Oleh:
Ahmad Thariq
Sekretaris Umum FMN Cabang Bandung Raya
Pimpinan FMN Cabang Bandung Raya
Hukuman
eksekusi mati Tuti Tursilawati pada 29 Oktober 2018 tahun lalu di Arab Saudi seketika memicu polemik sengit
di muka publik. Pasalnya, TKW yang berdomisili di Majalengka tersebut
dieksekusi tanpa notifikasi (pemberitahuan) pada Indonesia sebagai negara
asalnya. Menurut keterangan beredar, Tuti dikenakan hukuman eksekusi mati
dikarenakan kasus pembunuhan majikan pada tahun 2010. Keterangan yang langsung
direspons oleh ibunda Tuti yang mengutarakan bahwa anaknya terpaksa melakukan
itu sebagai upaya bela diri karena sering mendapat pelecehan seksual, hingga
ajakan paksa bersetubuh dari majikannya Segera
pasca kejadian itu, sorotan hingga kritik tajam berlontaran sehubungan dengan
tidak hadirnya tindakan cepat oleh negara guna menindaklanjuti kasus eksekusi
Tuti.
Selain
Tuti, kasus yang melanda Sutini Tri Hefsi pun mendapat sorotan publik. TKW asal
Banjarnegara tersebut dikontrak selama dua tahun untuk bekerja di Singapura.
Selama bekerja di Singapura, Sutini harus bertahan hidup di tengah kondisi
lingkungan kerja yang buruk berikut perlakuan kasar dari majikannya. Terlebih
Sutini sempat tidak mendapat upah selama sebulan dari majikannya, serta kenyataan
pahit bahwa upahnya selama lima bulan harus diberikan pada agensinya.
Akhirnya,
Sutini dipulangkan ke Indonesia pada 27 Oktober 2018 lalu. Kondisi Sutini kian memburuk
setelah kepulangannya, sehingga memaksa Sutini untuk dilarikan ke Rumah Sakit
Emanuel, Banjarnegara. Selama perawatan, Sutini didiagnosis terkena Meningitis
dan sudah tiga kali keluar masuk ruang ICU. Tanggal 4 Desember 2018, Sutini
dinyatakan wafat pada
pukul 12.05 WiB.
Teranyar
pada 27 Februari 2019, Jenny Chan Yan Hui mengaku di hadapan pengadilan telah
melakukan tindak kekerasan pada Rasi (27), Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal
Indonesia. Chan mengakui sepenuhnya tiga tuduhan tindak kekerasan yang
dibacakan Wakil Jaksa Penuntut Umum dan resmi dihukum 15 tahun penjara plus
denda.
Kasus
tindak kekerasan yang dilakukan Chan bermula pada tahun 2016 lalu. Sejak
dipekerjakan Februari 2016, Rasi langsung mendapat jadwal kerja yang ketat
dengan beban berlipat. Jam kerja dimulai pukul emam pagi, dan Rasi diporsir
untuk memasak, mencuci, dan menyeterika pakaian dibawah pantauan Chan melalui
CCTV di kondominium. Dua bulan bekerja, Rasi mulai mendapat tindak kekerasan.
Rasi yang sering dipergoki tertidur selama bekerja memicu amarah Chan yang
berujung kekerasan fisik. Beberapa bagian tubuh Rasi seperti telingn, hidung
dan kepala mendapat luka parah. Bagian belakang kepala Rasi pernah dipukul
hingga berdarah, hidungnya pernah retak akibat pemukulan, dan telinganya pernah
mengalami pendarahan akibat terkena pukulan.
Kasus-kasus di atas hanyalah secercah
dari rentetan tinta merah rekam jejak buruh migran. Kendati Jaringan Buruh
Migran Indonesia (JBMI) menyatakan bahwa jumlah kasus kekerasan buruh migran
mengalami penurunan sebanyak 385 kasus pada tahun 2017 (4.475 kasus) dibanding
2016 (4.860 kasus), di sisi lain kasus kematian buruh migran justru semakin
mengalami kenaikan. Berdasarkan
data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI), kasus kematian TKI mencapai 217 orang pada tahun 2017. Jumlah itu
bertambah 27 kasus dibandingkan tahun 2016, dengan catatan 190 kasus kematian. Kondisi
yang tentu amat memilukan mengingat fakta, Indonesia, negara yang menyandarkan
perekonomiannya pada buruh migran, justru tidak dapat menjamin hak dan
kehidupan buruh migran.
Migran sebagai
Pekerja Rentan
Melimpahnya
populasi manusia di negeri Pertiwi rupanya beriringan dengan fakta bahwa
Indonesia termasuk negara dengan mobilitas tinggi di sektor pekerja migran.
Mengacu pada Indeks Penempatan PMI per November 2018 yang dirilis BNP2TKI, total
terdapat 248.723 pekerja Migran, naik 5.563 pekerja dibanding 2017 sebesar
243.150. Apabila direcah berdasarkan klasifikasi sektor (formal dan informal),
total sampai November 2018 yakni 125.436 (50%) formal dan 123.287 (50%)
informal. Jumlah yang masih terbilang sangat besar meski sektor informal mengalami penurunan sebesar
8949 pekerja.
Ironisnya
fenomena mobilitas tinggi di sektor Migran juga dapat berarti semakin
membludaknya pekerja rentan. Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011), menerangkan fenomena
buruh migran tidaklah dapat terlepas dari konteks ekonomi-politik dunia. Lahir
sebagai implikasi dari globalisasi neoliberal, membludaknya buruh migran berkaitan
erat dengan semakin masifnya negara melakukan migrasi pekerja sebagai
konsekuensi logis dari proyek fleksibiltas tenaga kerja dan deregulasi
kebijakan perburuhan.
Bagi
Standing, Fleksibilitas tidak sebatas berarti semakin leluasanya mobilitas tenaga
kerja secara global. Lebih dari itu, ketidakpastian relasi dan status kerja,
rawan mendapat persekusi akibat permasalahan etnis dan rasial, minim
perlindungan hak asasi, hingga diperlakukan bak budak oleh majikannya. Buruh
migran telah muncul sebagai kelas rentan. Guy
Standing menjabarkan kondisi rentan buruh migran tidak terlepas dari status nya
sebagai denizen. Denizen adalah kelompok sosial yang hak-hak yang memiliki hak-hak
terbatas. Pembatasan hak ini bisa dilatarblekangi faktor nasionalitas (warga
negara/bukan), ekonomi-politik (kebijakan ketenagakerjaan, anti-imigrasi) dll,
dan penolakan secara sosiologis (SARA). Kiranya
penjabaran Guy Standing sedikitnya mendapat artikulasi riil nya hari ini.
Maraknya kasus kriminalisasi
dan penyiksaan atas buruh migran seperti yang sudah diulas di muka menunjukan
renggangnya perlindungan hukum, baik dalam level negara maupun internasional.
Begitupula dengan ketidakpastian status dan upah yang nyatanya bermuara dari
tidak meratanya pengakuan jaminan bagi setiap buruh migran.
Dalam
tulisan ini, penulis hendak memaparkan ilustrasi konkret buruh migran sebagai
kelas rentan. Penulis akan berusaha menjabarkan kompleksitas relasi sosial yang
berimplikasi pada legitimasi status rentan buruh migran. Penjelasan akan
dihadirkan dalam bentuk contoh kasus riil guna menjaga kontekstualitas narasi.
Dengan kata lain, selama penjabaran, penulis tidak berniat menghadirkan sketsa
teoretis murni, melainkan analisis yang
berfokus meretas realitas material kerentanan buruh migran yang oleh Guy
Standing ada dalam kelas rentan (Precariat).
Migran dalam
Sirkulasi Migrasi Global
Sebelum
masuk menuju pembahasan, penting untuk terlebih dahulu mengenal anatomi sistem
migrasi global. Ini karena penjabaran sebelumnya terkait mobiltas dan
kerentanan buruh migran merupakan implikasi sistemis dari sistem migrasi kerja
global. Secara lebih terperinci, proses sirkulasi migrasi sangatlah fleksibel sehingga
memungkinkan mobilitas terjadi secara intensif dan konstan. Sistem migrasi global meliputi
mekanisme holistik depature
(keberangkatan),
reception (penerimaan/adaptasi) dan return (pemulangan).
Rhacel
Salazar Parrenas dkk, dalam jurnal karyanya Serial
Labour Migration: Precarity and Itinerancy among Filipino and Indonesian
Domestic Workers (2018), berhasil menghadirkan analisis menyeluruh terkait
proses migrasi tenaga kerja. Merekam
fenomena buruh migran domestik Indonesia dan Filipina, Parrenas menjabarkan sistem migrasi global berdasarkan
empat tingkat destinasi migrasi. Klasifikasi didasarkan pada variabel
aksesibilitas, besar upah dan kepastian status kerja. Posisi empat atau paling
rendah ditempati oleh Timur Tengah, Singapura dan Malaysia di posisi ketiga,
Taiwan dan Hongkong di posisi ke dua, hingga Kanada dan Italia di posisi
pertama atau teratas.
Timur
Tengah (Arab Saudi dll) pada posisi terendah seringkali menjadi sasaran
realistis bagi buruh migran domestik karena aksesibilitas nya paling terjangkau
(US$100). Sementara Italia dan Kanada pada posisi teratas (U$8.000) merupakan
destinasi yang paling sedikit terakses menyusul biaya yang akses yang tinggi
dan kualifikasi kerja ketat. Menurut studi kasus terkait, pekerja migrant
domestik, utamanya yang berasal dari pedesaan, direkomendasikan Arab Saudi
sebagai destinasi kerja menyusul akses biaya yang murah. Akan tetapi, demi
menghadirkan rekomendasi destinasi kerja dengan biaya tinggi, tak jarang pihak
perusahaan memberlakukan transaksi “fly
now, pay later”. Transaksi ini memungkinkan klien buruh migrant untuk
menyetujui kontrak hutang.
Veneer,
seorang buruh migran domestik asal Filipina. Veneer yang sudah bekerja selama
setahun di Kuwati, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mengaku ditawari kerja di
Irlandia oleh agensi rekrutmen nya
Veneer berpikir bahwa akan sangat lama untuk bisa mengumpulkan biaya sebesar
100.000 Peso untuk merealisasikan keberangkatannya, “aku tidak memiliki uang sebanyak itu”
tukasnya. Akhirnya Veneer memutuskan untuk kembali Uni Emirat Arab dengan
kontrak hutang sebesar $100. Transaksi
tersebut jelas menyimpan risiko tinggi mengingat tanggungan hutangnya.
Alih-alih menjadi solusi bagi buruh migran, transaksi “fly now, pay later” lebih mirip “jebakan betmen” yang kelak akan
melilit kehidupan buruh migran.
Tak
sebatas pada fase keberangkatan, fase adaptasi di negara seberang pun selalu
penuh kesimpangsiuran bagi buruh migran. Yuli,
seorang buruh migran domestik asal Indonesia bekerja di Arab Saudi selama satu
bulan. Yuli seorang single mother
dengan tanggungan seorang anak 12 tahun sudah berangkat merantau semenjak umur
20 tahun. Selama bekerja, Yuli mengaku diberi porsi kerja berlebih dan tak
kunjung mendapat status kerja pasti, bahkan ilegal. Yuli pun mengaku sering
dihantui ancaman deportasi paksa,
Berdasarkan
studi terkait Arab Saudi memang tidak menghadirkan jaminan residensi permanen
bagi pekerja migran. Parrenas mengistilahkannya dengan “authorized temporariness”, yakni ketika suatu otoritas negara
melegitimasi ketidakpastian, bahkan eksklusi terhadap suatu kalangan.
Manifestasi konkret dari kondisi tersebut adalah berlakunya kafala system. Sistem kafala
melegitimasi status rentan dari buruh migran dan memosisikan majikan sebagai
pihak yang memiliki kuasa absolut atas pekerjanya. Majikan berhak untuk
memutuskan kontrak, mendeportasi paksa, bahkan menghukum buruh migrant agar
tidak bisa melamar di tempat kerja lain.
Hal
yang lebih ironis ialah buruh migran selalu sama sekali dilematis dengan
kondisi penghidupannya sendiri. Rendahnya upah yang diberikan membuat seorang
buruh migran harus memutar otak berulang kali demi membagi penghasilannya. Acap
kali, buruh migran domestik bahkan harus mengorbankan upahnya demi keluarganya,
dan hanya menyisakan sedikit porsi untuk dirinya sendiri. Pada titik ini, buruh
migran domestik seringkali mengurungkan niatnya untuk kembali ke negeri asal
dan terpaksa bertahan hidup di negeri orang dengan membangun usaha sampingan.
Suprianti,
buruh migran asal Indonesia berusia 39 tahun mengaku telah malang- melintang di
luar negeri selama lima tahun dan tak kunjung memeroleh kerpastian status kerja.
Suprianti berkesaksian bahwa pilihannya untuk pulang kembali ke dalam negeri
menjadi tertutup mengingat desakan ekonomi keluarganya yang jauh dari kata
layak. Selain itu,
minimnya lapangan pekerjaan dalam negeri, kemiskinan akut, hingga semakin
menajamnya ketimpangan adalah mimpi buruk nyata yang juga bisa menerkamnnya apabila memutuskan
berhenti bekerja sebagai buruh migran.
Bagaimana dengan Buruh Migran di Indonesia?
Setelah
mengulas secara cukup mendetail persoalan nasib buruh migran Indonesia,
pertanyaan berikutnya ialah, bagaimana kondisi
buruh migran yang ada di dalam negeri? Pertanyaan ini menggelitik penulis,
karena studi yang ada menjabarkan bahwa pemerintah Indonesia pun acap kali
lambat menindaklanjuti nasib buruh migran di dalam negeri.
Wayne
Palmer dan Antjie Missbach, dalam artikel ilmiahnya, Enforcing Labour Rights of Irregular Migrants in Indonesia, mengulas
status rentan buruh migran eksis karena kurangnya peran perlindungan negara dan
ketidakjelasan hak-hak yang dimilikinya. Hal
ini dapat ditilik dari kurangnya responsivitas negara dalam menindaklanjuti praktik
perdagangan manusia (human trafficking),
distribusi informasi yang terbatas dan sangat minimnya penegakan hak-hak buruh
migran.
Thant Zin
Win, buruh migrant asal Thailand sudah bekerja selama 14 bulan di Kepulauan
Benjina. Bekerja di Benjina Pusaka Resource dengan status outsourcing, perusahaan yang
sempat terkena kasus illegal fishing dan
indikasi perbudakan, Thant Zin Win dijanjikan upah sebesar 9000 Bath (U$582),
namun nyatanya hanya diupah sebesar 1.000.000. Buruh setempat mendapat
mekanisme pembayaran secara langsung oleh pihak Benjina Pusaka Resource,
sementara buruh migran dibayar melalui perantara perusahaan mitra asal Thailand
penyuplai kapal, Silver Sea Fishery. Thant Zin
Win bersama 656 buruh lainnya baru diselamatkan pemerintah pada 3 April 2015.
Teridentifikasi bahwa para buruh yang bekerja di sana banyak mendapat perlakuan
kasar, baik fisik maupun psikologis.
Selain
kasus di atas, pengalaman rentan nya menjadi buruh migran dialami seorang
pengungsi dibawah umur. Mohammad adalah seorang pengungsi berumur 18 tahun
yang telah berpindah dari Afghanistan dan Pakistan ke Indonesia. Diamankan oleh
petugas imigrasi di salah satu tempat perbelajaan di Puncak, Bogor, Mohammad
mengaku bekerja di sebuah toko. Ia biasanya bekerja berkisar antara tujuh
hingga delapan jam dengan upah Rp.900.000. Pemiliki toko beberapa kali
memberikannya bonus, sehingga menaikan pendapatannya Rp 1.100.000-1.2000.000.
Akan tetapi nominal tersebut tetap berada dibawah standar upah minimum setempat
sebesar Rp 3.204.551.
Mohammad
berkesaksian bahwa penjaga toko sangat membutuhkan dirinya berkat kemampuan
berbahasa Inggris nya, sehingga memudahkan proses transaksi dengan turis-turis
yang berkunjung.
Irosnisnya,
Mohammad sama sekali tidak mengetahui bahwa ia seyogyanya memiliki hak atas
upah layak sesuai standar minimum dan tidak ada usaha dari pemangku kebijakan
untuk memberi infromasi terkait hal tersebut. Mohammad pun akhirnya ditahan di
pusat penahanan imigrasi Jakarta. Beberapa LSM seperti Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) telah berupaya untuk mengadvokasi isu penahanan tersebut dengan menemui
pihak Kantor Imigrasi di Bogor, namun berakhir sia-sia, karena pihak imigrasi
menolak pelepasan Mohammad.
Tuntutan Mendesak Buruh Migran
Sebagai pemungkas uraian, kiranya
penting bagi kita untuk merefleksikan kembali urgensi pejaminan hak-hak asasi
buruh migran yang hingga hari ini nyatanya belum kunjung terealisasi. Ini tentu menjadi langkah penting
guna membebaskan buruh migran dari statusnya sebagai kelas rentan. Meski Indonesia pada tahun 2012
meratifikasi Konvensi Internasional atas Hak Seluruh Pekerja Migran, (International Convention Rights of All
Migrant Workers/ICRMW) dengan menerbitkan Undang-Undang No 6 Tahun 2012
tentang Ratifikasi ICRMW, nyatanya belum cukup untuk menjamin kesejahteraan
buruh migrant. Pasalnya meski klasifikasi buruh migran sudah dirinci secara
cukup menyeluruh, dalam konvensi tersebut belum mengakui keberadaan pengungsi
dan orang tanpa kewarganegaraan yang jelas
(ICRMW Article 3, poin d). Oleh
karena itu, aturan untuk melindungi kategori-kategori tersebut perlu untuk
dirancang sebagai kebutuhan mendesak.
Selain
itu, aturan yang masih kendor menjamin hak-hak buruh migran juga terlihat dalam
UU PMI hari ini. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABARBUMI), dalam
pernyataan sikapnya menyambut
Hari Migran Internasional 18 Desember
2018 menyatakan bahwa UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
No 18 Tahun 2017 (UU
PMI No. 18 Tahun 2017) masih menyimpan banyak masalah. Masalah dari
UU PMI 18 Tahun 2017 adalah tidak diakuinya PRT (Pekerja Rumah Tangga) sebagai pekerja formal. Selayaknya yang sudah diulas
di muka, pekerja domestik merupakan jumlah populasi terbesar dari buruh migran
dan berada dalam posisi status yang amat rentan. Tidak diakuinya PRT sebagai
pekerja formal dapat
berimplikasi pada langgengnya kekerasan dan kesewenang-wenangan terhadap buruh
migran. Menilik
bahwa ternyata masih terdapat begitu banyak pekerjaan rumah dalam sektor buruh
migran, pemerintah perlu mengambil tindakan dengan memberikan pengakuan
terhadap seluruh buruh migran tanpa kecuali. Guna
merealisasikan hal tersebut, perlunya pemberlakuan kebijakan yang merestriksi
secara ketat maneuver dari pihak swasta
pun tak kalah penting. Peraturan ini harus diproyeksikan untuk mengembalikan
peran negara sebagai regulator utama yang bertanggungjawab penuh kepada buruh
migran.
Dalam level
internasional, negara juga harus mulai menunjukan political bargaining dihadapan negara mitra sektor buruh migran.
Berani mengambil tindakan tegas dengan
melayangkan gugatan, bahkan sanksi bagi mitra yang menciderai hak buruh migran
negara bersangkutan jelas sangat diperlukan agar jaminan haknya tetap
terpenuhi.
Daftar Pustaka
Standing,
Guy. 2011. The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsbury
Academic
Palmer,
Wayne, & Missbach, Antjie. (2018). Engforcing Labour Rights of Irregular
Migrants in Indonesia. Third World Quarterly.
Parrenas,
Rhacel Salazzar et. al. (2018). Serial
Labour Migration: Precarity and Itinerancy among Filipino and Indonesian
Domestic Worker. International Migration Review, 20 (10), 1-29
BNP2TKI.
2018. Data Penempaaan dan Perlindungan
BMI Periode Bulan November Tahun 2018. Jakarta Selatan.
Malla,
Indiana. 2018. Idntimes. [Online] Available at:
https://www.idntimes.com/news/indonesia/indianamalia/jaringan-buruh-migran-217-tki-meninggal-sepanjang-1/full
Ridlo.
Muhammad. 2018. Liputan6. [Online]. Available at: https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.liputan6.
Ma. 2019. Sinar-migran. [Online] Available at http://sinar-migran.com/chan-akui-pukul-rasi-sampai-hidung-retak/ com/regional/read/3814840/buku-harian-tki-sutini-ungkap-kekejian-majikan-di
singapura&ved=2ahUKEwjDnbu5rrHfAhWLKo8KHXvKDCcQFjAAegQIBhAB&usg=AOvVaw3YVJCBFQjnrmrGi1T6ThIF
KABARBUMI.
2018. Hukum P3MI Penahan Dokumen, Berikan
Ganti Rugi BMI dan Keluarganya yang Diperlakukan Tidak Adil dan Dirampas Haknya
Ciptakan Lapangan Kerja di dalam Negeri Akhiri Kemiskinan dengan Menjalankan
Reforma Agraria dan Membangun Industri Nasional yang Mandiri.
Tulisan ini dimuat di media perburuhan Trimurti.id pada
edisi Senin, 9 April 2019. Dimuat ulang di website FMN Cabang Bandung Raya demi
tujuan pendidikan.
No comments:
Post a Comment