JADIKAN HARI PENDIDIKAN NASIONAL SEBAGAI
MOMENTUM UNTUK MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI
KEPADA RAKYAT!
Pengantar: Tujuan Pendidikan Seharusnya!
Pada 2 Mei kemarin, kita memperingati Hari
Pendidikan Nasional, suatu hari yang sangat bersejarah bagi kita semua. Pada tanggal
2 Mei pula, Ki Hajar Dewantara lahir. Beliau lah yang dikenal sebagai Bapak
Pendidikan Nasional, sehingga setiap tanggal 2 Mei kita memperingati hari
kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional sejak dikeluarkannya SK Presiden
RI No. 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959. Spirit Hari Pendidikan
Nasional patut kita gali secara historis untuk mengetahui bagaimana sebenarnya
tujuan dari diselenggarakannya pendidikan di Indonesia.
Ketika meresmikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922,
Ki Hajar Dewantara pernah berkata bahwa tujuan pendidikan ialah untuk
memerdekakan manusia sebagai anggota dari masyarakat. Melalui tujuan tersebut,
kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu zelfstandig atau berdiri sendiri,
onafhankelijk atau tidak bergantung pada orang lain, serta vrijheid
atau zelfbeschikking yang berarti dapat mengatur diri sendiri. Dengan
kata lain, Ki Hajar Dewantara berupaya menjelaskan bahwa pendidikan tidak boleh
memisahkan antara teori di kelas dengan praktek di lapangan. Teori haruslah
berbasiskan pada kenyataan konkrit, karena hanya dengan demikianlah harapan akan
melahirkan manusia yang merdeka akan tercapai.
Dalam sudut pandang yang lebih emansipatoris
lagi, pendidikan dilihat bukan hanya persoalan mempelajari teori yang bersesuaian
dengan kenyataan konkrit saja, tetapi juga dilihat sebagai upaya pembebasan
manusia dari penindasan. Dengan demikian, rakyat yang tertindas dapat melihat
bagaimana dunia dan dirinya tertindas melalui pendidikan, serta berkomitmen
untuk melakukan perubahan sosial agar kemerdekaan yang sejati dapat diraih.
Hal ini berbeda jauh dengan realitas konkrit
yang terjadi di lapangan hingga hari ini dimana sistem pendidikan nasional
tidak lagi berwatak ilmiah dan demokratis. Realitas pengajaran di kelas-kelas,
teori-teori yang diajarkan, hingga pemberangusan hak-hak demokratis pelajar
serta mahasiswa menjadi contoh yang jelas dari hilangnya watak-watak sejati
pendidikan tersebut. Secara riil, sistem pendidikan kita pada hari ini bukanlah
sistem pendidikan hadap masalah yang dimana kedudukan antara guru dan murid itu
setara, serta adanya penyesuaian teori-teori yang diajarkan dengan realitas. Adanya
hierarki di kelas yang menandakan bahwa guru mengetahui segalanya sedangkan
pelajar dan mahasiswa sebagai objek tabula rasa yang dianggap tidak mengetahui apa-apa
menyebabkan hadirnya relasi yang timpang. Akibatnya ialah kebebasan
berpendapat, berekspresi, serta mengeritik pendapat guru ataupun dosen pun tidak
ada. Selain daripada itu, tujuan pendidikan pada akhirnya berubah menjadi wadah
untuk mereproduksi tenaga kerja cadangan yang siap berdaya saing. Itu artinya
tujuan pendidikan hingga hari ini sangat mendukung salah satu kepentingan kaum
imperialis, yaitu mengeksploitasi tenaga kerja berupah murah di Indonesia.
Karena itu konsekuensi dari pendidikan yang
tidak berwatak ilmiah dan demokratis sudah sangat jelas, yaitu tidak adanya
pengabdian kepada rakyat. Maka dari itu sangat wajar, sejak Indonesia merdeka, kaum
tani di pedesaan belum merasakan penggunaan teknologi pertanian yang maju,
pengetahuan pertanian yang mampu untuk mengoptimalkan produksi komoditas
pertanian secara massif, serta tentunya terbebas dari perampasan serta monopoli
lahan yang dilakukan oleh tuan tanah. Selain itu, sangat wajar pula klas buruh
di Indonesia belum bisa merasakan bagaimana bentuknya industri yang berdaulat
serta mandiri, yang berarti terbebas dari intervensi modal asing. Klas buruh
Indonesia juga belum mempunyai daya dan upaya untuk membentuk industri dasar
yang mampu menopang industri pengolahan yang bisa menghasilkan teknologi yang
maju untuk perkembangan kekuatan produktif di Indonesia. Hal itu secara
konkritnya karena lulusan-lulusan sekolah dan perguruan tinggi kita tidak lagi
berorientasi pada pengabdian kepada rakyat, tapi berorientasi pada pengabdian
kepada pemodal dan tuan tanah.
Campur Tangan IMF dan Bank Dunia dalam
Menyelewengkan Tujuan Pendidikan yang Sebenarnya
Pasca Orde Baru runtuh, kita terjebak dalam
skema Neoliberalisme yang diusung dalam The Neoliberal Washington Consensus yang
menyebabkan pasar terbuka seluas-luasnya serta dapat bergerak sebebas-bebasnya.
Secara singkat, skema Neoliberalisme bisa dijabarkan dalam tiga poin utama,
yaitu deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi yang menyasar ke seluruh sektor
kehidupan rakyat, termasuk pendidikan. Pelaksanaan konsensus tersebut secara
konkrit dilakukan oleh rezim melalui penandatanganan perjanjian dengan IMF
untuk memberikan pinjaman agar krisis moneter 1997-1998 dapat teratasi. Melalui
perjanjian tersebutlah, kita bisa mengetahui watak rezim hingga hari ini, yaitu
menjadi alat bagi kaum Imperialis untuk menguasai sumber daya alam dan kekuatan
produktif di negeri kita. Secara singkat, perjanjian dengan IMF menjadikan negeri
Indonesia sebagai negeri yang tunduk terhadap dikte kaum Imperialis. Tidak hanya
itu, masuknya Indonesia ke dalam WTO pada 1995 melalui penandatanganan General
Agreement on Trade in Service atau GATS menjadi penanda bahwa liberalisasi
harus dilakukan di segala sektor, termasuk sektor pendidikan tinggi. Sejak saat
itulah, pendidikan kita memasuki era baru, yaitu era liberalisasi pendidikan.
Pelaksanaan liberalisasi pendidikan tinggi
sendiri pertama kali diimplementasikan melalui PP No. 61 Tahun 1999 tentang
Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum yang mengatur soal privatisasi
empat PTN tertua dan paling bergengsi, yaitu ITB, UGM, IPB, dan UI. Sejak saat
itu pula, keempat PTN tersebut berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara atau
PT-BHMN. Setelahnya, rezim SBY juga bertanggungjawab terhadap liberalisasi
pendidikan dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan. UU tersebut pada implementasinya ialah memperluas privatisasi
sektor pendidikan hingga keseluruh jenis lembaga pendidikan termasuk jenjang
SD.
Kemunculan UU No. 9 Tahun 2009 atau yang biasa kita
kenal sebagai UU BHP tersebut menimbulkan gelombang protes dari sektor rakyat. Puncaknya
ialah munculnya mekanisme judicial review terhadap UU BHP tersebut
sehingga UU tersebut dibatalkan oleh MK dengan dikeluarkannya Putusan MK No.
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. Tentunya kemenangan tersebut tercipta bukan
karena kebaikan hati MK, namun karena perjuangan panjang dari rakyat yang
tertindas untuk mengembalikan pendidikan ke tujuan yang sebenarnya. Rakyat
telah melihat bahwa semangat yang muncul dalam UU BHP tersebut merupakan
semangat dagang karena melalui UU tersebut, investor modal asing bisa masuk ke
ranah pendidikan melalui kerjasama dalam penyelenggaraan pendidikan dengan
mekanisme modal mencapai 49%. Hal itu karena UU BHP juga merujuk kepada PP No.
76 dan 77 tahun 2007 yang membuka luas investasi di segala sektor.
Pembatalan UU BHP tersebut tidak membuat rezim
untuk berhenti meliberalisasi sektor pendidikan. Pada kenyataannya, rezim
mengeluarkan produk hukum sebagai pengganti dari UU BHP, yaitu UU No. 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi atau yang biasa kita kenal dengan UU PT. Mengapa
bisa demikian?
Sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa semenjak
Indonesia masuk dalam skema Neoliberalisme, maka seluruh kebijakan yang lahir
dari rezim yang berkuasa merupakan dikte dari kaum imperialis yang berwujud IMF
dan Bank Dunia. Melalui kenyataan tersebut, maka sudah pasti bahwa dalam proses
perumusan kebijakan mengenai pendidikan pun, ada campur tangan dari Bank Dunia
juga. Campur tangan tersebut bisa dilihat ketika Bank Dunia mengeluarkan beberapa
program seperti Development of Undergraduate Education atau DUE, Higher
Education for Relevance and Efficiency atau HERE, dan Indonesian
Managing Higher Education for Relevance and Efficiency atau IMHERE yang
dilaksanakan secara bertahap antara 1995-2002 dan 2005-2012. Dalam laporan
pelaksanaan program HERE dan DUE menyebutkan bahwa Bank Dunia memberikan dukungan
terhadap pembentukan Dewan Pendidikan Tinggi di Dirjen Pendidikan Tinggi yang
bertugas menyusun kebijakan-kebijakan teknis pendidikan tinggi di Indonesia. Untuk
pelaksanaan dukungan tersebut, Bank Dunia mengucurkan dana sebesar US$ 6,4 juta.
Realisasi teknis dari penggunaan dana tersebut ialah dikeluarkannya produk
hukum UU PT serta pelaksanaan sosialisasinya di berbagai PTN. Sebelumnya
melalui program IMHERE, Bank Dunia sendiri sebenarnya sudah mengucurkan dana
sebesar US$ 114,5 juta untuk mereformasi undang-undang yang sebelumnya telah
dibatalkan oleh MK, yaitu UU BHP.
Untuk lebih jelasnya, dalam dokumen pelaksaan IMHERE,
Bank Dunia menyebutkan bahwa:
“The project supported to the approval of Higher Education Laws in 2009 and 2012
that established a governance framework for universities. The project support
by financing seminars, study tours, and reports. The first law was overturned
by the Constitutional Court and replaced in 2012 with a new law that had a
similar objective and responded to concern raised by Court…”
Dari dokumen IMHERE tersebut tertera bahwa
program IMHERE selesai pada 31 Desember 2012, maka untuk mempercepat realisasi
dari deregulasi pendidikan tinggi tersebut, rezim SBY mengeluarkan UU PT untuk
menggantikan UU BHP. Dengan demikian secara esensial, kedua UU tersebut
sejatinya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk meliberalisasi pendidikan di
Indonesia. Namun UU PT diterbitkan dengan mekanisme yang lebih halus sehingga
liberalisasi tidak terlalu terlihat dalam isinya.
Kuatnya UU PT tersebut secara konkrit bisa
dilihat dari historisnya. UU PT tersebut masih kokoh berlaku, walaupun gerakan
rakyat sudah berusaha mengajukan pencabutannya melalui mekanisme judicial
review hingga sebanyak empat kali. Pengajuan pembatalan yang pertama dan
kedua diajukan oleh gerakan mahasiswa UNAND pada 2012, pengajuan pembatalan
yang ketiga diajukan oleh Komite Nasional Pendidikan (KNP) dimana FMN terlibat
di dalamnya pada 2013, sedangkan pengajuan terakhir dilakukan oleh gerakan mahasiswa
UNHAS pada 2016. Hal tersebut membuktikan satu hal, yaitu kerasnya rezim
kapitalis birokrat di Indonesia dalam mempertahankan deregulasi pendidikan
tinggi sebagai bentuk dari pengabdiannya kepada kaum imperialis.
Situasi Konkrit Pendidikan di Tengah Menyebarnya
Wabah Covid-19
Pasca runtuhnya Orde Baru, rezim demi rezim
silih berganti dan menjadi alat yang efektif bagi kaum imperialis untuk terus
melaksanakan kepentingannya di Indonesia. Karena itulah, kondisi rakyat tidak
pernah berubah sama sekali, penindasan dan penghisapan terhadap kaum tani dan
klas buruh terus terjadi melalui berbagai kebijakan yang ada. Sektor pendidikan
sendiri salah satu sektor yang menjadi instrumen penghisapan dan penindasan
yang dilakukan oleh kaum imperialis terhadap rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan
pendidikan yang lahir dari rezim tidak lain merupakan dikte dari IMF dan Bank
Dunia. Karena itulah, walaupun Orde Baru telah jatuh kekuasaannya, namun
kebijakan mengenai pendidikan tidak pernah berubah, bahkan kebijakan-kebijakan
tersebut makin memperlihatkan bahwa tujuan pendidikan kita bukan lagi untuk
mengabdi kepada rakyat.
Maka dari itu, ketika wabah Covid-19 telah
menjadi wabah pandemi global, kebijakan pendidikan tidak pernah sama sekali diabdikan
untuk kesejahteraan dan kesehatan bagi rakyat, malah diarahkan untuk menjaga
iklim investasi dan stabilisasi pertumbuhan ekonomi. Dihadirkannya mekanisme
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) melalui sistem daring sebagai mekanisme
pendidikan yang efektif untuk pembelajaran di tengah penyebaran wabah
memperlihatkan bahwa pelaksanaan ‘pencerdasan kehidupan bangsa’ sangat runyam
dan konyol.
Pelaksanaan PJJ terbukti banyak bermasalah. Bagi
pemuda-mahasiswa, PJJ melalui daring merupakan suatu kesulitan, karena hal
tersebut memberatkan kita semua melalui bertambahnya biaya kuota internet untuk
melaksanakannya. Selain itu, PJJ melalui daring tidak sama sekali mengurangi
biaya uang kuliah/SPP, tentunya hal ini sangat bermasalah, mengapa demikian?
Jika kita merujuk kepada PP No. 26 Tahun 2015
yang merujuk kepada UU PT menyebutkan bahwa Biaya Kuliah Tunggal (BKT) basis
dari tiap-tiap kampus merupakan sekumpulan biaya yang digunakan untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran serta tetek bengek lainnya yang berkaitan
dengan kampus. BKT berasal dari Biaya Langsung (BL) dan Biaya Tidak Langsung
(BTL). BL sendiri merupakan biaya yang terkait langsung dengan penyelenggaraan
kegiatan akademik, sedangkan BTL merupakan biaya yang tidak mempunyai keterkaitan
secara langsung dengan penyelenggaraan kegiatan akademik. BL terdiri atas tujuh
kategori, diantaranya ialah BL SDM, BL BHP Pembelajaran, BL BHP Praktikum, sarana
pembelajaran, sarana praktikum, gedung kuliah, dan gedung praktikum. Sedangkan komponen
BTL terdiri atas biaya depresiasi atas gedung dan sarana prasarana kampus; biaya
operasional yang terdiri atas upah pegawai, BHP non pembelajaran, serta biaya
operasional umum; biaya pemeliharaan; serta biaya tambahan lainnya.
Masih menurut PP No. 26 Tahun 2015, pemasukan
PTN sendiri terdiri atas APBN dan non-APBN. Pemasukan APBN terdiri atas rupiah murni (yang
berguna untuk upah dosen PNS), serta Bantuan Operasional PTN (BOPTN) atau
Bantuan Pendanaan PTN Berbadan Hukum (BPPTNBH) yang berguna untuk biaya
operasional, biaya dosen non PNS, biaya tenaga pendidik non PNS, biaya
investasi, dan biaya pengembangan. Pemasukan non-APBN sendiri terdiri atas
biaya masyarakat, biaya pendidikan (UKT/SPP), pengelolaan dana abadi, usaha
PTN-BH, kerjasama Tridharma Perguruan Tinggi, pengelolaan kekayaan PTN-BH,
APBD, serta pinjaman lainnya. Dari keterangan tersebut, bisa kita lihat bahwa
UKT/SPP merupakan pembiayaan berkategori non-APBN.
Setelah kita mengetahui jenis-jenis pemasukan
kampus, patutnya kita harus mengetahui pengeluaran kampus agar kita mengetahui
untuk apa saja uang kuliah kita digunakan. Keseluruhan komponen BTL dibiayai
oleh BOPTN/BPPTNBH, kecuali biaya operasional gedung yang terkadang dibiayai
oleh uang pangkal/SPI. Sedangkan keseluruhan komponen BL dibiayai oleh
pemasukan non-APBN, kecuali BL SDM yang jika PNS, maka dibiayai oleh
BOPTN/BPPTNBH. Dari keterangan tersebut maka didapatkan bahwa uang kuliah kita digunakan
untuk membiayai sebagian dari komponen BL atau membiayai sebagian fasilitas
yang kita gunakan untuk proses pembelajaran.
Dari penjelasan panjang lebar tersebut mengenai
uang kuliah, maka kita mendapatkan kesimpulan yang cukup jelas bahwa PJJ
melalui daring merupakan kegiatan pembelajaran yang bahkan tidak sama sekali
menggunakan sebagian besar dari komponen BL, kecuali hanya menggunakan BL SDM
(dengan hadirnya dosen sebagai penunjang kegiatan pembelajaran) yang itupun
dibiayai oleh negara. Itu artinya, kita sebenarnya tidak mempunyai kewajiban
untuk membayar uang kuliah. Tetapi hingga hari ini, sebagian besar kampus di
negeri ini bahkan untuk mensubsidi biaya kuota internet saja sudah cukup berat.
Jika tanpa perjuangan yang konsisten dari pemuda-mahasiswa, maka mungkin saja
kampus tidak mengembalikan uang kuliah sama sekali, bahkan walaupun itu hanya
dalam bentuk biaya kuota internet saja. Bayangkan saja, biaya kuota internet
sendiri hanya berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu saja. Sudah cukup jelas,
bahwa PJJ melalui daring benar-benar tidak berpihak kepada rakyat sama sekali.
Selain daripada itu, hadirnya wabah pandemi
Covid-19 juga tidak menyurutkan Kemendikbud untuk melaksanakan kebijakan kampus
merdeka, yaitu kebijakan yang mengarahkan orientasi pendidikan kita kepada
kepentingan keberlangsungan iklim investasi. Pada dasarnya kebijakan kampus
merdeka yang diatur dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Perubahan PTN
menjadi PTN-BH, Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi
dan Perguruan Tinggi, Permendikbud No. 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada PTN, serta Permendikbud No. 7 Tahun 2020
tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN dan Pendirian, Perubahan, dan
Pencabutan Izin PTS. Secara garis besar, kampus merdeka mempunyai empat
komponen yang membentuknya, yaitu adanya pembukaan program studi baru yang
berorientasi pada kepentingan korporasi, sistem akreditasi perguruan tinggi, mempermudah
persyaratan untuk menjadi PTN-BH tanpa terikat status akreditasi, serta hak
belajar tiga semester di luar program studi dengan ketentuan 40 SKS
dilaksanakan diluar kampus dan 20 SKS sisanya dilaksanakan di program studi
yang berbeda.
Apa yang bermasalah dalam kebijakan kampus
merdeka tersebut?
Lagi-lagi kaum imperialis mencuri kesempatan untuk
terlibat dalam kebijakan tersebut dengan hadir sebagai mitra dalam pembukaan
program studi baru (terdapat 4 dari 5 mitra kerjasama yang termasuk dalam
pemodal raksasa, diantaranya ialah perusahaan multinasional, perusahaan teknologi
raksasa, startup teknologi, dan organisasi multilateral yang dimana
salah satunya ialah Bank Dunia). Selain itu, dalam melakukan kegiatan belajar
di luar program studi diimplementasikan dalam bentuk magang di
perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra kampus tanpa diupah hingga
melaksanakan KKN dengan menjadi pembantu dalam melaksanakan proyek-proyek rezim
di pedesaan. Jika ditilik dari keterangan-keterangan tersebut, kebijakan kampus
merdeka benar-benar menjadi perpanjangan tangan dari musuh-musuh rakyat untuk
menghisap kaum tani dan klas buruh. Kita benar-benar diajarkan untuk menjadi
buruh magang yang tentunya tidak diupah menurut ketentuan UMR/UMK!
Dengan demikian, baik PJJ melalui daring maupun
pelaksaan kebijakan kampus merdeka pada dasarnya sama, yaitu sama-sama tidak
berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan rakyat di tengah wabah pandemi
Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa selain tidak seriusnya penanganan wabah
pandemi dengan relokasi APBN yang tidak tepat (lihat Perppu No. 1 Tahun 2020), juga
dalam sektor pendidikan, rezim Jokowi benar-benar tidak peduli dengan situasi
dan kondisi rakyat pada hari ini, tetapi lebih peduli kepada penjagaan iklim
investasi serta stabilisasi pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu sangat wajar
jika Kemendikbud menolak mengembalikan uang kuliah kita. Bahkan ada asumsi
bahwa uang kuliah kita semester ini digunakan untuk menutupi defisit yang
dialami oleh kampus-kampus PTN-BH akibat kegagalan pelaksanaan korporasi
akademiknya sebagai salah satu pemasukan non-APBN yang menunjang kegiatan pembelajaran
di kampus.
Penutup: Sikap FMN Cabang Bandung Raya di Hari
Pendidikan Nasional
Wabah pandemi Covid-19 telah menunjukkan secara
pasti bahwa Imperialisme sudah tidak lagi mempunyai daya dan upaya untuk
mempertahankan diri dari gempuran krisis yang menghinggapinya. Rezim Kapitalisme
Monopoli internasional pada hari ini telah membuat satu setengah milyar klas
buruh di seluruh dunia terkena dampaknya dengan adanya PHK massal tanpa
pesangon serta tidak adanya jaminan kebutuhan pokok bagi mereka selama masa
karantina.
Di Indonesia sendiri, diberlakukannya PSBB
melalui PP No. 21 Tahun 2020 juga sama sekali tidak efektif berjalan sebagai
bentuk bentuk pencegahan terhadap penyebaran Covid-19. Hal tersebut dibuktikan
dari korban yang terus bertambah dari hari ke hari. Data per 2 Mei sendiri
menyebutkan bahwa terdapat 10.843 pasien positif serta 831 jiwa yang meninggal,
sedangkan pasien yang sembuh baru berkisar 1.665 jiwa. Hal ini menandakan bahwa
rezim Jokowi telah gagal dalam mengurusi kesehatan rakyat.
Selain itu, hadirnya kebijakan-kebijakan di
sektor pendidikan juga tidak sama sekali mempertinggi taraf kebudayaan rakyat. Di
tangan rezim Jokowi, sektor pendidikan justru menjadi alat bagi kaum imperialis
untuk menancapkan kesadaran palsu di kalangan rakyat, sehingga rakyat bisa terilusi
bahwa dibawah rezim kaki tangan imperialis ini, mereka bahagia. Ini merupakan
suatu bentuk skema yang sistematis yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun
sebagai pondasi suprastruktur yang kokoh dalam mempertahankan keadaan
masyarakat Setengah Jajahan Setengah Feodal di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari
Pendidikan Nasional ditengah-tengah penyebaran wabah pandemi Covid-19, FMN
Cabang Bandung Raya menuntut:
- Kembalikan uang kuliah dengan
nilai maksimum untuk mahasiswa, dan berikan intensif untuk melaksanakan
PJJ melalui daring;
- Batalkan kebijakan kampus
merdeka yang sangat berorientasi pada kepentingan korporasi dan sama
sekali tidak mengabdi kepada rakyat;
- Cabut UU No. 12 Tahun 2012 dan
segala tetek bengek peraturan yang melanggengkan skema liberalisasi,
privatisasi, dan komersialisasi pendidikan;
- Berikan jaminan lapangan
pekerjaan bagi pemuda-mahasiswa, bukan jaminan program kerja magang!
- Wujudkan sistem pendidikan yang
berwatak ilmiah dan demokratis, serta mengabdi kepada rakyat;
- Laksanakan reforma agraria
sejati sebagai syarat pokok dalam membangun industri nasional yang berdaulat
dan mandiri, serta bebas dari intervensi modal asing.
Momentum Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei
kemarin harus kita jadikan refleksi bahwa kita harus terus berkampanye tentang
situasi dan kondisi pendidikan kita pada hari ini yang cukup terpuruk dan carut
marut akibat dari menyeleweng dari tujuan pendidikan yang seharusnya. Kampanye tersebut
tentunya dilakukan dalam rangka upaya memperluas organisasi, mempertinggi
tingkat kesadaran, hingga memperhebat perjuangan kita dalam melawan musuh-musuh
rakyat, utamanya yang bercokol di kampus kita masing-masing. Dengan meluasnya
organisasi, tingginya kesadaran kita untuk bergerak, hingga hebatnya perjuangan
kita, maka bukan tidak mungkin cita-cita kita dalam mewujudkan pendidikan yang berwatak
ilmiah dan demokratis bisa terjadi, hingga akhirnya kita bisa mengabdikan
pendidikan untuk rakyat yang tertindas. Oleh karena itulah, terjadinya wabah
pandemi Covid-19 seharusnya bukan halangan bagi pemuda-mahasiswa untuk terus
aktif bergerak, karena dengan berkurangnya aktivitas akan menyebabkan lemahnya
sistem imunitas kita. Sekali lagi, watak aktif dan militan dari pemuda-mahasiswa
harus terbukti sebagai bentuk dari realisasi slogan kita bersama, yaitu
berjuang bersama rakyat dalam mewujudkan Demokrasi Nasional.
Hormat Kami
Pimpinan Cabang FMN Bandung Raya
No comments:
Post a Comment