Ketimpangan ekonomi telah membuat jurang sosial di negeri ini semakin menganga. Alhasil, permasalahan multidimensi yang dihadapi ibarat benang kusut yang seolah mustahil diurai. Di tengah kegamangan dalam mencari pangkal benang, bangsa kita sering kali kurang tepat, bahkan keliru dalam mengambil contoh dari negeri lain.
Sebagai gambaran, kita selalu terpesona keberhasilan negeri-negeri Barat, dan sering meniru jalan yang mereka tempuh dengan harapan bisa meraih keberhasilan yang sama. Namun, bukannya sukses yang diraih, benang kusut malah semakin semrawut, karena kita tergesa-gesa dan gegabah dalam memetik pelajaran dari bangsa lain. Kita meniru tanpa melalui fase kontemplasi yang mendalam untuk merenungkan perbedaan antara kita dan Barat, serta memilah dan menentukan mana yang tepat dicontoh dan mana yang tidak dari mereka.
Dalam banyak hal, tak tanggung-tanggung Indonesia sering menjadikan Amerika (Serikat) sebagai guru. Hal ini wajar, mengingat negeri multietnis tersebut paling makmur secara ekonomi dan kuat secara politik, walau kini ia tengah didera krisis hebat. Salah satu hal yang kita tiru, dan sering menjadi sumber ketegangan di negeri ini adalah praktik liberalisasi.
Terkait dengan liberalisasi, dalam beberapa minggu terakhir, publik kita, terutama kalangan cendekia, terbelah menjadi pihak yang pro dan kontra menanggapi diundangkannya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP dikaitkan dengan liberalisasi karena beberapa pasal di dalamnya sarat dengan upaya menjadikan pendidikan sebagai jasa yang bebas dipersaingkan, serta negara secara "paksa" mendistribusikan wewenang serta tanggung jawab penyelenggaraannya, termasuk pendanaan, kepada masyarakat dan sektor swasta. Hal ini dianggap bertentangan dengan semangat yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2, yang menjabarkan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mencerdaskan bangsa, dan negara/pemerintah berkewajban tanpa syarat untuk menyelenggarakannya.
Banyak yang menilai UU BHP merupakan konsep yang diadopsi dari negara maju, terutama AS. Dengan UU BHP, institusi pendidikan dari jenjang dasar hingga tinggi didorong menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, termasuk dalam urusan pendanaan, agar alokasi dana pemerintah yang sebelumnya untuk sektor pendidikan bisa dialihkan untuk memperkuat sektor lain. Hal yang paling dicemaskan masyarakat ialah akan hilangnya jaminan negara terhadap hak pendidikan warganya.
Faktanya, praktik liberalisasi memang sukses menghantarkan banyak universitas di AS menempati kedudukan teratas di antara universitas-universitas di dunia. Akan tetapi, apakah dengan liberalisasi, pendidikan di tanah air akan mampu beranjak dari keterpurukan? Namun sebelum berspekulasi, idealnya kita mengkaji secara mendalam, dengan semua pihak yang terlibat mengedepankan kerendahan hati dan kejujuran, serta memegang komitmen bahwa pendidikan tiada lain alat menyelesaikan permasalahan bangsa.
Jadi, dalam merancang pendidikan, hal pertama yang perlu kita lakukan ialah mengenalkan bangsa pada pemasalahannya, kemudian menunjukkan jalan bagaimana cara mengatasinya. Dengan ini, pendidikan diarahkan untuk mengenalkan potensi yang dimiliki bangsa, serta menjawab permasalahan yang dihadapi bangsa.
Selama ini, tidak diragukan lagi bahwa AS banyak dijadikan inspirasi para pemikir pendidikan kita. Akan tetapi, apakah tepat kita meniru AS, yang notabene merupakan negara yang tingkat kecerdasan masyarakatnya relatif tinggi, begitupun tingkat kesejahteraannya, sehingga jurang antarkelas sosial menjadi relatif sempit? Dengan modal yang dimilikinya, walaupun negara tidak lagi turut campur dalam sektor pendidikan, masyarakatnya akan mampu mengelola pendidikan dan sanggup bersaing dalam mendapatkan pendidikan.
Sementara di negeri ini, di mana kemiskinan dianggap sebagai identitas sosial, konsep liberalisasi pendidikan tentu tidak tepat. Selain itu, inkonstitusional, sebagian besar rakyat tentu akan berada dalam ketidakmenentuan nasib dalam mengakses pendidikan, karena terancam tidak mampu bersaing. Alhasil, sangat mungkin bukan perbaikan yang kita raih, tapi malah menjadikan bangsa ini semakin tersisih dalam persaingan global yang ber-"hukum-rimba". Berdasarkan hal itu, tidak cukup alasan bagi negara/pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya.
Kalaupun harus mencari cerminan, mari kita cari negara yang lebih mungkin dijadikan contoh. Salah satunya Kuba. Semenjak mendapat embargo ekonomi dari tetangganya, AS, pada 1961, negeri ini praktis semakin terkukuhkan dalam daftar negara dunia ketiga. Ini diperparah dengan karakteristik alamnya yang miskin. Menyadari ini, pemerintah Kuba sadar diri harus membangun kualitas sumber daya manusianya agar bisa bertahan. Maka, mulailah dirancang "sistem pendidikan yang menyelesaikan persoalan".
Hasilnya, berdasarkan laporan indeks pembangunan manusia (HDI) yang diterbitkan PBB, Kuba berada pada urutan ke-51, dengan HDI 0,826. Sebagai perbandingan, Indonesia di posisi ke-107 dengan HDI 0,782. Angka melek aksara di Kuba mencapai 98,8 persen. Di bidang kesehatan, jumlah dokter per kapita Kuba paling tinggi di dunia. Tercatat sekitar 130.000 tenaga medis profesional, 25.845 di antaranya bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara. Deskripsi itu belum merangkum prestasi lain. Segenap prestasi ini jelas merupakan hadiah dari keseriusan negara dan warganya dalam menjaga komitmen pendidikan.
Dengan gambaran mengenai Kuba, bukan berarti kita harus meniru bulat-bulat. Hal yang harus digarisbawahi adalah semangat mengenali permasalahan bangsa sendiri, dan memetakan ke mana kita melajukan pendidikan kita. Selepas itu, baru kita becermin dari negeri lain, dengan cerdas memilah mana yang cocok dan mana yang tidak. Dalam hal pendidikan, Kuba bisa menjadi alternatif untuk dijadikan referensi. ***
Sebagai gambaran, kita selalu terpesona keberhasilan negeri-negeri Barat, dan sering meniru jalan yang mereka tempuh dengan harapan bisa meraih keberhasilan yang sama. Namun, bukannya sukses yang diraih, benang kusut malah semakin semrawut, karena kita tergesa-gesa dan gegabah dalam memetik pelajaran dari bangsa lain. Kita meniru tanpa melalui fase kontemplasi yang mendalam untuk merenungkan perbedaan antara kita dan Barat, serta memilah dan menentukan mana yang tepat dicontoh dan mana yang tidak dari mereka.
Dalam banyak hal, tak tanggung-tanggung Indonesia sering menjadikan Amerika (Serikat) sebagai guru. Hal ini wajar, mengingat negeri multietnis tersebut paling makmur secara ekonomi dan kuat secara politik, walau kini ia tengah didera krisis hebat. Salah satu hal yang kita tiru, dan sering menjadi sumber ketegangan di negeri ini adalah praktik liberalisasi.
Terkait dengan liberalisasi, dalam beberapa minggu terakhir, publik kita, terutama kalangan cendekia, terbelah menjadi pihak yang pro dan kontra menanggapi diundangkannya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). BHP dikaitkan dengan liberalisasi karena beberapa pasal di dalamnya sarat dengan upaya menjadikan pendidikan sebagai jasa yang bebas dipersaingkan, serta negara secara "paksa" mendistribusikan wewenang serta tanggung jawab penyelenggaraannya, termasuk pendanaan, kepada masyarakat dan sektor swasta. Hal ini dianggap bertentangan dengan semangat yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2, yang menjabarkan bahwa pendidikan merupakan alat untuk mencerdaskan bangsa, dan negara/pemerintah berkewajban tanpa syarat untuk menyelenggarakannya.
Banyak yang menilai UU BHP merupakan konsep yang diadopsi dari negara maju, terutama AS. Dengan UU BHP, institusi pendidikan dari jenjang dasar hingga tinggi didorong menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, termasuk dalam urusan pendanaan, agar alokasi dana pemerintah yang sebelumnya untuk sektor pendidikan bisa dialihkan untuk memperkuat sektor lain. Hal yang paling dicemaskan masyarakat ialah akan hilangnya jaminan negara terhadap hak pendidikan warganya.
Faktanya, praktik liberalisasi memang sukses menghantarkan banyak universitas di AS menempati kedudukan teratas di antara universitas-universitas di dunia. Akan tetapi, apakah dengan liberalisasi, pendidikan di tanah air akan mampu beranjak dari keterpurukan? Namun sebelum berspekulasi, idealnya kita mengkaji secara mendalam, dengan semua pihak yang terlibat mengedepankan kerendahan hati dan kejujuran, serta memegang komitmen bahwa pendidikan tiada lain alat menyelesaikan permasalahan bangsa.
Jadi, dalam merancang pendidikan, hal pertama yang perlu kita lakukan ialah mengenalkan bangsa pada pemasalahannya, kemudian menunjukkan jalan bagaimana cara mengatasinya. Dengan ini, pendidikan diarahkan untuk mengenalkan potensi yang dimiliki bangsa, serta menjawab permasalahan yang dihadapi bangsa.
Selama ini, tidak diragukan lagi bahwa AS banyak dijadikan inspirasi para pemikir pendidikan kita. Akan tetapi, apakah tepat kita meniru AS, yang notabene merupakan negara yang tingkat kecerdasan masyarakatnya relatif tinggi, begitupun tingkat kesejahteraannya, sehingga jurang antarkelas sosial menjadi relatif sempit? Dengan modal yang dimilikinya, walaupun negara tidak lagi turut campur dalam sektor pendidikan, masyarakatnya akan mampu mengelola pendidikan dan sanggup bersaing dalam mendapatkan pendidikan.
Sementara di negeri ini, di mana kemiskinan dianggap sebagai identitas sosial, konsep liberalisasi pendidikan tentu tidak tepat. Selain itu, inkonstitusional, sebagian besar rakyat tentu akan berada dalam ketidakmenentuan nasib dalam mengakses pendidikan, karena terancam tidak mampu bersaing. Alhasil, sangat mungkin bukan perbaikan yang kita raih, tapi malah menjadikan bangsa ini semakin tersisih dalam persaingan global yang ber-"hukum-rimba". Berdasarkan hal itu, tidak cukup alasan bagi negara/pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya.
Kalaupun harus mencari cerminan, mari kita cari negara yang lebih mungkin dijadikan contoh. Salah satunya Kuba. Semenjak mendapat embargo ekonomi dari tetangganya, AS, pada 1961, negeri ini praktis semakin terkukuhkan dalam daftar negara dunia ketiga. Ini diperparah dengan karakteristik alamnya yang miskin. Menyadari ini, pemerintah Kuba sadar diri harus membangun kualitas sumber daya manusianya agar bisa bertahan. Maka, mulailah dirancang "sistem pendidikan yang menyelesaikan persoalan".
Hasilnya, berdasarkan laporan indeks pembangunan manusia (HDI) yang diterbitkan PBB, Kuba berada pada urutan ke-51, dengan HDI 0,826. Sebagai perbandingan, Indonesia di posisi ke-107 dengan HDI 0,782. Angka melek aksara di Kuba mencapai 98,8 persen. Di bidang kesehatan, jumlah dokter per kapita Kuba paling tinggi di dunia. Tercatat sekitar 130.000 tenaga medis profesional, 25.845 di antaranya bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara. Deskripsi itu belum merangkum prestasi lain. Segenap prestasi ini jelas merupakan hadiah dari keseriusan negara dan warganya dalam menjaga komitmen pendidikan.
Dengan gambaran mengenai Kuba, bukan berarti kita harus meniru bulat-bulat. Hal yang harus digarisbawahi adalah semangat mengenali permasalahan bangsa sendiri, dan memetakan ke mana kita melajukan pendidikan kita. Selepas itu, baru kita becermin dari negeri lain, dengan cerdas memilah mana yang cocok dan mana yang tidak. Dalam hal pendidikan, Kuba bisa menjadi alternatif untuk dijadikan referensi. ***
No comments:
Post a Comment