas buruh dan kaum tani
dalam melawan segala bentuk kekerasan dan penindasan. Karena pembebasan bagi kaum
perempuan tidak pernah bisa terlepas dari perjuangan klas buruh dan kaum tani. Bahkan
momentum Hari Perempuan Internasional 8 Maret sendiri lahir karena perjuangan para
buruh perempuan dalam menuntut hak-haknya. Dengan kata lain, tidak ada pembebasan
sejati bagi kaum perempuan tanpa ada pembebasan sejati bagi klas buruh dan kaum tani.
Penutup

Dari paparan diatas, dalam momentum Hari Perempuan Internasional 8 Maret ini, kita harus
terus menyerukan penghapusan kekerasan seksual melalui disahkannya RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. Hal tersebut adalah sebagai bagian dari perjuangan kecil kita dalam
melawan penindasan terhadap perempuan. Selain itu, kita harus terus melebur ke dalam
perjuangan klas buruh sebagai pemimpin pembebasan yang mampu membebaskan diri
mereka dan rakyat tertindas lainnya dari penindasan serta kaum tani sebagai soko guru
pembebasan yang menjadi sekutu aktif klas buruh dalam menghapus penindasan tersebut.
Tidak lupa bagi kita juga, bahwa kita harus menyerukan kepada seluruh kaum perempuan
untuk terus aktif terlibat dalam perjuangan melawan penindasan terhadap mereka melalui
pembangunan organisasi yang berkarakter maju, berwatak demokratis, serta mampu menjadi
garda depan dalam berjuang melawan penindasan terhadap perempuan. Karena itulah,
pembangunan kesadaran melalui penyebaran pengetahuan dan praktek harus terus kita
gelorakan sebagai bagian dari kampanye aktif untuk Hari Perempuan Internasional.

Jatinangor, 15 Februari 2019
Share:

No comments: