Oleh
Alvie Harianja
Kepala Dept. Organisasi
Pimpinan Cabang FMN Bandung Raya
Ada Apa Dengan Palestina?
Tanah
Palestina adalah tanah multi-etnis yang dihuni oleh Bangsa Arab, Suku Bani
Israil atau Yahudi, Druze, dan suku-suku Semit lainnya yang hidup dan berkembang
sejak Peradaban Punisia di era abad 18-20 Sebelum Masehi. Selain itu, Palestina
adalah rumah bagi agama-agama besar monotheis, yaitu Yudaisme, Kristiani, dan Islam.
Peradaban Yahudi Kuno sendiri berpusat di Tanah Palestina, tepatnya di Samaria
dan Yudea (di Wilayah Tepi Barat) dengan kota kuno terbesarnya ialah Nablus. Selain
itu, Palestina juga memiliki salah satu kota tertua di dunia yang dibangun oleh
Peradaban Punisia, yaitu Kota Jericho yang sudah berumur 10.000 tahun. Kita juga
perlu tahu bahwa abjad alfabet tertua sendiri berasal dari Peradaban Punisia
Kuno di Palestina. Hal-hal tersebut membuat Palestina menjadi bagian dari area “Bulan
Sabit Subur” yang paling kaya akan sejarah peradaban dan kebudayaan. Selain
itu, penduduk Wilayah Palestina sendiri sebanyak 2.921.170 jiwa di Tepi Barat,
1.932.843 jiwa di Jalur Gaza[1],
dan 9.033.730 jiwa di Wilayah Aneksasi Negara Israel[2]. Sebagian
besar penduduk Wilayah Palestina ialah Bangsa Arab, disusul oleh Bangsa Yahudi,
Druze, Armenia, dan Adhyge atau Sirkasia. Jumlah penduduk tersebut belum mencakup
pengungsi Bangsa Arab Palestina yang mengungsi akibat dari konflik Israel –
Palestina.
Luas
Wilayah Palestina mencakup 28.092 km2. Palestina sendiri merupakan suatu
wilayah yang terletak di Tepi Sungai Jordan yang memanjang dari Sebelah Selatan
Laut Mati hingga Teluk Aqabah. Secara astronomis, Wilayah Palestina membentang
pada garis 150 – 340 Lintang Utara dan 340 – 570
Bujur Timur. Wilayah Palestina berbatasan dengan Semenanjung Sinai di sebelah
barat, Lebanon dan Syria di sebelah timur, Laut Tengah di sebelah utara, dan
Yordania di sebelah selatan. Secara kontinental, Palestina terbagi atas daerah
pantai dan dataran rendah, daerah dataran tinggi, Kawasan Lembah Jordan, dan
Kawasan Negev. Karena ragamnya topografi wilayah Palestina, iklim di Palestina
berfluktuasi antara iklim Laut Tengah (Mediterranea) dengan iklim gurun,
walaupun iklim Mediterranea lebih dominan daripada iklim gurun. Dengan kondisi
yang demikian, Tanah Palestina yang kaya akan air tanahnya banyak didominasi
oleh perkebunan dan sabana dengan komoditi anggur, zaitun, ara, gandum, barli,
dan sekoi. Selain itu, Tanah Palestina juga kaya akan bijih besi dan tembaga,
emas, perak, timah putih, serta timah hitam. Di Kawasan Lembah Jordan sendiri
terdapat lapisan-lapisan tanah liat yang banyak digunakan untuk industri
pengolahan batu bata dan tembikar.
Namun
patut kita sadari, Tanah Palestina menjadi penting bukan karena hasil kekayaan tambangnya;
karena dibanding Palestina, Wilayah Turki, Mesir, dan Semenanjung Arab lebih melimpah
hasil kekayaan alamnya sehingga lebih mampu menarik Imperialis untuk menguasai
sumber-sumber kekayaan tambangnya. Tanah Palestina mempunyai keunikannya
sendiri yang tidak dimiliki oleh wilayah Semitis lainnya. Selain daripada
problem historis dan teologis yang melibatkan konflik antara Bangsa Arab dengan
Bangsa Yahudi serta konflik antara ketiga agama besar dunia, terdapat problem-problem
ekonomi politik yang mendasari konflik-konflik tersebut.
Dari
sisi historis, Tanah Palestina yang merupakan bagian dari “Bulan Sabit Subur”
menjadi tanah yang kaya akan komoditi-komoditi pertanian dan perkebunan yang
pada akhirnya melahirkan peradaban pertanian yang maju sejak era pertengahan
dari Zaman Perunggu. Sejak saat itu, Palestina banyak dikuasai oleh
peradaban-peradaban kuno hingga modern seperti Peradaban Kana’an, Punisia,
Minoa, Syriac, Mesir Kuno (1550 – 1200 SM), Kerajaan Israel (1020 SM), Dinasti
Assyria Baru (740 SM), Babilonia (627 SM), Akhmenid (539 SM), Macedonia (330
SM), Seleucid (219 – 200 SM), Romawi (6 SM), Arab Umayyah (636 M), Abbasyah
(750 M), Tuluniyah, Ikhsidiyah (878 M), Fatimiyyah (969 M), Dinasti Seljuk
(1073 M), Tentara Salib (1098 M), Ayyubiyah (1187 M), Mongol, Mameluk (1260 M),
Ottoman Turki (sejak 1516 M), Mesir (1832 M), hingga Kolonialis Inggris (1840
M). Jadi, klaim Tanah Palestina adalah milik Yahudi tidak bisa dibenarkan
karena awal peradaban di Palestina justru bukan dari Yahudi Kuno, namun dari
banyaknya percampuran peradaban.
Dari
sisi teologis, Palestina merupakan tanah suci bagi beberapa agama, diantaranya
tiga agama monoteis besar mencakup Yudaisme, Kristiani, dan Islam. Selain itu
juga terdapat agama Druze yang juga tumbuh di wilayah ini. Yudaisme mengklaim
bahwa Palestina atau Tanah Israel merupakan ‘tanah yang dijanjikan’ oleh Tuhan
kepada mereka, seperti yang telah disebutkan oleh kitab Taurat. Kristiani mengklaim
bahwa Tanah Palestina merupakan tanah kelahiran (Bethlehem), kematian (Bukit
Zion, Yerussalem), dan kebangkitan Kristus, sehingga menjadi tanah suci yang
dijanjikan bagi mereka. Sedangkan bagi Islam, Palestina merupakan tanah suci
ketiga mereka setelah Mekkah dan Medinah dikarenakan salah satu kotanya, yaitu
Yerusalem, pernah menjadi kiblat pertama umat muslim dalam melaksanakan sholat.
Namun
yang jadi problem pentingnya Wilayah Palestina bagi Gerakan Zionisme ialah
beberapa hal. Pertama, Tanah
Palestina merupakan tanah yang subur dan kaya akan hasil perkebunan sehingga menjadi
sentra perkebunan utama di Wilayah “Bulan Sabit Subur”; Kedua, karena adanya klaim teologis, Tanah Palestina menjadi sentra
yang menggiurkan dalam sektor kepariwisataan; Ketiga, Wilayah Palestina merupakan buffer state bagi Mesir, Yordania, Lebanon, dan Syria yang
menghubungkan Wilayah Arab dengan jalur perdagangan internasional di
Mediterranea-Asia-Afrika; Keempat,
adanya sebab-sebab politik yang lahir akibat Kolonialisme. Ketiganya menjadi
faktor utama mengapa Tanah Palestina diperebutkan oleh dua entitas utama, yaitu
Yahudi dan Arab Palestina. Namun mari kita periksa dari sisi analisa kelas,
mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Dukungan Imperialis Inggris dan Posisi
Imperialis AS Terhadap Israel
Keberadaan
pemukiman imigran Yahudi di Palestina di masa Modern bisa dilacak dari sejak
penguasaan Ottoman dan Muhammad Ali dari Mesir atas Palestina. Di masa
tersebut, Palestina mengalami masa Feodalisme yang menjadi basis sosial bagi hadirnya
penjajahan Ottoman dan Mesir. Rakyat Palestina pada masa itu terdiri atas
Bangsa Arab yang sebagian besar merupakan tani miskin dan buruh tani yang
bekerja pada tuan tanah Ottoman. Periode tersebut terjadi pada rentang 1830 –
1870-an.
Keadaan
tersebut berubah ketika imigran Yahudi secara bertahap membeli banyak lahan di Palestina
dan mendirikan banyak perkebunan dengan alat-alat yang modern. Selain itu,
banyak juga imigran Yahudi yang pada akhirnya mendirikan industri-industri
perkebunan dan mendirikan perkotaan sebagai sentra penjualan komoditi perkebunan
tersebut. Berdirinya kota-kota tersebut juga didukung oleh pedagang-pedagang Kristiani,
para tuan tanah muslim, serta penagih pajak dengan maksud mendirikan pasar
nasional dan menghapus ciri Feodalisme di pedesaan yang meghambat pertumbuhan
kapital nasional. Terlepas dari itu, hadirnya Bangsa Eropa yang kebanyakan
menjadi pembeli komoditas perkebunan Palestina juga tidak bisa kita hiraukan
sebagai kekuatan yang turut andil memodernisasi Tanah palestina.
Pada
1860-an, Dinasti Ottoman terlibat dengan Perang Krimea yang juga melibatkan
Rusia. Perang tersebut menyebabkan lemahnya penguasaan rezim terhadap sistem
pertanian Palestina. Faktor tersebut juga menjadi tanda bagi berakhirnya sistem
pertanian subsisten di Palestina. Faktor lain yang mempengaruhi perubahan
sosial di Palestina ialah naiknya harga-harga komoditi dunia di periode yang
sama dengan Perang Krimea akibat krisis overproduksi akut yang dialami oleh
Kapitalisme Perdagangan. Hal tersebut memaksa para tuan tanah besar dan
pedagang perkotaan yang berkebangsaan Eropa dan Yahudi di Palestina menaikkan
harga terigu, gandum, dan jagung. Krisis pada masa itu juga memaksa para petani
yang rata-rata merupakan Bangsa Arab Palestina menjual murah komoditi
perkebunan seperti wijen, kapas, jeruk, minyak zaitun, dan anggur kepada para
tuan tanah besar yang notabene kebanyakan berkebangsaan Yahudi dan Eropa.
Untuk
mendapatkan komoditi perkebunan yang lebih murah, Kesultanan Ottoman menerapkan
kebijakan Reforma Agraria palsu pada akhir abad 19 dengan aturan kepemilikan
tanah yang dibatasi bagi para pemilik tanah lokal dan penyewaan tanah bagi para
investor asing di Palestina dan Mesir. Bisa ditebak, rata-rata para pembeli
tanah dan penyewa lahan di Palestina pada saat itu adalah para pengusaha yang
tergabung dalam organisasi fasis Zionisme. Mereka bisa mendapatkan tanah dengan
harga murah dari Kesultanan Ottoman yang sedang membutuhkan bantuan keuangan
untuk memenangkan Perang Krimea. Akibat kebijakan tersebut, banyak
petani-petani miskin berkebangsaan Arab pada akhirnya bergeser ke wilayah
pegunungan Tepi Barat, sedangkan para tuan tanah besar berkebangsaan Eropa dan para
pedagang Yahudi menempati wilayah urban pesisir. Pada akhir abad 19 tersebut,
sudah terdapat 21 pemukiman imigran Yahudi dengan penduduk sekitar 4500 jiwa. Dua
pertiga dari imigran Yahudi tersebut menjadi pemilik lahan perkebunan.
Sedangkan
keterlibatan Imperialis Inggris sendiri dengan berdirinya negara Israel modern tidak
bisa dianggap sederhana. Kita harus melacaknya dalam satu rantai sejarah antara
kemunculan pemukiman imigran Yahudi dengan Perang Dunia I yang melibatkan
Kesultanan Ottoman.
Pada
1914, Perang Dunia I pecah di Eropa dan membagi Eropa menjadi dua kekuatan,
yaitu poros Axis yang dipimpin Jerman dengan poros sekutu yang dipimpin Inggris
dan Perancis. Perang Dunia I menjadi bentuk perang pertama yang menunjukkan
pembagian teritorial di antara negara-negara imperialis atas wilayah-wilayah
penghasil sumber daya, yaitu wilayah-wilayah jajahannya. Pada saat itu,
kepemimpinan Kesultanan Ottoman sebagai bentuk dinasti feodalis sudah lemah karena
adanya pemberontakan-pemberontakan petani (terutama Pemberontakan Petani di
Syria pada 1860-an) akibat krisis Kapitalisme serta Perang Krimea yang
menyebabkan kekalahan di pihak Ottoman. Hal itu menyebabkan Kesultanan Ottoman
terseret ke dalam Perang Dunia I dan berada di pihak Jerman karena kebencian
terhadap hadirnya imperialis Inggris di Timur Tengah yang mengancam keberadaan
sistem feodalisnya Ottoman.
Karena
hal tersebut, imperialis Inggris menjanjikan kemerdekaan Tanah Arab, termasuk
Palestina dari kekuasaan Ottoman jika Bangsa Arab mendukung Inggris melawan
Turki Ottoman. Hal tersebut disahkan pada 1916 oleh Inggris dan Perancis melalui
Kesepakatan Sykes-Picot yang isinya
membagi-bagi Wilayah Arab. Lebanon dan Syria akan diserahkan kepada Perancis yang
akan menjadikannya sebagai wilayah sumber daya produksinya, Yordania dan Iraq
akan diserahkan kepada Inggris. Sedangkan Palestina akan menjadi wilayah
internasional. Dari fakta sejarah tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pada
dasarnya Inggris akan memberikan Palestina kepada mandat internasional, bukan
dijadikan sebagai sebuah negara baru yang berideologi Zionisme. Kekalahan
Ottoman di Perang Dunia I pada akhirnya merealisasikan kesepakatan tersebut.
Tetapi
pada 1917, Lord Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, mengirimkan surat kepada
pemimpin gerakan Zionisme, Lord Rosthchild yang kemudian menjadi Deklarasi Balfour. Dalam deklarasi
tersebut, Lord Balfour menegaskan bahwa Inggris akan mencoba memfasilitasi Bangsa
Yahudi untuk memiliki ‘tanah air’ di Wilayah Palestina. Pada saat deklarasi
tersebut ditandatangani, populasi Palestina sudah mencapai 700.000 jiwa, dimana
575.000 jiwa merupakan umat Muslim, 75.000 jiwa merupakan umat Kristiani, dan
hanya 55.000 jiwa yang merupakan umat Yahudi. Bisa kita tebak bahwa kendati Yahudi
menjadi penghuni minoritas di Palestina, tetapi sebagian besar dari mereka
ialah tuan tanah besar yang memperkerjakan banyak buruh tani berkebangsaan Arab
Palestina.
Hadirnya
Deklarasi Balfour bisa dipahami karena pada dasarnya para investor Yahudi yang
tergabung dalam gerakan Zionisme merupakan pemberi dana terbesar untuk Inggris
agar bisa memenangkan Perang Dunia I dan menguasai Palestina. Rencana-rencana
tersebut rupanya sudah tertulis rapi di tangan pendiri Zionisme itu sendiri,
yaitu Theodore Herzl yang membuat buku Der
Judenstaat pada abad 19. Namun buku tersebut dikritik oleh K. Marx melalui
karya On Jewish Question. Dalam karyanya
tersebut, Marx berpendapat bahwa kaum Yahudi seharusnya mengintegrasikan ekonomi
mereka kepada kaum yang lain dan kaum yang lain seharusnya berjuang melawan
Anti-Semitisme. Marx menuntut pembebasan politik kaum Yahudi di negara tempat
mereka tinggal, bukan dengan cara membuat negara Yahudi itu sendiri. Berbeda ketika
Marx menuntut pembebasan Irlandia dari Inggris dengan menganjurkan kemerdekaan.
Sikap Marx tersebut bisa kita lihat dari pra kondisi Irlandia dengan Israel
sangatlah berbeda.
Setelah
Perang Dunia I (tepatnya 1920), Inggris mendapatkan mandat atas Palestina dan
dua tahun kemudian, Palestina secara efektif menjadi wilayah jajahan Inggris. Dengan
hadirnya kekuasaan Inggris di Palestina, imigran Yahudi yang dibiayai oleh
kelompok gerakan Zionisme menjadi sangat leluasa untuk membangun pemukimannya
di Palestina dengan membeli tanah atau merampas tanah-tanah perkebunan milik
para petani Arab. Dalih imperialis Inggris dalam hal ini adalah untuk
membebaskan Palestina dengan membagi secara adil wilayahnya untuk Arab dan
Yahudi. Hal tersebut memang direalisasikan dengan menerbitkan Kebijakan White Paper pada 1939 yang berisi
pembatalan seluruh ide mengenai pembentukan negara Yahudi merdeka, termasuk
pembatasan kedatangan imigran Yahudi ke Tanah Palestina. Kebijakan White Paper
tersebut juga mendorong Palestina untuk merencanakan kemerdekaannya dalam
rentang 10 tahun. Hingga saat tersebut, jumlah imigran Yahudi di Palestina
sudah mencapai 75.000 jiwa. Pada kenyataannya, deklarasi tersebut juga
digunakan untuk menjadikan Wilayah Arab sebagai wilayah boneka imperialis
Inggris. Selama masa tersebut juga, imperialis Inggris juga berkesempatan
membuka Teruzen Suez untuk mempermudah ekspor komoditas ke wilayah-wilayah
timur.
Namun
kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan karena terjadi Perang Dunia II, yaitu perang
Imperialisme terbuka untuk membagi ulang wilayah-wilayah sumber daya produksi
untuk negera-negara Imperialis. Di masa ini pula, kelahiran Ultra-Nasionalisme berwujud
NAZI di Jerman dan Fasisme Mussolini di Italia tidak bisa kita lepaskan sebagai
salah satu sebab berdirinya Israel di Palestina. Terjadinya Holocaust di Jerman menyebabkan eksodus kaum
Yahudi secara besar-besaran dari Dataran Eropa ke Tanah Palestina dengan
dipimpin oleh Gerakan Zionisme. Aksi NAZI tersebut dimanfaatkan oleh gerakan
imperialis tersebut untuk mendapatkan Tanah Palestina dan mendirikan negara
Israel. Namun pertanyaannya ialah mengapa Inggris bisa membatalkan perjanjian
tersebut? Lagi-lagi karena Gerakan Zionisme menjadi penyumbang dana terbesar
untuk memenangkan sekutu-sekutu barat di Perang Dunia II agar bisa
menghancurkan blok poros yang telah mengusir Kaum Yahudi dari Eropa.
Jika
kita lihat, keterlibatan Fasisme Jerman dalam melancarkan Holocaust sebenarnya mempunyai keterhubungan yang erat dengan
pembatalan Kebijakan White Paper yang dilakukan imperialis Inggris. Hal tersebut
tidak lain merupakan skenario Gerakan Zionisme yang pada hakikatnya memperalat
borjuasi kecil Jerman yang menjelma menjadi Fasisme tersebut untuk mendukung
berdirinya negara Israel di Palestina. Disinilah kita bisa melihat imperialis
Inggris memainkan permainan dengan seolah-olah mendukung Wilayah Arab untuk
merdeka, namun pada hakikatnya ialah menjerat Wilayah Arab masuk ke dalam
perangkapnya dan membebaskan Gerakan Zionisme untuk menguasai Palestina.
Tahun
1947, Inggris kehilangan kontrol atas Wilayah Palestina dan kontrol Zionisme
atas Palestina diperkuat karena adanya dukungan dari PBB. Gerakan Zionisme mampu
memakai alatnya tersebut untuk memperlihatkan bahwa perlu adanya negara Israel
untuk menampung seluruh Kaum Yahudi yang sudah terkena eksodus akibat Perang
Dunia II. PBB mengeluarkan Resolusi No. 181 yang berisi pembagian Wilayah
Palestina, dimana rakyat Arab Palestina yang menguasai 92% dari keseluruhan
Wilayah Palestina harus mengalokasikan sebanyak 47% Wilayah Palestina untuk pendirian
negara Israel dan Yerusalem sendiri akhirnya dijadikan sebagai kota administratif
internasional yang langsung dikelola oleh PBB. Untuk menjamin terlaksananya resolusi
tersebut, PBB mendirikan Komite Spesial untuk Urusan Palestina yang pada hakikatnya
justru melawan rakyat Palestina itu sendiri. Terdapat 33 negara yang mendukung hadirnya
komite tersebut, 13 negara yang sebagian besar merupakan negara-negara Arab
menentang hadirnya komite tersebut, 10 negara abstain (dimana salah satunya
ialah Inggris).
Mei
1948, negara-negara Arab yang baru merdeka dan menjelma jadi rezim nasionalis
pada akhirnya melancarkan perang kepada negara Israel yang baru saja mendeklarasikan
kemerdekannya pada 14 Mei 1948. Pada saat yang sama, imperialis Inggris membuka
blokadenya atas pesisir Palestina atas rekomendasi PBB yang pada akhirnya
membuat bantuan-bantuan militer dari negara-negara imperialis berdatangan untuk
mempertahankan Israel atas dasar ‘mempertahankan kemerdekaan’. Karena bantuan-bantuan
tersebut lah, secara mengejutkan rezim-rezim nasionalis Arab kalah dalam
perang. Sejak saat itulah negara Israel merdeka dan memperkuat basis
kemiliteran untuk mempersiapkan diri menghadapi perang yang selanjutnya.
Lalu
bagaimana peran Imperialis AS dalam konflik Israel dan Palestina?
Pada
mulanya, sikap Imperialis AS sama dengan sikap Inggris yang menahan
terbentuknya negara Israel. Pada kenyataannya kehadiran kebijakan-kebijakan
Inggris seperti White Paper sendiri didukung oleh Imperialis AS. Namun ketika
sayap politik pro-Israel menang dengan menangnya Truman dalam Pemilu, Imperialis
AS pada akhirnya berusaha melemahkan kontrol Inggris terhadap Wilayah Arab,
termasuk Palestina dan memperkuat posisi mereka di Timur Tengah. Jadi,
keterlibatan Imperialis AS bisa kita lihat pada masa awal-awal terbentuknya
negara Israel dari diktenya terhadap PBB dan Inggris.
Namun
setelah itu, kita perlu melihat bagaimana keterlibatan Imperialis AS di tahap
selanjutnya.
Setelah
lepas dari Rezim Imperialis Inggris dan Rezim Feodalis Ottoman, Mesir dikuasai
oleh Rezim Nasionalis Progresif dan bergerak mendekati Uni Soviet. Di Syria,
Partai Ba’ath memenangkan pertarungan dan menjadi Rezim Nasionalis Progresif
baru. Sedangkan di Wilayah Arab lainnya, terjadi ketidakstabilan dan beberapa
dari mereka dikuasai oleh rezim yang despotik. Revolusi mengancam keseluruhan
wilayah tersebut. Dalam situasi tersebut, Inggris mengubah posisinya dalam
memandang Israel. Bersama Imperialis AS, Inggris pada akhirnya menjadikan Israel
sebagai satu-satunya basis stabil bagi penguasaan Imperialisme di Wilayah Arab.
Tentunya, Gerakan Zionisme yang menginginkan Wilayah Palestina berkepentingan
sama, mengingat betapa menggiurkannya Timur Tengah bagi mereka.
Mengapa
bisa menggiurkan?
Pertama, para kapitalis Yahudi yang tergabung dalam
Gerakan Zionisme menginginkan Wilayah Palestina untuk menarik keuntungan yang
sebesar-besarnya dari perkebunan dan pariwisata. Penguasaan kapitalis Yahudi
atas perkebunan secara bertahap membuat Bangsa Arab dan umat Kristiani menjadi
buruh tani dan tani miskin di wilayah pegunungan Tepi Barat. Sedangkan pariwisata
dianggap menggiurkan sejak Perang Salib dengan adanya Tanah Suci Yerusalem yang
menjadi tempat ziarah bagi para pemeluk agama monotheis besar. Kita tidak bisa
menutup mata, bahwa kehadiran prototipe bank modern pertama adalah dari proyek
bisnis pariwisata tersebut. Pada masa Perang Salib, para Ksatria Templar yang ditunjuk
untuk merebut Yerusalem dari Kesultanan Islam, pada akhirnya memanfaatkan
keberadaan peziarah Kristen untuk menarik keuntungan melalui transportasi dan
lembaga penyimpanan barang-barang peziarah yang dibentuk oleh mereka. Kedua, Wilayah Palestina merupakan wilayah
penyangga bagi kepentingan para kapitalis Yahudi bersama Imperialis AS untuk
menguasai ladang minyak dan gas di Wilayah Timur Tengah. Dengan melancarkan
perang dan mengganggu kestabilan kekuasaan rezim-rezim nasionalis progresif dan
mempertahankan rezim despotik di Timur Tengah, mereka bisa dengan mudah
menguasai sumber daya penting tersebut. Sedangkan yang menjadi alat untuk
mengganggu kestabilan rezim di Timur Tengah tersebut ialah Israel. Dan yang ketiga, memperlemah gerakan demokratis
kerakyatan yang dibantu oleh Uni Soviet pada saat itu agar penguasaan mereka atas
sumber daya minyak bumi dan gas bisa aman dan pengerukan nilai lebih atasnya menjadi
lancar.
Selanjutnya
mari kita kutip perkataan Azmi Bishara mengenai konflik Palestina dan Israel:
“Untuk
rakyat Palestina, Israel modern menyebabkan kegagalan atas modernisasi mereka
sendiri, sejak mereka merdeka tahun 1948. Setelah 1948, minoritas Rakyat Palestina
di Israel terhalang jalannya menuju modernitas, ketika mereka kehilangan
kontrol atas ekonomi, poltik, dan kebudayaan mereka yang dikuasai oleh elite Israel.
Lebih penting lagi, mereka kehilangan kontrol atas kota-kota dan meninggalkannya
menjadi masyarakat rural, hal yang membuat mereka jadi pekerja untuk Yahudi di
kota-kota tanpa harus berasimilasi. Di tingkat yang selanjutnya, mereka akan kehilangan
desa-desa dengan kehilangan pertanian mereka, tidak sedikitpun tersisa baik
perkotaan maupun pedesaannya. Itulah yang disebut sebagai ‘Arab Israel’. Satu-satunya
Modernisme yang mereka ketahui adalah ‘Modernisme Yahudi’, dan minoritas Rakyat
Palestina tersebut akan menganeksasinya dengan menjadi peniru, faktor marjinal,
dan dalam perkara yang terbaik – untuk memenangkan tuntutannya.”[3]
Reformisme dan Kompromisme PLO
Perjuangan
rakyat Palestina untuk lepas dari aneksasi Zionis dan Imperialis AS pada
akhirnya dimulai sejak Imperialis Inggris bercokol di Wilayah Arab. Perlawanan rakyat
Palestina itu terjadi sejak 1922, 1929, dan 1936. Bahkan pada 1936, rakyat
Palestina mengorganisasi pemogokan umum terlama di dunia dengan tuntutan
membebaskan Palestina dari Inggris dan Zionis. Perlawanan tersebut berlanjut
dengan bergabung bersama rakyat Arab untuk berperang melawan Zionis Israel
sejak 1948. Namun perjuangan rakyat Palestina baru terorganisir ketika tahun
1964 berdiri sebuah aliansi strategis bernama Organisasi Pembebasan Palestina atau
Palestine Liberation Organization (PLO).
Walaupun sebelumnya sudah berdiri Partai Komunis Palestina (PKP)[4]
sejak 1919, namun sejak 1940-an pengaruh mereka melemah karena ada perbedaan
pendapat tentang pendirian Partai Komunis Israel (MAKI) dan Partai Komunis Yordania.
Hingga akhirnya mereka semua menjadi revisionis modern sejak mereka mengkhianati
perjuangan kelas dengan meletakkan prioritas perjuangan kelas dibawah
perjuangan pembebasan nasional.
PLO
dalam hal ini juga melancarkan perjuangan kelas pada awalnya, namun dalam
perjalanannya penuh lika-liku sehingga pada akhirnya mereka juga terjatuh dalam
lubang yang sama dan menjadi kompromis sejak mereka menyetujui solusi untuk membentuk
dua negara di Wilayah Palestina pada 1980an. Namun sebelum itu, PLO bisa
dikatakan sebagai aliansi strategis yang mampu memimpin perjuangan rakyat
Palestina dalam melawan Zionis dan Imperialis AS, walaupun beberapa faksi di
dalamnya merupakan faksi reformis dan revisionis.
Lalu
bagaimana peran PLO dalam perjuangan Rakyat Palestina?
Tahun
1965 adalah tahun pertama dimana PLO dengan menggunakan taktik gerilya,
menyerang Israel dari basis-basis mereka di Yordania, Tepi Barat, Lebanen,
Jalur Gaza, dan Syria. Namun hal tersebut baru permulaan, karena perjuangan PLO
yang sesungguhnya bermula justru sejak Perang Enam Hari tahun 1967. Di dalam
perang tersebut, Israel berhasil mengokupasi Tepi Barat dari Yordania, Dataran
Tinggi Golan dari Syria, serta Semenanjung Sinai dari Mesir dengan mengandalkan
sejumlah 264.000 tentara, 800 tank, dan 300 pesawat tempur. Untuk mempertahankan
Wilayah Arab, PLO dalam hal ini bekerjasama dengan Mesir, Syria, Yordania, Iraq,
dan Uni Soviet. Kemenangan Israel tersebut merupakan hal yang memalukan bagi
negeri-negeri Arab. Karena itulah sejak saat Perang Enam Hari, PLO dan
negara-negara Arab lainnya mulai melakukan taktik ofensif ke Israel.
Hasil
dari Perang Enam Hari tersebut sangat signifikan, diantaranya ialah embargo
yang dilakukan oleh Imperialis AS terhadap seluruh negara-negara di Timur
Tengah, kecuali Israel. Selain itu, gelombang Rasisme terhadap Yahudi di Timur
Tengah juga meningkat. Rasisme yang lahir tersebut disebabkan oleh agresi
Israel itu sendiri terhadap Wilayah Arab.
Sejak
saat itu, seluruh negara yang ingin dikembalikan negaranya harus menandatangani
perjanjian damai antara mereka dengan Israel yang justru akan merugikan mereka.
Mesir menandatangani Camp David Accords
dengan Israel, yang pada akhirnya membuka embargo Imperialis AS terhadap Mesir
dan pengembalian Sinai oleh Israel. Selain itu, Yordania juga menandatangani
perjanjian perdamaian dengan Israel, namun Israel tidak mengembalikan Tepi
Barat. Begitupun juga dengan Syria yang pada akhirnya juga menandatangani
perjanjian damai dengan Israel dan mendapatkan Dataran Tinggi Golan kembali. Disini
kita bisa menyimpulkan bahwa karakter negara-negara Arab di sekitar Wilayah
Palestina pada saat itu adalah Borjuis Nasional yang tidak berani memukul Israel.
Sedangkan sikap PLO ialah menolak perdamaian dengan Israel dan meneruskan
taktik gerilya ofensif mereka dengan didukung oleh sebagian besar rakyat
Palestina.
Pada
masa itu, kita bisa mengetahui bahwa karakter PLO ialah revolusioner. Disamping
komitmennya dalam memukul mundur Israel dari Tepi Barat, PLO juga berani
menantang Yordania yang melemah akibat perjanjian damai dengan Israel dan
ancaman embargo Imperialis AS. Selama masa 1967 hingga 1980-an, PLO banyak
membajak pesawat, yang paling terkenal ialah peristiwa Black September yang menggegerkan dunia, dengan dibantu oleh
kelompok terorisme kiri dari Jepang, Iran, dan Jerman. Namun hal tersebut
membuat PLO terpukul oleh Yordania dan pada akhirnya mereka mengalami kekalahan
yang sangat telak. Terlebih lagi, rezim revisionis modern Yaman Utara juga membantu
Yordania dalam menghalau PLO. Selain itu, tahun 1972, PLO juga menjadi
organisasi yang menyebabkan Tragedi
Olimpiade Munich di Jerman bersama Kelompok Baader-Meinhoff atau RAF[5].
Namun
sejak tahun 1970-an, posisi PLO mulai berayun dari revolusioner menjadi
diplomatis. Pada 1976, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk membagi
Wilayah Palestina menjadi dua negara, atau biasa dikenal Solusi Dua Negara yang dirumuskan dalam dokumen Ten Points Program. Hal tersebut
menyebabkan PLO terpecah menjadi dua: Pertama,
kelompok Yasser Arafat, terdiri atas faksi-faksi nasionalis kiri dan sosialis
yang terkesan kompromis serta Kedua,
kelompok Rejectionist Front yang
terdiri atas faksi-faksi komunis dan menolak Ten Points Program dan Solusi Dua Negara. Ketegangan dua kelompok
tersebut berujung kepada Perang Sipil
Lebanon yang menyebabkan PLO terusir dari Lebanon. Atas dasar desakan-desakan
lapangan tersebut lah, pada akhirnya PLO menyetujui Ten Points Program dan Solusi Dua Negara di tahun 1988-1989. Dengan
masuknya PLO ke dalam jebakan yang disusun oleh Imperialis AS melalui PBB, PLO
harus mengadaptasi diri ke dalam susunan pemerintahan yang dibentuk oleh PBB
dalam wujud Palestine National Authority
(PNA)[6].
Dengan demikian, PLO yang telah berubah jadi kompromis tersebut masuk ke dalam PNA
hal tersebut disahkan dalam Konferensi Nasional ke-5 PLO. Tahun 1987, sempat
pecah Intifada Pertama yang
menyebabkan terebutnya Jalur Gaza dan Tepi Barat dari Yordania dan Israel.
Intifada Pertama merupakan suatu bukti bahwa perjuangan rakyat Palestina merupakan
perjuangan utama yang mampu memerdekakan Wilayah Palestina dari Fasisme Zionis
dan Imperialis AS, dibandingkan strategi PLO yang pada akhirnya menerima Resolusi
Dewan Keamanan PBB melalui PNA. Intifada Pertama menjadi bukti bahwa
kemerdekaan Palestina bisa dilalui oleh perjuangan rakyat yang konkrit, bukan
melalui kompromisme. Deklarasi Kemerdekaan Palestina sendiri baru diadopsi oleh
PNA (yang seluruhnya merupakan anggota PLO) pada 15 November 1988 dan
diproklamirkan oleh Yasser Arafat.
Selain
itu, PLO melalui PNA juga pada akhirnya menandatangani Perjanjian damai dengan
Israel melalui Oslo Accords pada
1993 dengan konsekuensi terbelahnya Kota Yerusalem menjadi dua dan pindahnya
ibukota Palestina ke Ramallah. Selain itu, Wilayah Tepi Barat pada akhirnya
dipecah belah menjadi 3 area, yaitu Area A yang dikontrol penuh oleh PNA, Area
B yang dikuasai secara bersama antara PNA dengan Israel, serta Area C dikontrol
penuh oleh Israel. Perjanjian Oslo tersebut sangat merugikan rakyat Palestina
karena mereka hanya bisa mengontrol penuh 18% dari Wilayah Tepi Barat (Area A),
dan merelakan 22% Wilayah Tepi Barat untuk dikuasai bersama, serta 61% Wilayah
Tepi Barat untuk dikontrol oleh Israel. Disinilah pengkhianatan sesungguhnya
yang dilakukan oleh PLO terhadap rakyat Palestina karena taktik kompromisnya
tersebut. Secara garis besar, PLO telah berubah menjadi aliansi strategis yang
reformis dan kompromis.
Tahun
2000, Intifada Kedua dilancarkan
oleh rakyat Palestina hingga tahun 2005. Sebab-sebab terjadinya Intifada Kedua
sendiri ialah karena Oslo Accords dan
Camp David Summit, yaitu pembicaraan
damai yang dilaksanakan oleh Imperialis AS untuk mempertemukan antara PNA
dengan Israel tahun 2000. Atas berkat campur tangan PLO juga lah pada akhirnya
antara rakyat Jalur Gaza dengan rakyat Tepi Barat terpisah. Keluarnya HAMAS dan
faksi Islamis dari PLO menyebabkan konflik internal PLO. Hasilnya ialah
perpecahan PLO dengan keluarnya faksi Islamis (termasuk HAMAS) dan berlakunya Pemerintahan
Islam HAMAS di Jalur Gaza yang terpisah dengan Tepi Barat. Hal ini tidak lain
disebabkan lagi-lagi karena ketidakmampuan PLO dalam memimpin perjuangan Rakyat
Palestina dan lebih memilih jalur damai dalam mencapai kemerdekaan Wilayah
Palestina. Dalam hal ini, PLO benar-benar tidak percaya perjuangan segaris
massa!
Anti-Zionisme dan Perjuangan Pembebasan
Palestina
Munculnya
Oslo Accords menyebabkan Wilayah
Palestina terbagi menjadi dua, yaitu Wilayah Israel dan Wilayah Otoritas Palestina
yang dipimpin oleh PNA. Hingga kini, efek dari Oslo Accords tersebut menyebabkan Rakyat Palestina kehilangan
tanahnya karena dirampas oleh Pemerintahan Fasis Zionis Israel yang ditopang oleh
Imperialis AS. Dengan menangnya Imperialis AS dan Fasis Zionis, mereka bisa
leluasa untuk menganeksasi ladang minyak di Iraq, Yordania, dan Arab Saudi. Apalagi
setelah mereka menandatangani perjanjian damai setelah kekalahan mereka di
Perang Enam Hari. Hal ini sungguh tragedi bagi Rakyat Arab pada umumnya dan Rakyat
Palestina pada khususnya. PLO yang diharapkan menjadi aliansi strategis yang
mampu memimpin Rakyat Palestina dalam berjuang melawan otoritas Fasis Israel,
malah mengikuti rezim-rezim Arab lainnya, yaitu menjadi kompromis dan reformis.
Sejak PLO menjadi kompromis, ide untuk mengusir Zionis dari Wilayah Palestina
pada akhirnya hanya menjadi utopia.
Karena
hal tersebut lah, Rakyat Palestina harus mendirikan organisasi demokratis yang
mampu memimpin perjuangan pembebasan nasional mereka dari penjajahan Zionis
Israel. Rakyat Palestina harus merealisasikan satu negara merdeka dibawah
kedaulatan Demokrasi Rakyat yang dipimpin aliansi dasar klas buruh dan kaum
tani yang tidak lagi membeda-bedakan antara Bangsa Arab dengan Bangsa Yahudi. Dengan
demikian, perjuangan pembebasan nasional Rakyat Palestina adalah perjuangan
menghancurkan eksistensi Negara Israel dengan berdiri berdampingan bersama Rakyat
Israel.
Kita
telah melihat bahwa Solusi Dua Negara yang telah diafirmasi melalui banyak
perjanjian damai antara PLO dengan Israel yang dimediasi oleh Imperialis AS
tidak samas sekali menjadi solusi bagi Rakyat Palestina. Berdirinya Negara
Israel pada hakikatnya adalah melegitimasi eksistensi negara penyangga
Imperialis AS di Timur Tengah untuk terus mengeksploitasi tambang minyak dan
gas di Timur Tengah serta kepariwisataan di Yerusalem. Berdirinya Negara Israel
berarti berdirinya secara legal, Gerakan Fasisme Zionis yang didominasi oleh
agen-agen Imperialis yang menguasai kekayaan sumber daya dunia.
Dengan
apa Rakyat Palestina harus melawan?
Dengan
kuatnya cengkeraman Imperialis AS di Wilayah Palestina melalui pendanaan untuk
mengembangkan kemiliteran Israel, Intifada Kedua tidak menghasilkan apa-apa. Memang
pada dasarnya Rakyat Palestina melawan tentara Israel. Namun apa yang dilakukan
mereka tidak menggoyang sama sekali eksistensi Negara Israel. Hal inilah yang
menyebabkan banyaknya korban di kalangan Rakyat Palestina. Namun bagaimanapun,
kita harus mengapresiasi perjuangan Rakyat Palestina. Selain itu, kita harus
melihat dalam kacamata analisa klas, bagaimana kita harus melawan eksistensi Negara
Israel tersebut.
Pertama, Rakyat Palestina harus membangun
organisasi demokratis dan militan yang baru, bersih dari pengaruh kompromisme dan
reformisme PLO, serta beranggotakan pejuang-pejuang rakyat yang tangguh dan
mampu konsisten dalam perjuangan pembebasan nasional. Kedua, Rakyat Palestina yang sadar harus membangkitkan kesadaran klas
buruh di Palestina dan Israel untuk bersatu dalam satu aliansi dasar yang baru,
berdiri berdampingan dengan kaum tani Palestina yang hidup di Lembah Sungai
Jordan dan Dataran Tinggi Golan, serta mampu mengorganisasikan mereka. Ketiga, kita harus menyadari bahwa 80%
ekonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza dikuasai oleh pemodal Israel, hal ini menyebabkan
Rakyat Palestina yang melawan akan mengalami pengusiran dari tempat kerjanya. Banyaknya
pengungsi Palestina di luar negeri Palestina disebabkan oleh hal-hal itu. Karena
itulah, Rakyat Palestina juga harus mempertinggi kesadaran para pengungsi
Palestina untuk melakukan kampanye mengenai masalah-masalah Palestina di luar
negeri Palestina. Hal tersebut harus berkaitan dengan yang keempat, yaitu para pengungsi Palestina harus bersatu dengan
organisasi-organisasi demokratis dan militan lainnya di luar negeri Palestina
untuk menggalang solidaritas rakyat melawan Imperialis AS.
Kita
juga harus mengingat bahwa kita harus menyingkirkan unsur Rasisme dari
perjuangan pembebasan nasional Rakyat Palestina. Kita mesti belajar dari
pengalaman PLO (terutama PFLP dan DFLP), dimana serangan gerilya mereka terkadang
membunuh anak-anak dan pemuda Israel yang sebenarnya menjadi korban penghisapan
yang dilakukan oleh Rezim Fasis Zionisme Israel. Hal tersebut terjadi karena
adanya Rasisme yang juga turut menjadi ide perjuangan pembebasan nasional
Rakyat Palestina. Para pejuang Rakyat Palestina terkadang sering terjebak ilusi
perlawanan Arab melawan Yahudi atau perlawanan Islam melawan Kristen dan
Yahudi, sehingga kaum tertindas dari Bangsa Yahudi, Agama Kristen, dan Agama
Yahudi pun kerap menjadi sasaran PLO. Karena hal tersebut lah, kita mesti sadar
bahwa perjuangan Rakyat Palestina merupakan perjuangan kelas, bukan perjuangan
ras ataupun perjuangan agama. Rakyat Palestina harus melawan Fasisme Zionis dan
Imperialis AS, berdiri berdampingan bersama rakyat pekerja Israel dan rakyat
tertindas lainnya, tidak peduli agamanya apa dan rasnya bagaimana. Hal tersebut
lah yang membedakan kita dari Rezim Kompromisme PLO yang terkesan mengandung
unsur Rasisme dalam tiap perlawanannya.
Demikianlah
penjelasan mengenai Sejarah Perjuangan Rakyat Palestina yang harus kita teladani
dan kita sikapi. Kita harus mendukung perjuangan Rakyat Palestina dalam melawan
Fasisme Zionis dan Imperialis AS dengan ikut bersolidaritas terhadap perjuangan
mereka. Selain itu, kita juga harus memperbesar dan memperkuat organisasi demokratis
dan militan di negara kita sendiri agar perlawanan kita terhadap Imperialis AS
dan kaki tangannya bisa semakin keras dan kuat. Pada hakikatnya, baik Rakyat
Palestina maupun Rakyat Indonesia mempunyai musuh yang sama, yaitu Imperialis
AS dan kaki tangannya yang menjelma jadi Fasisme Zionis. Jika kita
kontekstualisasikan dengan keadaan Indonesia, maka kaki tangan Imperialis AS
tersebut ialah rezim Kapitalis Birokrat dan para tuan tanah komprador yang
menguasai sebagian besar kekayaan alam kita.
HIDUP
PERJUANGAN KLAS BURUH DAN KAUM TANI PALESTINA!!!
HIDUP
SOLIDARITAS TERHADAP RAKYAT PALESTINA!!!
JAYALAH
PERJUANGAN MASSA DI INDONESIA DAN PALESTINA!!!
KLAS
BURUH DAN KAUM TANI SEDUNIA, BERSATULAH DALAM MELAWAN IMPERIALISME AS DAN
FASISME ZIONIS!!!
Referensi
Kaminer, Reuben, 2006, The Palestine Question Analyzed in The Light
of Marxist Politics, a paper for III
Conferencia Internacional La obra de Carlos Marx y los desafios del Siglo XXI.
Khalidi, Ahmad S., 2008, Distinguished
Lecture Series No. 4: The Palestinian
National Movement: What Went Wrong?. Washington: The Palestine Center.
Kimmerling, Baruch &
Migdal, Joel S., 2003, The Palestinian People:
A History, Massacushetts: Harvard University Press.
Marx, Karl & Engels, F.,
1975, Marx-Engels Collected Works Vol. 3,
Moscow: Progress Publisher, pp. 146-174.
Weston, Fred, 2002, Some Historical Clarification on Israel/Palestine, on Marxist Site.
diakses pada 27 Mei 2019.
Bandung, 29 Mei 2019
[1]
Berdasarkan sensus tahun 2018 yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik
Palestina.
[2]
Berdasarkan sensus tahun 2018 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Israel.
[3] Azmi
Bishara, The Arabs in Israel: An Internal
Look, (2000), Pp: 38.
[4]
Tahun 1920-an, PKP masuk Komintern dan mengikuti Konferensi Baku. Namun pada
perkembangannya, PKP yang pada mulanya didominasi oleh Yahudi akhirnya menjelma
menjadi Communist Party of Eretz Israel
(MAKEI), lalu biro PKP di Tepi Barat pada 1975 berubah menjadi Communist Party of Jordania. Sedangkan biro
PKP di Gaza pada 1982 menjelma menjadi Partai Rakyat Palestina.
[5]
RAF atau Red Army Faction sering
mengadakan pelatihan militer bersama dengan PFLP di Kamp Pelatihan PFLP
Yordania maupun Iraq. Hal ini dikarenakan kedekatan ideologis diantara mereka
dan kesamaan orientasi taktis – yaitu gerilya.
[6]
Hingga saat ini, posisi Pemerintahan Palestina dianggap masih membingungkan. Disamping
terdapat konflik antara HAMAS dengan FATAH yang membelah Palestina menjadi sekedar
Tepi Barat dan Gaza, juga terdapat tumpang tindih jabatan antara PLO dengan PNA.
No comments:
Post a Comment