PEMUDA MAHASISWA BERSATU BERSAMA KLAS BURUH DAN
SELURUH RAKYAT TERTINDAS
LAWAN TINDASAN REZIM JOKOWI DI TENGAH PANDEMI
COVID-19
Hari Buruh Internasional atau yang biasa
dikenal sebagai Mayday mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sejarah Mayday
bisa ditarik hingga ke 1 Mei 1886, yaitu ketika seperempat juta buruh turun ke
jalanan kota Chicago untuk menyuarakan tuntutan 8 jam kerja hingga tuntutan
cuti. Peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa Haymarket tersebut pada akhirnya
terus diperingati setiap tahunnya oleh gerakan buruh internasional dalam bentuk
aksi peringatan atas perjuangan klas buruh dalam menuntut jam kerja, cuti, dan
upah. Di Indonesia sendiri, peringatan Mayday dimulai sejak 1918 dengan puncak
terbesarnya di masa Kolonialisme, yaitu pada 1920-1923, ketika klas buruh
(utamanya buruh transportasi dan industri perkebunan) di Pulau Jawa dan
Sumatera mogok bersama menuntut perbaikan upah dan jam kerja.
Kini gerakan buruh internasional menghadapi situasi
yang sangat pelik. Ditengah penindasan dan penghisapan yang terus menerus
terjadi karena hadirnya sistem Imperialisme, klas buruh juga menghadapi wabah
pandemi Covid-19 yang menyebar lewat udara dan sentuhan. Wabah pandemi Covid-19
membuat klas buruh was-was dan akhirnya menahan diri untuk tidak melaksanakan
aksi turun ke jalan karena dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran virusnya. Namun
wabah rupanya tidak sama sekali menyurutkan niat Rezim Jokowi melalui aparatus
legislatifnya untuk mempercepat pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan
sederet peraturan lainnya yang tentunya akan menyengsarakan rakyat. Selain itu
para pemilik modal pun tidak menyurutkan niatnya untuk terus melakukan
pemotongan upah bagi buruh yang dirumahkan, PHK besar-besaran, serta tidak
diberikannya jaminan untuk tidak terinfeksi Covid-19 selama kerja berlangsung. Alih-alih
menghentikan proses produksi, para pemilik modal memberikan dua pilihan bagi
klas buruh Indonesia, yaitu tetap bekerja dengan resiko terinfeksi Covid-19 di
pabrik atau dirumahkan tanpa jaminan upah sama sekali (atau bahkan PHK tanpa
pesangon).
Data ILO menyebutkan bahwa terdapat perkiraan
1,6 miliar pekerja informal terancam kehilangan pendapatan, angka tersebut
merupakan separuh dari jumlah angkatan kerja global. Ditengah gelombang PHK
massal sedunia tersebut, pertumbuhan ekonomi AS sebagai negara imperialis utama
menurun hingga minus 4,8% di kuartal I 2020 dan menjadi yang terburuk sejak krisis
2008. Di Indonesia sendiri per 30 April terdapat 1,7 juta buruh yang di-PHK dan
dirumahkan selama masa pandemi Covid-19. Jumlah tersebut masih ditambah dengan
adanya 314.833 pekerja informal yang kehilangan pendapatan karena lambannya
rezim dalam menangani wabah tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, Rezim
Jokowi meluncurkan kartu pra-kerja yang sama sekali tidak membantu mengatasi
gelombang PHK massal tersebut karena alur birokrasi yang ribet dan pelatihan
yang tidak gratis.
Melihat hal tersebut, krisis ekonomi global
yang dimotori oleh krisis di negeri AS yang dikatalisasi oleh wabah pandemi
Covid-19 menandakan bahwa Kapitalisme Monopoli sudah mencapai tahap akhirnya,
sehingga sudah saatnya gerakan rakyat tertindas dibawah pimpinan klas buruh bergerak
dan merebut kedaulatan atas upah, tanah, dan kerja mereka. Peristiwa wabah
telah membuktikan satu hal, bahwa Kapitalisme Monopoli tidak mempunyai solusi
yang tepat untuk menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraannya akibat
pandemi.
Kondisi Klas Buruh di Jawa Barat
Di Jawa Barat sendiri, per 25 April, terdapat
62.848 buruh yang di-PHK dan dirumahkan oleh 1.041 perusahaan. Diantaranya terdapat
12.661 buruh yang di-PHK dan 50.187 buruh yang dirumahkan tanpa jaminan upah layak.
Sedangkan di Kota Bandung sendiri terdapat 3.396 buruh yang di-PHK dan 5.804
buruh lainnya dirumahkan oleh 52 perusahaan. Di PT. Kahatex Sumedang sendiri
terdapat 11.000 buruh yang dirumahkan dengan jaminan upah hanya sekitar 25%
dari UMR Sumedang, yaitu sekitar Rp 700 ribu sampai Rp 800 ribu. Sedangkan bagi
klas buruh yang tidak di-PHK atau dirumahkan, mereka tetap bekerja dengan
resiko terinfeksi yang tinggi.
Pemerintahan Jawa Barat sendiri sebenarnya
sudah mengalokasikan dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 18 triliun yang dibagi
menjadi dana bantuan sosial sebesar Rp 500 ribu per keluarga, pengadaan alat
kesehatan (terutama alat rapid test), program padat karya, dan anggaran
penugasan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Jawa Barat. Per
27 April, Pemerintahan Jawa Barat sudah mencairkan Rp 1,2 triliun untuk hal
tersebut. Namun sejatinya dana sebesar Rp 500 ribu per keluarga sama sekali
tidak mencukupi untuk pemenuhan stok kebutuhan pokok rakyat. Pengadaan alat
kesehatan pun tidak pernah efisien karena di lapangan sendiri banyak ditemukan
alat rapid test yang rusak. Sedangkan program padat karya yang ditujukan
bagi buruh yang di-PHK sama sekali tidak menjamin buruh untuk bekerja kembali. Dengan
demikian, penggelontoran anggaran yang sedemikian besarnya tidak pernah bisa
menjangkau penanganan Covid-19 secara keseluruhan. Hal yang lebih memalukan
lagi terkait anggaran ialah, Pemerintahan Pusat sendiri hanya mempedulikan
stabilisasi pertumbuhan ekonomi nasional dengan menganggarkan Rp 330 triliun dari
total dana penanganan wabah Covid-19 (totalnya ialah Rp 405,1 triliun, Rp 75,1
triliun digunakan untuk pengadaan alat kesehatan).
Selain dari resiko PHK atau dirumahkan yang
dialami oleh klas buruh di Jawa Barat, mereka juga menghadapi resiko besar
terinfeksi Covid-19. Seruan rezim untuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar atau PSBB melalui PP No. 21 Tahun 2020 sama sekali tidak diberlakukan di
pabrik-pabrik. Pada kenyataannya, hingga hari ini (1/5), klas buruh di berbagai
wilayah masih banyak yang bekerja. Di PT. Kahatex Sumedang sendiri terdapat
belasan departemen yang masih bekerja dengan alasan bahwa departemen-departemen
tersebut merupakan departemen yang penting bagi proses produksi tekstil. Akibatnya
sudah bisa ditebak, dari hari ke hari, pasien positif Covid-19 terus bertambah.
Per 30 April, terdapat 1.012 pasien positif, 83 jiwa meninggal, dan 143
dinyatakan sembuh; data tersebut bertambah 3 kasus dari hari sebelumnya.
Kondisi Kaum Tani di Jawa Barat Selama Masa
Wabah Covid-19
Kaum tani di pedesaan adalah golongan
masyarakat yang nyaris tidak tersentuh oleh penanganan Covid-19 sehingga pedesaan
pada hari ini menjadi ladang subur tumbuhnya mitos-mitos mengenai Covid-19. Fenomena
ketakutan yang tercipta akibat pemberitaan media serta sosialisasi mengenai
Covid-19 yang tidak pernah menyentuh pedesaan membuat kaum tani hanya bisa
meraba-raba tentang bagaimana Covid-19 tersebut. Selain itu, kaum tani secara
tidak langsung juga merasakan dampak krisis yang dikatalisasi oleh wabah Covid-19
tersebut. Dimulai dari naiknya harga pupuk hingga peran para tengkulak yang sangat
menyengsarakan kaum tani.
Seperti yang kita ketahui, bahwa harga-harga kebutuhan
dasar rumah tangga seperti cabai, gula pasir, beras, hingga sayuran melambung
tinggi di pasaran. Namun, kaum tani yang kesehariannya terbiasa menjual
komoditasnya ke tengkulak, sama sekali tidak merasakan kenaikan harga tersebut.
Harga cabai kriting saja hanya mencapai Rp 15 ribu per kg, kubis mencapai Rp
1500 per kg, labu mencapai harga Rp 2500 per kg, dan komoditas lainnya. Hal tersebut
berbanding terbalik dengan harga di pasaran, yaitu Rp 52 ribu per kg untuk
cabai kriting, Rp 7500 per kg untuk kubis, dan Rp 25 ribu per kg untuk labu. Hal
ini tentunya menandakan surplus keuntungan bagi kaum tengkulak dan kesengsaraan
bagi kaum tani. Walaupun pada akhirnya Rezim Jokowi merencanakan pembagian Rp
600 ribu ke kaum tani dengan rincian Rp 300 ribu dalam bentuk bantuan langsung
tunai dan sisanya dalam bentuk bantuan sarana prasarana produksi pertanian,
tetapi pada dasarnya bantuan tersebut tidak menyasar langsung ke buruh tani
atau tani miskin yang memang benar-benar membutuhkan bantuan.
Selain itu, kaum tani tidak teredukasi dengan
baik mengenai Covid-19 sehingga sebagian besar dari mereka hanya mengetahui
Covid-19 sebagai virus yang datang dari Cina dimana para penderitanya hanya
mengalami gejala batuk-batuk saja. Dengan pengetahuan seperti itu, bagi siapapun
yang bersin ataupun batuk sesekali akan dianggap sebagai orang yang mengalami
gejala Covid-19. Keterbelakangan pengetahuan yang dimiliki oleh kaum tani
tersebut menandakan bahwa Rezim Jokowi sama sekali tidak memperhatikan mereka. Tidak
adanya pengiriman tenaga medis ke pelosok desa hingga diberlakukannya PSBB
membuat kaum tani kebingungan harus berbuat apa, sedangkan keseharian mereka
hidup bergantung pada kerja di lahan. Belum lagi ketahanan pangan nasional yang
terganggu akibat wabah serta kelambanan rezim dalam menanganinya akan membuat
sistem tanam paksa kembali lagi diberlakukan dengan nama program yang
diperhalus, sehingga kesengsaraan kaum tani akan bertambah berkali-kali lipat.
Kondisi Pemuda-Mahasiswa di Jawa Barat Selama
Masa Wabah Covid-19
Bagaimana dengan kondisi pemuda-mahasiswa?
Wabah pandemi Covid-19 memaksa seluruh
institusi pendidikan menerapkan metode pembelajaran melalui daring. Metode tersebut
dilaksanakan dengan menggunakan aplikasi media sosial atau aplikasi video call
yang memakan kuota internet sangat banyak. Selain itu, baik pemuda-pelajar
ataupun pemuda-mahasiswa juga dibebani tugas-tugas yang sangat banyak, sehingga
memusingkan mereka. Survey yang dilakukan secara nasional oleh FMN membuktikan
bahwa metode pembelajaran melalui daring menimbulkan masalah baru bagi rakyat. Mayoritas
rakyat sangat kesulitan untuk menerapkan sistem belajar daring, termakan
waktunya untuk mendampingi anaknya belajar, hingga menambah beban kuota
internet, bahkan alat komunikasi penunjang. Tidak hanya para murid/mahasiswa
saja yang kesulitan, para guru/dosen juga kesulitan melaksanakan metode belajar
daring dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai perkembangan teknologi serta tidak
adanya intensif tambahan sebagai bentuk dedikasinya dalam mencerdaskan rakyat.
Lebih dari itu, metode pembelajaran melalui
daring juga memancing reaksi dari pemuda-pelajar ataupun pemuda-mahasiswa
dengan menuntut pengembalian uang kuliah/SPP karena institusi pendidikan tidak
lagi memerlukan biaya operasional pembelajaran sebagaimana kondisi normal. Namun
di sebagian kampus, pengembalian uang kuliah hanya berupa pemberian biaya kuota
internet yang rata-rata hanya sebesar Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu saja. Jumlah
tersebut bahkan tidak sampai setengah dari total jumlah uang kuliah yang mereka
bayarkan. Kampus UIN Sunan Gunung Djati dan kampus UNPAD mencoba berbaik hati
dengan membagikan kebutuhan pokok untuk mahasiswa. Namun mahasiswa UIN Sunan Gunung
Djati hanya mendapatkan total beras 5 kg, mie instan 20 buah, kecap 1 botol,
serta saos 1 botol; sedangkan mahasiswa UNPAD hanya mendapatkan 2 nasi bungkus
per hari. Sejatinya apa yang dilakukan kampus tersebut belum berarti, karena
justru sebagian besar dari mahasiswa atau bahkan para orang tua pelajar
menuntut pengembalian uang kuliah/SPP secara penuh.
Penutup: Kita Harus Melawan!
Wabah pandemi Covid-19 telah membuktikan kepada
kita bahwa Kapitalisme Monopoli internasional sama sekali tidak memiliki
persiapan untuk menghadapi bencana kategori apapun. Kesibukan mereka dalam
mengonsentrasikan kekayaan di tangan segelintir orang hingga pembagian wilayah sumber
daya untuk mengeruk keuntungan membuat milyaran massa rakyat lainnya terhisap dan
tertindas setiap harinya. Terjadinya PHK massal hingga rentannya infeksi di
tempat kerja membuat klas buruh sebagai klas yang tidak memiliki alat produksi,
semakin sengsara hidupnya dari hari ke hari. Hingga saat ini, klas buruh di
dunia mengalami penghisapan dan penindasan berkali-kali lipat akibat lambannya rezim-rezim
kapitalis monopoli internasional dalam menangani wabah Covid-19.
Di Indonesia sendiri, tidak terjaminnya stok
pemenuhan kebutuhan pokok selama masa PSBB berlangsung, hingga edukasi mengenai
Covid-19 yang tidak menjangkau pelosok desa membuktikan bahwa Rezim Jokowi sama
sekali tidak peduli dengan nasib rakyat tertindas, utamanya klas buruh. Kini klas
buruh di Indonesia harus merasakan penderitaan yang berkali-kali lipat karena Rezim
Jokowi hanya mempedulikan penjagaan iklim investasi dan tingkat pertumbuhan
ekonomi, dibanding menangani Covid-19 yang terlihat tidak serius.
Oleh karena itulah, dalam rangka memperingati
Hari Buruh Internasional ditengah-tengah penyebaran wabah pandemi Covid-19, Front
Mahasiswa Nasional menuntut untuk:
- Liburkan buruh dan berikan upah
penuh serta jaminan kebutuhan hidup dan sehat;
- Hentikan PHK dan pemotongan
upah buruh;
- Berikan jaminan lapangan pekerjaan
bagi pemuda-mahasiswa, tolak kartu pra-kerja!
- Kembalikan uang kuliah mahasiswa
dan berikan insentif pembelajaran jarak jauh;
- Wujudkan sistem pendidikan
nasional yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat;
- Laksanakan segera reforma
agraria sejati dan industrialisasi nasional yang berdaulat;
- Berikan obat dan jamin
kesehatan rakyat;
- Batalkan RUU Omnibus Law Cipta
Kerja dan segala peraturan yang dapat menyengsarakan klas buruh serta kaum
tani!
Dengan kondisi terpuruknya rakyat tertindas di
tengah wabah pandemi Covid-19 serta krisis Kapitalisme Monopoli yang semakin
akut, sudah sepatutnya kita tidak tinggal diam. Momentum Hari Buruh
Internasional yang jatuh pada hari ini harus kita manfaatkan untuk
mengampanyekan persoalan-persoalan rakyat, utamanya klas buruh dan kaum tani
sehingga dapat memperluas organisasi, mempertinggi semangat, serta memperhebat
perjuangan kita dalam melawan musuh-musuh rakyat. Wabah pandemi Covid-19
seharusnya tidak menjadi halangan bagi pemuda-mahasiswa untuk dapat melakukan
pelayanan yang sepenuhnya kepada rakyat tertindas. Ketakutan akan Covid-19 justru
akan memperlemah imunitas kita sebagai pemuda-mahasiswa. Watak aktif dan
militan yang dimiliki oleh pemuda-mahasiswa sudah seharusnya dibuktikan dengan
sepenuh hati.
Hormat Kami,
Pimpinan Cabang FMN Bandung Raya
No comments:
Post a Comment