RILIS DAN PERNYATAAN SIKAP FMN CABANG BANDUNG RAYA - SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2020




JADIKAN HARI PENDIDIKAN NASIONAL SEBAGAI MOMENTUM UNTUK MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG ILMIAH, DEMOKRATIS, DAN MENGABDI KEPADA RAKYAT!



Pengantar: Tujuan Pendidikan Seharusnya!

Pada 2 Mei kemarin, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, suatu hari yang sangat bersejarah bagi kita semua. Pada tanggal 2 Mei pula, Ki Hajar Dewantara lahir. Beliau lah yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, sehingga setiap tanggal 2 Mei kita memperingati hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional sejak dikeluarkannya SK Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959. Spirit Hari Pendidikan Nasional patut kita gali secara historis untuk mengetahui bagaimana sebenarnya tujuan dari diselenggarakannya pendidikan di Indonesia.

Ketika meresmikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara pernah berkata bahwa tujuan pendidikan ialah untuk memerdekakan manusia sebagai anggota dari masyarakat. Melalui tujuan tersebut, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu zelfstandig atau berdiri sendiri, onafhankelijk atau tidak bergantung pada orang lain, serta vrijheid atau zelfbeschikking yang berarti dapat mengatur diri sendiri. Dengan kata lain, Ki Hajar Dewantara berupaya menjelaskan bahwa pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas dengan praktek di lapangan. Teori haruslah berbasiskan pada kenyataan konkrit, karena hanya dengan demikianlah harapan akan melahirkan manusia yang merdeka akan tercapai.

Dalam sudut pandang yang lebih emansipatoris lagi, pendidikan dilihat bukan hanya persoalan mempelajari teori yang bersesuaian dengan kenyataan konkrit saja, tetapi juga dilihat sebagai upaya pembebasan manusia dari penindasan. Dengan demikian, rakyat yang tertindas dapat melihat bagaimana dunia dan dirinya tertindas melalui pendidikan, serta berkomitmen untuk melakukan perubahan sosial agar kemerdekaan yang sejati dapat diraih.

Hal ini berbeda jauh dengan realitas konkrit yang terjadi di lapangan hingga hari ini dimana sistem pendidikan nasional tidak lagi berwatak ilmiah dan demokratis. Realitas pengajaran di kelas-kelas, teori-teori yang diajarkan, hingga pemberangusan hak-hak demokratis pelajar serta mahasiswa menjadi contoh yang jelas dari hilangnya watak-watak sejati pendidikan tersebut. Secara riil, sistem pendidikan kita pada hari ini bukanlah sistem pendidikan hadap masalah yang dimana kedudukan antara guru dan murid itu setara, serta adanya penyesuaian teori-teori yang diajarkan dengan realitas. Adanya hierarki di kelas yang menandakan bahwa guru mengetahui segalanya sedangkan pelajar dan mahasiswa sebagai objek tabula rasa yang dianggap tidak mengetahui apa-apa menyebabkan hadirnya relasi yang timpang. Akibatnya ialah kebebasan berpendapat, berekspresi, serta mengeritik pendapat guru ataupun dosen pun tidak ada. Selain daripada itu, tujuan pendidikan pada akhirnya berubah menjadi wadah untuk mereproduksi tenaga kerja cadangan yang siap berdaya saing. Itu artinya tujuan pendidikan hingga hari ini sangat mendukung salah satu kepentingan kaum imperialis, yaitu mengeksploitasi tenaga kerja berupah murah di Indonesia.

Karena itu konsekuensi dari pendidikan yang tidak berwatak ilmiah dan demokratis sudah sangat jelas, yaitu tidak adanya pengabdian kepada rakyat. Maka dari itu sangat wajar, sejak Indonesia merdeka, kaum tani di pedesaan belum merasakan penggunaan teknologi pertanian yang maju, pengetahuan pertanian yang mampu untuk mengoptimalkan produksi komoditas pertanian secara massif, serta tentunya terbebas dari perampasan serta monopoli lahan yang dilakukan oleh tuan tanah. Selain itu, sangat wajar pula klas buruh di Indonesia belum bisa merasakan bagaimana bentuknya industri yang berdaulat serta mandiri, yang berarti terbebas dari intervensi modal asing. Klas buruh Indonesia juga belum mempunyai daya dan upaya untuk membentuk industri dasar yang mampu menopang industri pengolahan yang bisa menghasilkan teknologi yang maju untuk perkembangan kekuatan produktif di Indonesia. Hal itu secara konkritnya karena lulusan-lulusan sekolah dan perguruan tinggi kita tidak lagi berorientasi pada pengabdian kepada rakyat, tapi berorientasi pada pengabdian kepada pemodal dan tuan tanah.

Campur Tangan IMF dan Bank Dunia dalam Menyelewengkan Tujuan Pendidikan yang Sebenarnya

Pasca Orde Baru runtuh, kita terjebak dalam skema Neoliberalisme yang diusung dalam The Neoliberal Washington Consensus yang menyebabkan pasar terbuka seluas-luasnya serta dapat bergerak sebebas-bebasnya. Secara singkat, skema Neoliberalisme bisa dijabarkan dalam tiga poin utama, yaitu deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi yang menyasar ke seluruh sektor kehidupan rakyat, termasuk pendidikan. Pelaksanaan konsensus tersebut secara konkrit dilakukan oleh rezim melalui penandatanganan perjanjian dengan IMF untuk memberikan pinjaman agar krisis moneter 1997-1998 dapat teratasi. Melalui perjanjian tersebutlah, kita bisa mengetahui watak rezim hingga hari ini, yaitu menjadi alat bagi kaum Imperialis untuk menguasai sumber daya alam dan kekuatan produktif di negeri kita. Secara singkat, perjanjian dengan IMF menjadikan negeri Indonesia sebagai negeri yang tunduk terhadap dikte kaum Imperialis. Tidak hanya itu, masuknya Indonesia ke dalam WTO pada 1995 melalui penandatanganan General Agreement on Trade in Service atau GATS menjadi penanda bahwa liberalisasi harus dilakukan di segala sektor, termasuk sektor pendidikan tinggi. Sejak saat itulah, pendidikan kita memasuki era baru, yaitu era liberalisasi pendidikan.

Pelaksanaan liberalisasi pendidikan tinggi sendiri pertama kali diimplementasikan melalui PP No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum yang mengatur soal privatisasi empat PTN tertua dan paling bergengsi, yaitu ITB, UGM, IPB, dan UI. Sejak saat itu pula, keempat PTN tersebut berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara atau PT-BHMN. Setelahnya, rezim SBY juga bertanggungjawab terhadap liberalisasi pendidikan dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU tersebut pada implementasinya ialah memperluas privatisasi sektor pendidikan hingga keseluruh jenis lembaga pendidikan termasuk jenjang SD.

Kemunculan UU No. 9 Tahun 2009 atau yang biasa kita kenal sebagai UU BHP tersebut menimbulkan gelombang protes dari sektor rakyat. Puncaknya ialah munculnya mekanisme judicial review terhadap UU BHP tersebut sehingga UU tersebut dibatalkan oleh MK dengan dikeluarkannya Putusan MK No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. Tentunya kemenangan tersebut tercipta bukan karena kebaikan hati MK, namun karena perjuangan panjang dari rakyat yang tertindas untuk mengembalikan pendidikan ke tujuan yang sebenarnya. Rakyat telah melihat bahwa semangat yang muncul dalam UU BHP tersebut merupakan semangat dagang karena melalui UU tersebut, investor modal asing bisa masuk ke ranah pendidikan melalui kerjasama dalam penyelenggaraan pendidikan dengan mekanisme modal mencapai 49%. Hal itu karena UU BHP juga merujuk kepada PP No. 76 dan 77 tahun 2007 yang membuka luas investasi di segala sektor.

Pembatalan UU BHP tersebut tidak membuat rezim untuk berhenti meliberalisasi sektor pendidikan. Pada kenyataannya, rezim mengeluarkan produk hukum sebagai pengganti dari UU BHP, yaitu UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi atau yang biasa kita kenal dengan UU PT. Mengapa bisa demikian?

Sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa semenjak Indonesia masuk dalam skema Neoliberalisme, maka seluruh kebijakan yang lahir dari rezim yang berkuasa merupakan dikte dari kaum imperialis yang berwujud IMF dan Bank Dunia. Melalui kenyataan tersebut, maka sudah pasti bahwa dalam proses perumusan kebijakan mengenai pendidikan pun, ada campur tangan dari Bank Dunia juga. Campur tangan tersebut bisa dilihat ketika Bank Dunia mengeluarkan beberapa program seperti Development of Undergraduate Education atau DUE, Higher Education for Relevance and Efficiency atau HERE, dan Indonesian Managing Higher Education for Relevance and Efficiency atau IMHERE yang dilaksanakan secara bertahap antara 1995-2002 dan 2005-2012. Dalam laporan pelaksanaan program HERE dan DUE menyebutkan bahwa Bank Dunia memberikan dukungan terhadap pembentukan Dewan Pendidikan Tinggi di Dirjen Pendidikan Tinggi yang bertugas menyusun kebijakan-kebijakan teknis pendidikan tinggi di Indonesia. Untuk pelaksanaan dukungan tersebut, Bank Dunia mengucurkan dana sebesar US$ 6,4 juta. Realisasi teknis dari penggunaan dana tersebut ialah dikeluarkannya produk hukum UU PT serta pelaksanaan sosialisasinya di berbagai PTN. Sebelumnya melalui program IMHERE, Bank Dunia sendiri sebenarnya sudah mengucurkan dana sebesar US$ 114,5 juta untuk mereformasi undang-undang yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK, yaitu UU BHP.

Untuk lebih jelasnya, dalam dokumen pelaksaan IMHERE, Bank Dunia menyebutkan bahwa:

“The project supported to the approval of Higher Education Laws in 2009 and 2012 that established a governance framework for universities. The project support by financing seminars, study tours, and reports. The first law was overturned by the Constitutional Court and replaced in 2012 with a new law that had a similar objective and responded to concern raised by Court…”

Dari dokumen IMHERE tersebut tertera bahwa program IMHERE selesai pada 31 Desember 2012, maka untuk mempercepat realisasi dari deregulasi pendidikan tinggi tersebut, rezim SBY mengeluarkan UU PT untuk menggantikan UU BHP. Dengan demikian secara esensial, kedua UU tersebut sejatinya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk meliberalisasi pendidikan di Indonesia. Namun UU PT diterbitkan dengan mekanisme yang lebih halus sehingga liberalisasi tidak terlalu terlihat dalam isinya.

Kuatnya UU PT tersebut secara konkrit bisa dilihat dari historisnya. UU PT tersebut masih kokoh berlaku, walaupun gerakan rakyat sudah berusaha mengajukan pencabutannya melalui mekanisme judicial review hingga sebanyak empat kali. Pengajuan pembatalan yang pertama dan kedua diajukan oleh gerakan mahasiswa UNAND pada 2012, pengajuan pembatalan yang ketiga diajukan oleh Komite Nasional Pendidikan (KNP) dimana FMN terlibat di dalamnya pada 2013, sedangkan pengajuan terakhir dilakukan oleh gerakan mahasiswa UNHAS pada 2016. Hal tersebut membuktikan satu hal, yaitu kerasnya rezim kapitalis birokrat di Indonesia dalam mempertahankan deregulasi pendidikan tinggi sebagai bentuk dari pengabdiannya kepada kaum imperialis.

Situasi Konkrit Pendidikan di Tengah Menyebarnya Wabah Covid-19

Pasca runtuhnya Orde Baru, rezim demi rezim silih berganti dan menjadi alat yang efektif bagi kaum imperialis untuk terus melaksanakan kepentingannya di Indonesia. Karena itulah, kondisi rakyat tidak pernah berubah sama sekali, penindasan dan penghisapan terhadap kaum tani dan klas buruh terus terjadi melalui berbagai kebijakan yang ada. Sektor pendidikan sendiri salah satu sektor yang menjadi instrumen penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum imperialis terhadap rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir dari rezim tidak lain merupakan dikte dari IMF dan Bank Dunia. Karena itulah, walaupun Orde Baru telah jatuh kekuasaannya, namun kebijakan mengenai pendidikan tidak pernah berubah, bahkan kebijakan-kebijakan tersebut makin memperlihatkan bahwa tujuan pendidikan kita bukan lagi untuk mengabdi kepada rakyat.

Maka dari itu, ketika wabah Covid-19 telah menjadi wabah pandemi global, kebijakan pendidikan tidak pernah sama sekali diabdikan untuk kesejahteraan dan kesehatan bagi rakyat, malah diarahkan untuk menjaga iklim investasi dan stabilisasi pertumbuhan ekonomi. Dihadirkannya mekanisme Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) melalui sistem daring sebagai mekanisme pendidikan yang efektif untuk pembelajaran di tengah penyebaran wabah memperlihatkan bahwa pelaksanaan ‘pencerdasan kehidupan bangsa’ sangat runyam dan konyol.

Pelaksanaan PJJ terbukti banyak bermasalah. Bagi pemuda-mahasiswa, PJJ melalui daring merupakan suatu kesulitan, karena hal tersebut memberatkan kita semua melalui bertambahnya biaya kuota internet untuk melaksanakannya. Selain itu, PJJ melalui daring tidak sama sekali mengurangi biaya uang kuliah/SPP, tentunya hal ini sangat bermasalah, mengapa demikian?

Jika kita merujuk kepada PP No. 26 Tahun 2015 yang merujuk kepada UU PT menyebutkan bahwa Biaya Kuliah Tunggal (BKT) basis dari tiap-tiap kampus merupakan sekumpulan biaya yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran serta tetek bengek lainnya yang berkaitan dengan kampus. BKT berasal dari Biaya Langsung (BL) dan Biaya Tidak Langsung (BTL). BL sendiri merupakan biaya yang terkait langsung dengan penyelenggaraan kegiatan akademik, sedangkan BTL merupakan biaya yang tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan penyelenggaraan kegiatan akademik. BL terdiri atas tujuh kategori, diantaranya ialah BL SDM, BL BHP Pembelajaran, BL BHP Praktikum, sarana pembelajaran, sarana praktikum, gedung kuliah, dan gedung praktikum. Sedangkan komponen BTL terdiri atas biaya depresiasi atas gedung dan sarana prasarana kampus; biaya operasional yang terdiri atas upah pegawai, BHP non pembelajaran, serta biaya operasional umum; biaya pemeliharaan; serta biaya tambahan lainnya.

Masih menurut PP No. 26 Tahun 2015, pemasukan PTN sendiri terdiri atas APBN dan non-APBN.  Pemasukan APBN terdiri atas rupiah murni (yang berguna untuk upah dosen PNS), serta Bantuan Operasional PTN (BOPTN) atau Bantuan Pendanaan PTN Berbadan Hukum (BPPTNBH) yang berguna untuk biaya operasional, biaya dosen non PNS, biaya tenaga pendidik non PNS, biaya investasi, dan biaya pengembangan. Pemasukan non-APBN sendiri terdiri atas biaya masyarakat, biaya pendidikan (UKT/SPP), pengelolaan dana abadi, usaha PTN-BH, kerjasama Tridharma Perguruan Tinggi, pengelolaan kekayaan PTN-BH, APBD, serta pinjaman lainnya. Dari keterangan tersebut, bisa kita lihat bahwa UKT/SPP merupakan pembiayaan berkategori non-APBN.

Setelah kita mengetahui jenis-jenis pemasukan kampus, patutnya kita harus mengetahui pengeluaran kampus agar kita mengetahui untuk apa saja uang kuliah kita digunakan. Keseluruhan komponen BTL dibiayai oleh BOPTN/BPPTNBH, kecuali biaya operasional gedung yang terkadang dibiayai oleh uang pangkal/SPI. Sedangkan keseluruhan komponen BL dibiayai oleh pemasukan non-APBN, kecuali BL SDM yang jika PNS, maka dibiayai oleh BOPTN/BPPTNBH. Dari keterangan tersebut maka didapatkan bahwa uang kuliah kita digunakan untuk membiayai sebagian dari komponen BL atau membiayai sebagian fasilitas yang kita gunakan untuk proses pembelajaran.

Dari penjelasan panjang lebar tersebut mengenai uang kuliah, maka kita mendapatkan kesimpulan yang cukup jelas bahwa PJJ melalui daring merupakan kegiatan pembelajaran yang bahkan tidak sama sekali menggunakan sebagian besar dari komponen BL, kecuali hanya menggunakan BL SDM (dengan hadirnya dosen sebagai penunjang kegiatan pembelajaran) yang itupun dibiayai oleh negara. Itu artinya, kita sebenarnya tidak mempunyai kewajiban untuk membayar uang kuliah. Tetapi hingga hari ini, sebagian besar kampus di negeri ini bahkan untuk mensubsidi biaya kuota internet saja sudah cukup berat. Jika tanpa perjuangan yang konsisten dari pemuda-mahasiswa, maka mungkin saja kampus tidak mengembalikan uang kuliah sama sekali, bahkan walaupun itu hanya dalam bentuk biaya kuota internet saja. Bayangkan saja, biaya kuota internet sendiri hanya berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu saja. Sudah cukup jelas, bahwa PJJ melalui daring benar-benar tidak berpihak kepada rakyat sama sekali.

Selain daripada itu, hadirnya wabah pandemi Covid-19 juga tidak menyurutkan Kemendikbud untuk melaksanakan kebijakan kampus merdeka, yaitu kebijakan yang mengarahkan orientasi pendidikan kita kepada kepentingan keberlangsungan iklim investasi. Pada dasarnya kebijakan kampus merdeka yang diatur dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Perubahan PTN menjadi PTN-BH, Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, Permendikbud No. 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada PTN, serta Permendikbud No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN dan Pendirian, Perubahan, dan Pencabutan Izin PTS. Secara garis besar, kampus merdeka mempunyai empat komponen yang membentuknya, yaitu adanya pembukaan program studi baru yang berorientasi pada kepentingan korporasi, sistem akreditasi perguruan tinggi, mempermudah persyaratan untuk menjadi PTN-BH tanpa terikat status akreditasi, serta hak belajar tiga semester di luar program studi dengan ketentuan 40 SKS dilaksanakan diluar kampus dan 20 SKS sisanya dilaksanakan di program studi yang berbeda.

Apa yang bermasalah dalam kebijakan kampus merdeka tersebut?

Lagi-lagi kaum imperialis mencuri kesempatan untuk terlibat dalam kebijakan tersebut dengan hadir sebagai mitra dalam pembukaan program studi baru (terdapat 4 dari 5 mitra kerjasama yang termasuk dalam pemodal raksasa, diantaranya ialah perusahaan multinasional, perusahaan teknologi raksasa, startup teknologi, dan organisasi multilateral yang dimana salah satunya ialah Bank Dunia). Selain itu, dalam melakukan kegiatan belajar di luar program studi diimplementasikan dalam bentuk magang di perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra kampus tanpa diupah hingga melaksanakan KKN dengan menjadi pembantu dalam melaksanakan proyek-proyek rezim di pedesaan. Jika ditilik dari keterangan-keterangan tersebut, kebijakan kampus merdeka benar-benar menjadi perpanjangan tangan dari musuh-musuh rakyat untuk menghisap kaum tani dan klas buruh. Kita benar-benar diajarkan untuk menjadi buruh magang yang tentunya tidak diupah menurut ketentuan UMR/UMK!

Dengan demikian, baik PJJ melalui daring maupun pelaksaan kebijakan kampus merdeka pada dasarnya sama, yaitu sama-sama tidak berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan rakyat di tengah wabah pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa selain tidak seriusnya penanganan wabah pandemi dengan relokasi APBN yang tidak tepat (lihat Perppu No. 1 Tahun 2020), juga dalam sektor pendidikan, rezim Jokowi benar-benar tidak peduli dengan situasi dan kondisi rakyat pada hari ini, tetapi lebih peduli kepada penjagaan iklim investasi serta stabilisasi pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu sangat wajar jika Kemendikbud menolak mengembalikan uang kuliah kita. Bahkan ada asumsi bahwa uang kuliah kita semester ini digunakan untuk menutupi defisit yang dialami oleh kampus-kampus PTN-BH akibat kegagalan pelaksanaan korporasi akademiknya sebagai salah satu pemasukan non-APBN yang menunjang kegiatan pembelajaran di kampus.

Penutup: Sikap FMN Cabang Bandung Raya di Hari Pendidikan Nasional

Wabah pandemi Covid-19 telah menunjukkan secara pasti bahwa Imperialisme sudah tidak lagi mempunyai daya dan upaya untuk mempertahankan diri dari gempuran krisis yang menghinggapinya. Rezim Kapitalisme Monopoli internasional pada hari ini telah membuat satu setengah milyar klas buruh di seluruh dunia terkena dampaknya dengan adanya PHK massal tanpa pesangon serta tidak adanya jaminan kebutuhan pokok bagi mereka selama masa karantina.

Di Indonesia sendiri, diberlakukannya PSBB melalui PP No. 21 Tahun 2020 juga sama sekali tidak efektif berjalan sebagai bentuk bentuk pencegahan terhadap penyebaran Covid-19. Hal tersebut dibuktikan dari korban yang terus bertambah dari hari ke hari. Data per 2 Mei sendiri menyebutkan bahwa terdapat 10.843 pasien positif serta 831 jiwa yang meninggal, sedangkan pasien yang sembuh baru berkisar 1.665 jiwa. Hal ini menandakan bahwa rezim Jokowi telah gagal dalam mengurusi kesehatan rakyat.

Selain itu, hadirnya kebijakan-kebijakan di sektor pendidikan juga tidak sama sekali mempertinggi taraf kebudayaan rakyat. Di tangan rezim Jokowi, sektor pendidikan justru menjadi alat bagi kaum imperialis untuk menancapkan kesadaran palsu di kalangan rakyat, sehingga rakyat bisa terilusi bahwa dibawah rezim kaki tangan imperialis ini, mereka bahagia. Ini merupakan suatu bentuk skema yang sistematis yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun sebagai pondasi suprastruktur yang kokoh dalam mempertahankan keadaan masyarakat Setengah Jajahan Setengah Feodal di Indonesia.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional ditengah-tengah penyebaran wabah pandemi Covid-19, FMN Cabang Bandung Raya menuntut:

  1. Kembalikan uang kuliah dengan nilai maksimum untuk mahasiswa, dan berikan intensif untuk melaksanakan PJJ melalui daring;
  2. Batalkan kebijakan kampus merdeka yang sangat berorientasi pada kepentingan korporasi dan sama sekali tidak mengabdi kepada rakyat;
  3. Cabut UU No. 12 Tahun 2012 dan segala tetek bengek peraturan yang melanggengkan skema liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan;
  4. Berikan jaminan lapangan pekerjaan bagi pemuda-mahasiswa, bukan jaminan program kerja magang!
  5. Wujudkan sistem pendidikan yang berwatak ilmiah dan demokratis, serta mengabdi kepada rakyat;
  6. Laksanakan reforma agraria sejati sebagai syarat pokok dalam membangun industri nasional yang berdaulat dan mandiri, serta bebas dari intervensi modal asing.
Momentum Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei kemarin harus kita jadikan refleksi bahwa kita harus terus berkampanye tentang situasi dan kondisi pendidikan kita pada hari ini yang cukup terpuruk dan carut marut akibat dari menyeleweng dari tujuan pendidikan yang seharusnya. Kampanye tersebut tentunya dilakukan dalam rangka upaya memperluas organisasi, mempertinggi tingkat kesadaran, hingga memperhebat perjuangan kita dalam melawan musuh-musuh rakyat, utamanya yang bercokol di kampus kita masing-masing. Dengan meluasnya organisasi, tingginya kesadaran kita untuk bergerak, hingga hebatnya perjuangan kita, maka bukan tidak mungkin cita-cita kita dalam mewujudkan pendidikan yang berwatak ilmiah dan demokratis bisa terjadi, hingga akhirnya kita bisa mengabdikan pendidikan untuk rakyat yang tertindas. Oleh karena itulah, terjadinya wabah pandemi Covid-19 seharusnya bukan halangan bagi pemuda-mahasiswa untuk terus aktif bergerak, karena dengan berkurangnya aktivitas akan menyebabkan lemahnya sistem imunitas kita. Sekali lagi, watak aktif dan militan dari pemuda-mahasiswa harus terbukti sebagai bentuk dari realisasi slogan kita bersama, yaitu berjuang bersama rakyat dalam mewujudkan Demokrasi Nasional.



Hormat Kami

Pimpinan Cabang FMN Bandung Raya


Share:

No comments: