TOLAK RUU PENDIDIKAN TINGGI


Hasil Analisis Gerakan Mahasiswa Bandung (GMB): FMN, GMKI, GMNI, HMI, KAMMI, KMHDI, PMKRI
Sejak UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010, sejak itu pula pemerintah berusaha merumuskan UU baru sebagai penggantinya. Setelah mengalami beberapa kali penundaan, perundangan baru yang diberinama UU Pendidikan Tinggi (UU PT) tersebut rencananya akan diketuk-palu pada Agustus tahun ini.
Namun sayangnya, untuk keduakalinya, rakyat harus siap-siap kecewa menyambut terbitnya peraturan baru tersebut. Pasalnya, secara filosofis, Rancangan UU PT (RUU PT) yang dimaksud masih jauh dari visi keberpihakan kepada rakyat, karena sangat bau dengan aroma liberaliasi pendidikan. Berikut ini sejumlah perasalahan yang terkandung dalam draf RUU PT per 3 April 2012.
1.       Pendidikan Indonesia Didorong Masuk dalam Perdagangan Bebas Lintas Negara
Dalam Pasal 90, Ayat (1), disebutkan bahwa “Perguruan Tinggi di negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal tersebut merupakan indikasi paling kuat mengenai misi liberalisasi pendidikan yang terkandung dalam RUU PT.
Pasal tersebut persis seperti bunyi salah satu poin dalam empat mode penyediaan jasa pendidikan lintas negara yang diidentifikasi WTO, yaitu: 1) Cross-border supply,di mana institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program (mode 1), 2) Consumption abroad, yakni mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri (mode 2), 3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal (mode 3), dan 4) Presence of natural persons, di mana dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendikan lokal (mode 4).
Seperti diungkapkan Rektor UGM periode 2002-2007, Sofian Efendi, sebagai negara berpenduduk 237.641.326 (BPS, 2010), dan dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang masih sangat rendah, yakni 18, 4 persen dari total masyarakat usia 19-24 tahun (Kompas, 26/3/2012), Indonesia merupakan pasar yang sangat menarik bagi negara eksportir jasa pendidikan. Dengan ini, sangat bisa dibayangkan bahwa Perguruan Tinggi (PT) kita yang sangat belum siap bersaing dengan PT-PT asing akan babak-belur.
2.       Pemerintah Berusaha Melepaskan Tanggung Jawabnya atas Pendidikan
Dalam Pasal 66, Ayat (1), dikatakan bahwa “Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik”, Selanjutnya, dalam Ayat (3) disebutkan bahwa “Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan f. sarana prasarana.
Liberalisme dan intervensi negara adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Dalam politik ekonomi liberal, seperti dicontohkan Amerika (Serikat) dan Inggris, negara harus menjaga jarak sejauh-jauhnya dari kehidupan perekonomian masyarakat. Hal ini tercermin dalam berbagai kesepakatan internasional yang dimotori Amerika dan sekutu-sekutunya, termasuk Letter of Intent (LoI) Indonesia-IMF tahun 1998 yang mengikat Indonesia untuk terus mengurangi subsidi untuk sektor-sektor publik agar bisa mendapatkan bantuan ekonomi dari negara-negara donor
Dalam pasal   66 di atas, dengan istilah ‘otonomi’ pemerintah mendorong PT untuk mengelola dirinya sendiri, termasuk mengatur keuangannya sendiri. Sekilas, pasal ini mungkin terdengar baik-baik saja. Pada kenyataannya, status ‘otonomi’ ini, terutama dalam aspek non-akademik, tak lebih dari upaya mendorong Perguruan Tinggi untuk mencari pemasukan sendiri, sementara pemerintah akan terus mengurangi subsidi. Padahal, UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) sudah jelas menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Ini artinya bahwa RUU PT terindikasi melanggar sumber hukum tertinggi Indonesia.
3.       Pendidikan Indonesia Didorong untuk Menyokong Dunia Usaha yang Kapitalistik
Dalam Pasal 86, ayat (1), diebutkan bahwa “Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi” Kemudian dilanjutkan dalam ayat (2) “Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Seyogianya, ilmu pengetahuan yang diperolehi di PT menjadi modal untuk pembangunan bangsa, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Namun demikian, dalam kondisi Indonesia hari ini, formula tersebut tidak berlaku. Pasalnya, fakta menunjukan bahwa Indonesia dalam hegemoni kekuatan ekonomi asing. Itu artinya, sokongan dunia pendidikan terhadap dunai usaha, seperti yang tercantum dalam RUU PT mengandung arti bahwa ‘pendidikan Indonesia menyokong penindasan ekonomi asing di bumi Indonesia. Tidakkah hal tersebut berbahaya?
4.       Kewenangan Menteri yang Sangat Dominan
Dalam RUU PT, tidak kurang 33 pasal yang memberikan kewenangan pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) untuk menerbitkan aturan-aturan tambahan, termasuk hal-hal teknis, sebut saja pada pasal 11 tentang ‘Sivitas Akdemika’, pasal 75 tentang ‘Kemahasiswaan’, pasal 88 tentang ‘Pembiayaan dan Pengalokasian’, serta Pasal 92 tentang ‘Sanksi Administratif’.
Hal ini tentu menimbulkan kekawatiran akan terbitnya berbagai peraturan tambahan yang justru akan merugikan masyarakat dan membawa ruh ‘liberalisasi pendidikan’ yang ditentang habis-habisan dalam peraturan ini. Selain itu, berlebihnya kewenangan menteri tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat ‘otonomi’ yang  yang mereka gembar-gemborkan. Inilah buakti bahwa banyak hal yang coba dipaksakan dalam peraturan ini.
5.       Ancaman terhadap Kebebasan Berorganisasi dan Ekspresi Politik Mahasiswa
Pasal 76, ayat (3) menyebutkan,Organisasi mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra perguruan tinggi. Pasal ini menegasikan keberadaan kelompok mahasiswa independen (sering disebut “organ ekstra”), yang selama ini memiliki sejarah panjang sebagai wadah perjuangan politik mahasiswa. Dalam pasal ini, sangat kentara bagaimana pemerintah ingin membatasi kebebasan berkspresi, termasuk ekspresi politik, mahasiswa dan berusaha menghegemoni secara struktural.
Pasal-pasal tersebut, tak lain mengemban misi politis untuk mengikis budaya kritis mahasiswa yang sering kali menjadi batu sandungan bagi para penguasa. Pasal tersebut secara terang juga mewakili semangat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang diterbitkan pemerintahan Soeharto pada 1979/1980 untuk membombardir pergerakan mahasiswa pada kala itu.  
Sejumlah persoalan krusial yang termuat dalam RUU PT sebagaimana didiskusikan di atas telah cukup menjadi alasan untuk sampai pada kesimpulan bahwa RUU PT memuat banyak kecacatan yang serius, sehingga layak untuk ditolak. Sebagai solusi, pemerintah harus menyadari kekeliruannya, dan segera mengeluarkan sektor pendidikan, dan seluruh sektor publik lainnya, dari skema perjanjian liberalisasi. Jika itu tidak dilakukan, kebijakan apapun yang diproduksi niscaya akan berpihak pada kepentingan asing dan menyengsarakan rakyat.

Bandung, 30 April 2012  
Share:

No comments: