Dewasa ini banyak orang tua dari generasi lama yang tercenung melihat dinamika perpolitikan kontemporer. Decak keluh mereka acap muncul saat mengomparasi kehidupan perpolitikan di zaman mereka dan masa kini. Yang tertanam di benak mereka, dulu partai politik (parpol) bukan sekadar identitas suatu golongan masyarakat yang mendadak booming menjelang pemilu. Akan tetapi, benar-benar menjadi alat perjuangan rakyat untuk memperbaiki tatanan kehidupannya.
Citra parpol sebagai alat perjuangan tecermin di hampir setiap parpol bermazhab apa pun, agamis, nasionalis, komunis, dan yang lainnya. Setiap saat mereka (baca: parpol dulu) terus mengupayakan pencerdasan bagi massanya, merumuskan cita-cita dan mendiskusikan bagaimana mewujudkannya, serta mempraktikan ideologi yang mereka percayai sebagai jalan terbaik pembebasan rakyat. Pemandangan forum-forum diskusi ilmiah di kalangan rakyat jelata di perdesaan, ataupun distribusi bahan-bahan bacaan kritis dari kota ke basis-basis massa di perkampungan, bukanlah hal yang aneh. Maka, tidak heran jika rakyat begitu bangga dan fanatik terhadap parpol yang mereka miliki.
Sementara sekarang, parpol tidak lebih dari merek politik yang heboh menjelang musim politik elektoral. Makna parpol sebagai alat perjuangan semakin luntur. Parpol lebih identik dengan citra buruknya sebagai alat penguasa mewujudkan kehendak individu atau golongannya. Parpol lebih terkenal dengan citra gelapnya sebagai batu loncatan kalangan yang ingin menjadi pejabat. Lebih parahnya, parpol-parpol hari ini tidak melakukan upaya pencerdasan, namun justru melakukan pembodohan terstruktur terhadap rakyat. Itu bisa kita buktikan dengan mengamati realitas praktik parpol di sekitar kita.
Tidak penting bagi mereka (parpol-parpol kini), rakyat paham akan persoalan mendasar bangsa Indonesia. Bahwa kita masih belum merdeka seutuhnya. Bahwa kita masih dijajah oleh hegemoni sistem yang tidak berpihak terhadap rakyat. Rakyat tidak dijelaskan bagaimana yang seharusnya. Apakah sudah sewajarnya kita miskin dan bodoh? Rakyat tidak diberi tahu bagaimana cara mengubah kemiskinan dan kebodohan yang seolah menjadi derita sepanjang masa. Rakyat tidak diperkenalkan pada hak dan kewajiban mereka sebagai manusia dan warga negara.
Untuk menarik minat rakyat, mereka membagi-bagikan kaus, gantungan kunci, payung, dan pernak-pernik lainnya. Dalam upaya memenangi eleksi, mereka banyak memanipulasi kartu pemilih serta statistik suara, membeli suara, hingga mengerahkan massa bayaran untuk menyerang lawan politiknya. Sementara di parlemen, para pejabat yang lahir dari parpol sibuk berebut "kursi", lobi kanan-kiri, suap sana-sini, serta mencari lahan basah untuk mengembalikan modal kampanye yang mereka keluarkan sebelumnya.
Pendidikan Politik.
Pendidikan politik adalah usaha sadar dan tersistematis untuk membuat manusia/warga negara paham akan hak dan kewajibannya sebagai manusia/warga negara. Misalnya hak untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan gratis berkualitas, pelayanan kesehatan berkualitas, pekerjaan layak, memilih dan dipilih, serta masih banyak yang lainnya. Jika dikaitkan dengan parpol, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan parpol tersebut kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia/warga negara.
Semakin liarnya prikehidupan manusia Indonesia hari ini, salah satunya diakibatkan oleh lemahnya pemahaman politik bangsa, disebabkan minimnya pendidikan politik yang didapat. Padahal, pemahaman politik yang tepat sangat diperlukan bangsa ini untuk menjawab segudang persoalan yang sedang dihadapi.
Dari rekaman perjalanan bangsa, tergambar bahwa parpol sempat menorehkan prestasinya dalam upaya pencerdasan bangsa lewat pendidikan politik yang ia berikan. Dengan demikian, pada akhirnya tidak ada yang akan memungkiri bahwa parpol punya andil besar dalam mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan dan menjaga kemerdekaan untuk generasi penerus bangsa.
Lantas pertanyaannya, mungkinkah hari ini parpol yang sejati, yang benar-benar bisa mencerdaskan bangsa lewat pendidikan politik, yang menjadi alat perjuangan rakyat, bisa kembali kita miliki? Jika kita tidak yakin para pemimpin parpol—yang sedang berebut "lahan basah"—akan lekas insaf, kita harus berjuang secara mandiri (tanpa parpol) untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Itu bisa kita mulai dari lingkup keluarga, hingga perjuangan menuntut kebijakan yang berpihak kepada rakyat di jalanan.***
Citra parpol sebagai alat perjuangan tecermin di hampir setiap parpol bermazhab apa pun, agamis, nasionalis, komunis, dan yang lainnya. Setiap saat mereka (baca: parpol dulu) terus mengupayakan pencerdasan bagi massanya, merumuskan cita-cita dan mendiskusikan bagaimana mewujudkannya, serta mempraktikan ideologi yang mereka percayai sebagai jalan terbaik pembebasan rakyat. Pemandangan forum-forum diskusi ilmiah di kalangan rakyat jelata di perdesaan, ataupun distribusi bahan-bahan bacaan kritis dari kota ke basis-basis massa di perkampungan, bukanlah hal yang aneh. Maka, tidak heran jika rakyat begitu bangga dan fanatik terhadap parpol yang mereka miliki.
Sementara sekarang, parpol tidak lebih dari merek politik yang heboh menjelang musim politik elektoral. Makna parpol sebagai alat perjuangan semakin luntur. Parpol lebih identik dengan citra buruknya sebagai alat penguasa mewujudkan kehendak individu atau golongannya. Parpol lebih terkenal dengan citra gelapnya sebagai batu loncatan kalangan yang ingin menjadi pejabat. Lebih parahnya, parpol-parpol hari ini tidak melakukan upaya pencerdasan, namun justru melakukan pembodohan terstruktur terhadap rakyat. Itu bisa kita buktikan dengan mengamati realitas praktik parpol di sekitar kita.
Tidak penting bagi mereka (parpol-parpol kini), rakyat paham akan persoalan mendasar bangsa Indonesia. Bahwa kita masih belum merdeka seutuhnya. Bahwa kita masih dijajah oleh hegemoni sistem yang tidak berpihak terhadap rakyat. Rakyat tidak dijelaskan bagaimana yang seharusnya. Apakah sudah sewajarnya kita miskin dan bodoh? Rakyat tidak diberi tahu bagaimana cara mengubah kemiskinan dan kebodohan yang seolah menjadi derita sepanjang masa. Rakyat tidak diperkenalkan pada hak dan kewajiban mereka sebagai manusia dan warga negara.
Untuk menarik minat rakyat, mereka membagi-bagikan kaus, gantungan kunci, payung, dan pernak-pernik lainnya. Dalam upaya memenangi eleksi, mereka banyak memanipulasi kartu pemilih serta statistik suara, membeli suara, hingga mengerahkan massa bayaran untuk menyerang lawan politiknya. Sementara di parlemen, para pejabat yang lahir dari parpol sibuk berebut "kursi", lobi kanan-kiri, suap sana-sini, serta mencari lahan basah untuk mengembalikan modal kampanye yang mereka keluarkan sebelumnya.
Pendidikan Politik.
Pendidikan politik adalah usaha sadar dan tersistematis untuk membuat manusia/warga negara paham akan hak dan kewajibannya sebagai manusia/warga negara. Misalnya hak untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan gratis berkualitas, pelayanan kesehatan berkualitas, pekerjaan layak, memilih dan dipilih, serta masih banyak yang lainnya. Jika dikaitkan dengan parpol, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan parpol tersebut kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia/warga negara.
Semakin liarnya prikehidupan manusia Indonesia hari ini, salah satunya diakibatkan oleh lemahnya pemahaman politik bangsa, disebabkan minimnya pendidikan politik yang didapat. Padahal, pemahaman politik yang tepat sangat diperlukan bangsa ini untuk menjawab segudang persoalan yang sedang dihadapi.
Dari rekaman perjalanan bangsa, tergambar bahwa parpol sempat menorehkan prestasinya dalam upaya pencerdasan bangsa lewat pendidikan politik yang ia berikan. Dengan demikian, pada akhirnya tidak ada yang akan memungkiri bahwa parpol punya andil besar dalam mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan dan menjaga kemerdekaan untuk generasi penerus bangsa.
Lantas pertanyaannya, mungkinkah hari ini parpol yang sejati, yang benar-benar bisa mencerdaskan bangsa lewat pendidikan politik, yang menjadi alat perjuangan rakyat, bisa kembali kita miliki? Jika kita tidak yakin para pemimpin parpol—yang sedang berebut "lahan basah"—akan lekas insaf, kita harus berjuang secara mandiri (tanpa parpol) untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Itu bisa kita mulai dari lingkup keluarga, hingga perjuangan menuntut kebijakan yang berpihak kepada rakyat di jalanan.***
No comments:
Post a Comment