SAVE OUR NATION (Hentikan Privatisasi atas Hajat Hidup Rakyat!)

(Pernyataan Sikap FPR Bandung terhadap Kedatangan SBY dalam Agenda “Pertemuan Parlemen Asia

Selasa, 8 Desember 2009)



Masifnya keikutsertaan pemerintah Indonesia dalam pertemuan-pertemuan internasional, seperti forum G-20, ADB, APEC, hari ini Parlemen Asia, dll, sesungguhnya tak mampu menjawab akar permasalahan rakyat Indonesia, bahkan pada hakekatnya semakin merampas penghidupan rakyat dengan kebijakan-kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat, dan sekadar menyelamatkan para investor asing, tuan-tuan tanah, kapitalis birokrasi dll, yang jelas-jelas merampok kekayaan negeri ini.

Hingga detik ini, setiap janji perubahan yang diberikan pemerintah tak lebih dari bualan semata. Kegagalan demi kegagalan yang dihadapi pemerintah mengindikasikan bahwa mereka tidak memahami dengan benar persoalan rakyat. Perkembangan terakhir, pertumbuhan eskpor barang mengalami minus hingga 13,9 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi selama setahun ini hanya bergerak pada angka 4,3 persen. Peningkatan utang pemerintah di sisi lain juga menunjukkan jumlah yang semakin besar, 16,5 persen dari RAPBN tahun 2010 akan digunakan untuk membayar angsuran bunga hutang. Angka yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan alokasi yang dianggarkan oleh pemerintah untuk dana bantuan social yang hanya sebesar 9,9 persen. Maka pada akhir tahun ini Tarif Dasar Listrik pun akan dinaikkan. Hal ini jelas menjadi jawaban atas pertanyaan, “kenapa rakyat kita miskin di tengah kekayaan alam yang melimpah?” inilah bukti bahwa pengusaan tanah oleh pemerintah dan tuan tanah klasik yang hanya berorientasi eksport bahan mentah, menyebabkan kehidupan buruh tani terbelakang dan berdampak pula pada industri dalam negeri yang hanya menjadi industri rakitan dan manufaktur yang bersandar pada infestasi asing sehingga mudah bangkrut dan menindas buruhnya dengan ketentuan outsourcing dan kerja kontrak.

Pada pertemuan APEC pada bulan November 2009 di Singapura, Indonesia turut menyepakati kesepakatan mengenai 0% bea impor, yang jelas-jelas akan menggusur industri-industri kecil milik rakyat. Hal ini tentu akan berpengaruh pada peningkatan jumlah pengangguran kerena PHK. Pada awal tahun 2009, Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, tercatat 240,000 orang buruh harus terkena PHK. Parahnya, PHK ini terjadi disektor-sektor usaha yang penting dan padat karya, seperti; tekstil dan garmen 100,000 orang, sepatu 14,000 orang, mobil dan komponen 40,000 orang, konstruksi 30,000 orang, kelapa sawit 50,000 orang dan pulp and paper 3,500 orang. Bahkan jumlah angka PHK yang dirilis oleh Kadin mencapai angka lebih dari 500,000 orang, Kadin memperkirakan angka ini akan bergerak hingga 1,6 juta pekerja sampai akhir tahun 2009. Jika pada tahun 2008 saja jumlah angka pengangguran mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39% dari total angkatan kerja, maka bisa diperkirakan angka ini akan melonjak akibat PHK masal yang terjadi tahun ini.

Bagi rakyat Indonesia, krisis yang terjadi tentu akan memberikan pukulan telak pada seluruh sendi kehidupan. khususnya kaum buruh tidak mendapatkan kepastian kerja, upah dan jaminan hidup layak yang menjadi hak dasarnya. Rapuhnya industry di Indonesia menyebabkan kebangkrutan, PHK massal, pemotongan upah serta penambahan jam kerja yang panjang bagi buruh. Krisis juga akan berdampak terhadap nasib jutaan kaum tani di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari masih dijadikannya sector agrarian dan energy sebagai penopang ekonomi andalan pemerintah. Akibatnya terjadi perampasan tanah dalam skala besar yang begitu masif dilakukan, terutama disektor perkebunan dan pertambangan besar. maka pelanggaran HAM akan rentan terjadi dan akan cenderung diabaikan karena berkaitan dengan kepentingan negara yang sudah tak berorientasi pada kesejahtraan rakyat. Sebagai bukti tindak kekerasan terhadap petani adalah yang terjadi di Rumpin, Bogor, Banyuwangi,, Tanak Awu Mataram, Takalar Sulses dan berbagai tempat lainnya. Kita pun telah memiliki catatan suram atas kasus pelangaran HAM berat seperti peristiwa G30S, kasus pelanggaran yang terjadi ketika rejim Soeharto berkuasa seperti peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, penculikan aktifis pada 1997/1998, tragedi Trisakti dan Semanggi, dll, hingga saat ini masih belum menemukan titik terang arah penyelesaiannya. Pemerintah tidak pernah mencoba upaya yang lebih keras dalam memecahkan persoalan ini.

Terkait dengan persoalan yang sedang ramai hari ini, ketika pemerintah Indonesia rela menganggarkan 6.7 trilliun uang rakyat dengan alasan untuk menyelamatkan sebuah lembaga keuangan bernama Bank Century. Sementara dana talangan/bailout Bank Century ini kemudian berkasus hingga menjadi hak angket di DPR seiring dengan adanya dugaan penyalahgunaan penggunaan dana tersebut. Kasus penyalahgunaan uang rakyat seperti ini tak hanya sekali-dua kali dilakukan kapitalis birokrasi di negeri ini—bahkan iuran haji dan zakat pun dikorup.

Jadi, persoalan korupsi di negara yang masih mempraktikkan sistem feodal dan sedang menjadi sapi perah bagi imperialis ini bukanlah semata-mata kebejatan moral birokrasi, melainkan praktik penghisapan sistem feodal dan imperialis terhadap rakyat lah yang memberikan peluang korup terhadap birokrasi di tiap lembaga pemerintahan—dari yang tertinggi hingga yang terendah, besar-kecilnya akan memanfaatkan jabatan untuk kepentingannya—melakukan KKN. Maka tak ayal jika kebebasan berorganisasi, berekspresi dan berpendapat, seperti yang dijaminkan pada UUD 1945 akan dibenturkan pada tuduhan subversive yang akan menghalalkan represifitas terhadap rakyat yang menggugat. Masalah ini dipengaruhi pula oleh lemahnya penegakan hukum terhadap kelas penguasa di negeri ini. Dan hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil saja. Seperti pada Minah warga Sidoharjo-Banyumas yang mengambil buah kakao dilahan milik PT. Rumpun Sari Antan, pun Prita yang mengeluh atas layanan kesehatan di sebuah rumah sakit. Mereka meski menjalani proses hukum yang memberatkan.

Maka tak aneh jika proses pendidikan hari ini tak mampu sedikit pun memberi penerangan atas setumpuk persoalan di negeri ini. karena pada prakteknya pendidikan nasional hari ini sekadar berorientasi mencetak tenaga kerja murah tak berskill dan tak berdaya untuk menghadapi segala persoalan rakyat bahkan menjadi pengangguran intelektual. Bahkan lebih parahnya sektor pendidikan telah menjadi lembaga korporasi, dampak dari kebijakan UU BHP No 09 tahun 2009.

Oleh karena itu SBY-Boediono harus bertanggung jawab atas segala bentuk privatisasi hajat hidup rakyat Indonesia. Secara konstitusional, mandat tersebut berada di tangan mereka—meski hanyalah “boneka” yang begitu patuh terhadap tuan imperialis yang bersedia memberikan apapun yang diminta oleh sang majikan, bahkan dengan menjual sumber daya alam maupun rakyatnya sekalipun—sehingga tidak ada alasan apapun bagi mereka untuk tidak menjalankan amanat tersebut.

Sesungguhnya, kemenangan besar dari gerakan kampanye untuk menghentikan segala bentuk privatisasi hajat hidup rakyat Indonesia terletak pada kesanggupan massa rakyat untuk bangkit, berhimpun dan berlawan sebagai jawaban utama rakyat atas krisis dan kesengsaraan yang selama ini ditaburkan dengan semena-mena oleh pemerintah, rejim anti rakyat SBY-Boediono.

Demi menyelamatkan negeri ini, kami menuntut pemerintahan SBY-Boediono untuk;

1. Cabut UU PMA
2. Batalkan rencana kenaikan TDL
3. Hentikan perampasan tanah rakyat
4. Berikan jaminan lapangan pekerjaan
5. Naikkan upah buruh
6. Jalankan Reformasi Hukum
7. Bersihkan Lembaga Negara dari Birokrasi anti-rakyat
8. Cabut UU BHP
9. Hentikan segala bentuk komersialisasi pendidikan
10. Hentikan segala bentuk pelanggaran HAM
11. Berikan jaminan kebebasan berorganisasi, berekspresi dan berpendapat
12. Hentikan eksploitasi lingkungan
13. Tolak segala bentu kebijakan internasional yang anti-rakyat.


Bandung, 8 Desember 2009

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)
:Elsak UIN, Hima satrasia UPI, ASAS, UPI, AMU Unikom, BEM Fikom Unisba, Kumala,FAMU, HMR, GMNI, FMN


Share:

No comments: