Seratusan massa aksi yang terhimpun dalam Serikat Buruh Independen (SBI) CV. Nusatex menggelar aksi massa di kompkes Pemkab Bandung (25/1). Aksi ini merupakan tindak lanjut dari aksi-aksi yang digelar sebelumnya di pabrik CV. Nusatex di Solokan Jeruk, Majalaya, Kab Bandung, yang menuntut sejumlah hak yang belum juga dipenuhi oleh pihak pengusaha.
Setelah membua aksi dengan sejumlah orasi politik di depan gerbang kompleks Pemkab Bandung, massa, sambil bernyanyi dan meneriakan lagu serta yel aksi, bergerak menuju gedung DPRD. Namun sayang, harapan mereka berjumpa wakil Anggota Dewan pupus karena seluruh anggota komisi D yang mereka tuju tidak ada di tempat. Alhasil, massa aksi melanjutkan perjalanan menuju gedung Disnaker Kab. Bandung yang tidak jauh dari gedung DPRD.
Di sana mereka kembali menggelar orasi-orasi politik. “Kita kemari bukan untuk mengemis belas kasih, tapi menuntut hak kita yang sudah diatur dalam peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang disahkan pemerintah,” tutur salah seorang massa aksi dalam orasinya. Di sela orasi-orasi yang digelar, Ahmad, salah seorang buruh, menceritakan kisah yang secara khusus dia dan sejumlah temannya alami, yakni cacat fisik akibat terkena gerigi mesin pabrik yang tajam.
“Saya hanya diberi uang Rp.400.00,- oleh perusahaan sebagai belasungkawa atas hilangnya telunjuk saya,” tutur Ahmad dengan raut sedih, sembari mengacungkan tangan kanan yang sudah tidak bertelunjuk lagi. Menurut pengakuan Ahmad, hampir semua buruh CV. Nusatex tidak dilindungi oleh Jamsostek. Inilah salah satu pelanggaran ketenagakerjaan yang hendak diadukan buruh pada Anggota Dewan serta pihak Disnaker Kab. Bandung.
Beranjak dari gedung Disnaker, mereka melanjutkan aksinya ke gedung DPRD. Kali ini harapan mereka sedikit terjawab dengan kehadiran seorang perwakilan komisi D dari Partai Golkar, Hj. Eti Mulyati yang didampingi oleh pihak Disnaker sebagai lembaga eksekutif yang memiliki otoritas atas permasalahan ketenagakerjaan. Di ruangan dialog, perwakilan dari pihak buruh Dadang Kurniawan, yang sekaligus ketua SBI, menyampaikan persoalan beserta kronologi memanasnya hubungan antara pekerja dengan pengusaha perusahaan yang memproduksi handuk dan karpet tersebut. Persoalan yang disampaikan semuanya merupakan tuntutan pemenuhan hak normatif, yakni standar upah sesuai UMK, hak cuti, hak jamsosteks, kebebasan berserikat, penghapusan sistem outsourching dan kerja kontrak serta sejumlah tuntutan lainnya.
Dalam pernyataan sikapnya, para buruh mengaku harus bekerja dari mulai pukul 07.00 WIB hingga 17.00 WIB untuk shift siang, sedangkan shift malam mulai pukul 19.30 WIB hingga 06.30 WIB, dengan upah berkisar antara Rp.100.000,-hingga 150.000,- per minggu untuk para perkerja borongan, yang disesuaikan dengan jumlah barang yang mereka hasilkan. Lebih parah, upah yang kecil itu terkadang tidak diterima secara utuh oleh para buruh karena adanya sejumlah potongan, termasuk potongan atas setiap hasil produksi yang cacat. Bentuk pemotongan itu melalui mekanisme jual paksa handuk ‘cacat’ kepada buruh seharga Rp.20.000,- per buah, padahal, harga jual pabrik ke pasar saja hanya Rp.15.000,- per buah.
Setelah melalui pendiskusian, buruh dan anggota Dewan serta Disnaker mencapai kesepakatan bahwa hari Selasa (26/1) akan ada kunjungan kembali petugas Disnaker ke pabrik, untuk memastikan kebenaran laporan buruh dan memprakarsai mediasi antara buruh dan pengusaha. (A.N)
No comments:
Post a Comment