
Oleh Andi Nurroni
Koord. BPR FMN UPI
Belakangan, istilah industri kreatif semakin akrab ditelinga publik tanah air, terutama di kalangan cendekia perkotaan. Istilah industri kreatif pertama kali digunakan Partai Buruh Australia pada tahun 1997, yang secara sederhana merujuk pada suatu konsep ekonomi yang menitikberatkan pada kekuatan ide serta kreativitas dalam menciptakan komoditas. Konsep ini acap digadang-gadang sebagai suatu politik ekonomi alternatif di tengah stagnasi pembangunan yang berlandaskan pada industri padat modal. Benarkah demikian?
Di Indonesia, praktik industri kreatif mengalami eskalasi pascakrisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Salah satu titik yang banyak memunculkan usaha jenis ini adalah kota Bandung. Sebagai suatu hukum, kondisi sosial-ekonomi di kota Bandung saat itu telah merangsang masyarakat, kususnya kaum muda—yang memang memiliki sejarah panjang dalam persoalan kreativitas—untuk menemukan ide-ide solutif guna mengakhiri kebuntuan kondisi yang tengah mereka hadapi. Sebagai hasil, dari tangan cekatan kaum muda lahir dan berkembanglah unit-unit usaha di bidang fashion (Distro/distribution order, clothing), musik (indie lable/independent recording lable) dan usaha-usaha lainnya yang digerakan kreativitas kaum muda. Di samping dua bidang tersebut, sektor lainnya yang dikategorikan industri kreatif adalah arsitektur, periklanan, barang seni (lukisan, patung), kerajinan, disain, permainan interaktif, seni pertunjukan, penerbitan-percetakan, layanan komputer dan piranti lunak (software), radio dan televisi, riset dan pengembangan, serta film-video-fotografi.
Secara umum, ada sejumlah motivasi yang melatar-belakangi hadir dan berkembangnya industri kreatif di tanah air maupun di dunia. Di antara sekian ragam motivasi tersebut, dapat kita temukan di antara mereka yang memaknai usaha produksinya sebagai metode perjuangan dan perlawanan—yang memang identik dengan semangat anak muda. Perjuangan serta perlawanan ini juga sejatinya tidaklah homogen, melainkan terfragmentasi lagi ke dalam sejumlah sub berdasarkan atas ideologi—maupun gaya hidup—yang menjadi semangat masing-masing kelompok. Kita mengenal sejumlah ideologi yang banyak diadopsi anak muda sekarang, semisal punk, skinhead, raggae, extrim-sport maupun yang lebih berbau politik, misalnya mereka yang sering disebut “kaum kiri”.
Kelompok-kelompok ini membangun industri kreatifnya tidak semata mempertimbangkan aspek peluang bisnis ataupun keuntungan, melainkan nilai-nilai kolektivitas, propaganda, serta perlawanan dan perjuangan. Relita sosial yang sarat dengan permaslahan telah memantik mereka untuk mempersatukan diri dan berjuang untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik menurut kacamata mereka.
Dalam sudut pandang kaum kiri, permasalahan manusia yang paling mendasar adalah ketimpangan sosial akibat tidak adanya keadilan dalam kepemilikan alat produksi. Hari ini segelintir manusia telah merupa dewa-dewa yang menguasai hajat hidup dan menentukan nasib mayoritas manusia. Inilah yang menjadi biang dari tidak pernah tuntasnya perkara kebodohan dan kemiskinan di dunia. Lebih jauh, tesis ini tercermin dengan jelas dalam relasi prosuksi di dalam ruang industrial. Para pekerja, sepanjang sejarahnya selalau terpetakan sebagai pihak yang dirugikan, sementara sang pemodal niscaya meraup keuntungan beratus, bahkan berjuta kali lipat dari profit produksi.
Industri kreatif, terutama di bidang fashion, musik, dan penerbitan dijadikan kelompok ini sebagai media perjuangan sekaligus juga pendukung perjuangan dari segi finansial. Atas dasar itulah, tak jarang kita menemukan kaos-kasos dengan gambar maupun tulisan yang mempertanyakan setiap kejanggalan dalam realitas keseharian yang mereka hadapi. Di Amerika Serikat, dalam sejarahnya hadir kelompok musik Raggae Against the Machine (RATM) yang lirik-lirik lagunya pedas mengkritik pemerintah, bahkan lebih dari itu, eksistensi mereka kerap dikaitkan dengan kelompok petani bersenjata yang memperjuangkan hak atas tanah di Meksisko, Zapatista. Sementara di Jakarta kita mengenal komunitas punk Taring Padi dan Marjinal yang banyak memproduksi kaos-kaos satir serta lagu-lagu yang lirik-liriknya bermuatan nilai-nilai kemanusiaan dan perlawanan. Di bidang penerbitan dan toko buku muncul kemudian label-label baru seperti Resist Book dan Insist Press di Jogja, Ultimus di Bandung, dan masih banyak yang lainnya.
Namun demikian, kelompok anak muda yang menjadikan industri kreatifnya sebagai metode perjuangan sangat terbatas jumlahnya, sementara yang sebagian besar mamaknai industri kreatif tak lebih dari gerbang awal memasuki dunia bisnis. Dalam merintis karirnya, bukanlah hal yang tabu bagi kalangan mayoritas ini untuk mempraktikan teori-teori bisnis kapitalisme. Kalau sudah begini, industri kreatif yang digerakan anak muda tidak lebih dari bibit-bibit industri kapitalis yang, kalau beruntung, kemudian akan masuk ke medan persaingan tahap lanjutan, dan akan terus bersaing untuk menjadi yang terkuat dan melakukan praktik monopoli. Kalau suda begini, praktik produksi yang merugikan pekerja pun tidak bisa dihindari.
Hari ini arus utama industri kreatif telah masuk dalam labirin kapitalisme. Wacana industri kreatif telah diambil alih dan terus diproduksi oleh kapitalis untuk menggerakan pemuda yang enerjik dan sarat kreativitas guna menjadi agen-agen kaum pemodal supaya dominasi dan hegemoninya atas dunia tetap terkukuhkan. Kekinian, industri kreatif yang digerakan pemuda sebagai jawaban atas ketiadaan lapangan kerja—akibat kegagalan pemerintah yang pro-kapitalis—dan sejatinya berpotensi kuat menjadi media perjuangan dalam menuntut keadilan sosial telah didorong guna menjadi semacam cairan infus untuk memulihkan kondisi kapitalisme yang tengah sakit dilanda krisis global.
Krisis dan Industri Kreatif
Krisis sejatinya merupakan anak kandung dari kapitalisme. Sepanjang sejarahnya, prinsip ekonomi yang tidak berkeadilan yang dibangun kapitalis telah sekian kali membawa umat manusia ke jurang krisis. Sebagai contoh adalah krisis global yang hari ini melanda dunia, yang konon disebut-sebut para ahli sebagai krisis terparah sejak krisis hebat yang terjadi tahun 1930. Krisis kali ini berpusat langsung di jantung kapitalis dunia, yaitu Amerika. Yang menjadi lantaran adalah kredit macet di sektor perumahan kelas dua (subprime mortgage) yang diperparah oleh kekacauan pasar modal akibat spekulasi para pialang.
Hakikat dari krisis ini adalah terjadinya kelebihan produksi akibat radikalisasi industri dan meningkatnya kualitas pertentangan sesama kapitalis. Ketidak-beradayaan pasar dalam menyerap komoditas kapitalis yang disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat—yang juga lantaran penghisapan kapitalis—telah menciptakan kondisi di mana modal tidak bergulir menjadi keuntungan karena tertahan dalam bentuk barang. Kedudukan Amerika sebagai pusat perputaran uang dunia kemudian secepat kilat menyebarluaskan krisis yang terjadi di dalam negerinya ke seluruh dunia, tak terkecuali ke Indonesia. Baik di Amerika maupun di belahan bumi lainnya, unit-unit usaha terguncang dan sejumlah langkah antisipatif mereka ambil guna menghindarkan mereka dari kebangkrutan. Namun demikian, kebangkrutan tidak bisa dihindari, dan bahkan melanda perusahaan-perusahaan raksasa dunia seperti Lehman Brothers, AIG, dan General Motors. Melonjaknya angka pengangguran di dunia pun tidak bisa dihindari.
Kondisi ini telah membuat rakyat di seluruh dunia semakin sengsara sehingga lebih sensitif dan bisa dengan sangat mudah untuk mengekspresikan kesusahannya dengan jalan demonstrasi. Pemerintah dan kapitalislah yang banyak dipersalahkan dalam maraknya kasus PHK, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, dan yang lainnya.
Menghadapi kondisi krisis, kaum muda yang identik dengan energi yang berlebih dan tingkat kelabilan yang lebih tinggi jelas merupakan ancaman terhadap kapitalis. Setelah serangan di sektor budaya dilakukan kapitalis sejak lama melalui media informasi, hari ini potensi perlawanan pemuda dalam usah produksi kreatif telah diredam melalaui propaganda industri kretif a la kapitalis, dan kemudian menjadikan pemuda sebagai agen-agen untuk menjalankan roda ekonominya. Dengan propaganda industri kreatif yang sarat dengan nilai-nilai kapitalisme, pemuda di jauhkan dari nilai-nilai perjuangan dan perlawanan dalam industri kreatifnya kreatifnya.
Yang jadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana nasib rakyat yang tertidas, saat gerakan pemuda yang dalam sejarahnya selalau menjadi pemantik dan pendorong perubahan sosial, hari ini justru terjebak dalam labirin yang dibangun musuh, bahkan lebih jauh menjadi tentara musuh? Jika tidak ingin kondisi bangsa lebih buruk, pemuda harus berjuang mengeluarkan industri kreatifnya dari labirin musuh tersebut dan mendudukannya kembali sebagai alat perjuangan dan perlawanan.
Belakangan, istilah industri kreatif semakin akrab ditelinga publik tanah air, terutama di kalangan cendekia perkotaan. Istilah industri kreatif pertama kali digunakan Partai Buruh Australia pada tahun 1997, yang secara sederhana merujuk pada suatu konsep ekonomi yang menitikberatkan pada kekuatan ide serta kreativitas dalam menciptakan komoditas. Konsep ini acap digadang-gadang sebagai suatu politik ekonomi alternatif di tengah stagnasi pembangunan yang berlandaskan pada industri padat modal. Benarkah demikian?
Di Indonesia, praktik industri kreatif mengalami eskalasi pascakrisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Salah satu titik yang banyak memunculkan usaha jenis ini adalah kota Bandung. Sebagai suatu hukum, kondisi sosial-ekonomi di kota Bandung saat itu telah merangsang masyarakat, kususnya kaum muda—yang memang memiliki sejarah panjang dalam persoalan kreativitas—untuk menemukan ide-ide solutif guna mengakhiri kebuntuan kondisi yang tengah mereka hadapi. Sebagai hasil, dari tangan cekatan kaum muda lahir dan berkembanglah unit-unit usaha di bidang fashion (Distro/distribution order, clothing), musik (indie lable/independent recording lable) dan usaha-usaha lainnya yang digerakan kreativitas kaum muda. Di samping dua bidang tersebut, sektor lainnya yang dikategorikan industri kreatif adalah arsitektur, periklanan, barang seni (lukisan, patung), kerajinan, disain, permainan interaktif, seni pertunjukan, penerbitan-percetakan, layanan komputer dan piranti lunak (software), radio dan televisi, riset dan pengembangan, serta film-video-fotografi.
Secara umum, ada sejumlah motivasi yang melatar-belakangi hadir dan berkembangnya industri kreatif di tanah air maupun di dunia. Di antara sekian ragam motivasi tersebut, dapat kita temukan di antara mereka yang memaknai usaha produksinya sebagai metode perjuangan dan perlawanan—yang memang identik dengan semangat anak muda. Perjuangan serta perlawanan ini juga sejatinya tidaklah homogen, melainkan terfragmentasi lagi ke dalam sejumlah sub berdasarkan atas ideologi—maupun gaya hidup—yang menjadi semangat masing-masing kelompok. Kita mengenal sejumlah ideologi yang banyak diadopsi anak muda sekarang, semisal punk, skinhead, raggae, extrim-sport maupun yang lebih berbau politik, misalnya mereka yang sering disebut “kaum kiri”.
Kelompok-kelompok ini membangun industri kreatifnya tidak semata mempertimbangkan aspek peluang bisnis ataupun keuntungan, melainkan nilai-nilai kolektivitas, propaganda, serta perlawanan dan perjuangan. Relita sosial yang sarat dengan permaslahan telah memantik mereka untuk mempersatukan diri dan berjuang untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik menurut kacamata mereka.
Dalam sudut pandang kaum kiri, permasalahan manusia yang paling mendasar adalah ketimpangan sosial akibat tidak adanya keadilan dalam kepemilikan alat produksi. Hari ini segelintir manusia telah merupa dewa-dewa yang menguasai hajat hidup dan menentukan nasib mayoritas manusia. Inilah yang menjadi biang dari tidak pernah tuntasnya perkara kebodohan dan kemiskinan di dunia. Lebih jauh, tesis ini tercermin dengan jelas dalam relasi prosuksi di dalam ruang industrial. Para pekerja, sepanjang sejarahnya selalau terpetakan sebagai pihak yang dirugikan, sementara sang pemodal niscaya meraup keuntungan beratus, bahkan berjuta kali lipat dari profit produksi.
Industri kreatif, terutama di bidang fashion, musik, dan penerbitan dijadikan kelompok ini sebagai media perjuangan sekaligus juga pendukung perjuangan dari segi finansial. Atas dasar itulah, tak jarang kita menemukan kaos-kasos dengan gambar maupun tulisan yang mempertanyakan setiap kejanggalan dalam realitas keseharian yang mereka hadapi. Di Amerika Serikat, dalam sejarahnya hadir kelompok musik Raggae Against the Machine (RATM) yang lirik-lirik lagunya pedas mengkritik pemerintah, bahkan lebih dari itu, eksistensi mereka kerap dikaitkan dengan kelompok petani bersenjata yang memperjuangkan hak atas tanah di Meksisko, Zapatista. Sementara di Jakarta kita mengenal komunitas punk Taring Padi dan Marjinal yang banyak memproduksi kaos-kaos satir serta lagu-lagu yang lirik-liriknya bermuatan nilai-nilai kemanusiaan dan perlawanan. Di bidang penerbitan dan toko buku muncul kemudian label-label baru seperti Resist Book dan Insist Press di Jogja, Ultimus di Bandung, dan masih banyak yang lainnya.
Namun demikian, kelompok anak muda yang menjadikan industri kreatifnya sebagai metode perjuangan sangat terbatas jumlahnya, sementara yang sebagian besar mamaknai industri kreatif tak lebih dari gerbang awal memasuki dunia bisnis. Dalam merintis karirnya, bukanlah hal yang tabu bagi kalangan mayoritas ini untuk mempraktikan teori-teori bisnis kapitalisme. Kalau sudah begini, industri kreatif yang digerakan anak muda tidak lebih dari bibit-bibit industri kapitalis yang, kalau beruntung, kemudian akan masuk ke medan persaingan tahap lanjutan, dan akan terus bersaing untuk menjadi yang terkuat dan melakukan praktik monopoli. Kalau suda begini, praktik produksi yang merugikan pekerja pun tidak bisa dihindari.
Hari ini arus utama industri kreatif telah masuk dalam labirin kapitalisme. Wacana industri kreatif telah diambil alih dan terus diproduksi oleh kapitalis untuk menggerakan pemuda yang enerjik dan sarat kreativitas guna menjadi agen-agen kaum pemodal supaya dominasi dan hegemoninya atas dunia tetap terkukuhkan. Kekinian, industri kreatif yang digerakan pemuda sebagai jawaban atas ketiadaan lapangan kerja—akibat kegagalan pemerintah yang pro-kapitalis—dan sejatinya berpotensi kuat menjadi media perjuangan dalam menuntut keadilan sosial telah didorong guna menjadi semacam cairan infus untuk memulihkan kondisi kapitalisme yang tengah sakit dilanda krisis global.
Krisis dan Industri Kreatif
Krisis sejatinya merupakan anak kandung dari kapitalisme. Sepanjang sejarahnya, prinsip ekonomi yang tidak berkeadilan yang dibangun kapitalis telah sekian kali membawa umat manusia ke jurang krisis. Sebagai contoh adalah krisis global yang hari ini melanda dunia, yang konon disebut-sebut para ahli sebagai krisis terparah sejak krisis hebat yang terjadi tahun 1930. Krisis kali ini berpusat langsung di jantung kapitalis dunia, yaitu Amerika. Yang menjadi lantaran adalah kredit macet di sektor perumahan kelas dua (subprime mortgage) yang diperparah oleh kekacauan pasar modal akibat spekulasi para pialang.
Hakikat dari krisis ini adalah terjadinya kelebihan produksi akibat radikalisasi industri dan meningkatnya kualitas pertentangan sesama kapitalis. Ketidak-beradayaan pasar dalam menyerap komoditas kapitalis yang disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat—yang juga lantaran penghisapan kapitalis—telah menciptakan kondisi di mana modal tidak bergulir menjadi keuntungan karena tertahan dalam bentuk barang. Kedudukan Amerika sebagai pusat perputaran uang dunia kemudian secepat kilat menyebarluaskan krisis yang terjadi di dalam negerinya ke seluruh dunia, tak terkecuali ke Indonesia. Baik di Amerika maupun di belahan bumi lainnya, unit-unit usaha terguncang dan sejumlah langkah antisipatif mereka ambil guna menghindarkan mereka dari kebangkrutan. Namun demikian, kebangkrutan tidak bisa dihindari, dan bahkan melanda perusahaan-perusahaan raksasa dunia seperti Lehman Brothers, AIG, dan General Motors. Melonjaknya angka pengangguran di dunia pun tidak bisa dihindari.
Kondisi ini telah membuat rakyat di seluruh dunia semakin sengsara sehingga lebih sensitif dan bisa dengan sangat mudah untuk mengekspresikan kesusahannya dengan jalan demonstrasi. Pemerintah dan kapitalislah yang banyak dipersalahkan dalam maraknya kasus PHK, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, dan yang lainnya.
Menghadapi kondisi krisis, kaum muda yang identik dengan energi yang berlebih dan tingkat kelabilan yang lebih tinggi jelas merupakan ancaman terhadap kapitalis. Setelah serangan di sektor budaya dilakukan kapitalis sejak lama melalui media informasi, hari ini potensi perlawanan pemuda dalam usah produksi kreatif telah diredam melalaui propaganda industri kretif a la kapitalis, dan kemudian menjadikan pemuda sebagai agen-agen untuk menjalankan roda ekonominya. Dengan propaganda industri kreatif yang sarat dengan nilai-nilai kapitalisme, pemuda di jauhkan dari nilai-nilai perjuangan dan perlawanan dalam industri kreatifnya kreatifnya.
Yang jadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana nasib rakyat yang tertidas, saat gerakan pemuda yang dalam sejarahnya selalau menjadi pemantik dan pendorong perubahan sosial, hari ini justru terjebak dalam labirin yang dibangun musuh, bahkan lebih jauh menjadi tentara musuh? Jika tidak ingin kondisi bangsa lebih buruk, pemuda harus berjuang mengeluarkan industri kreatifnya dari labirin musuh tersebut dan mendudukannya kembali sebagai alat perjuangan dan perlawanan.
No comments:
Post a Comment