UU BHP, MELANGGAR HAM

Desember dalam kalender masyarakat demokrasi selalu ditandai dan diperingati sebgai Bulan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional—berdasar atas penetapan tanggal 10 Desember sebagai Hari HAM Internasional. Bulan ini seyogyanya dijadikan para pemimpin negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia , sebagai momen untuk merefleksikan capaian negara dalam menjamin hak-hak warganya. Namun sayangnya, di negeri ini HAM hanya sekedar tinta di atas kertas. Pasalnya, pelanggaran demi pelanggaran terus dilakukan (pemimpin) negara terhadap rakyatnya. Di bidang pendidikan, Desember tahun ini telah dinodai pemerintah dengan mengundangkan Rancangan Undang–Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ini adalah bentuk lain pelanggaran HAM, karena mayoritas rakyat terancam kehilangan haknya atas pendidikan.

Seperti yang kita ketahui, Rabu, 17 Desember 2008, Dewan (yang mengatasnamakan) Perwakilan Rakyat (DPR), mengetuk palu sebagai tanda sah Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP). Penolakan berbagai lapisan masyarakat pun tidak bisa dihindarkan. Hampir di semua kota di tanah air meledak unjuk rasa menolak UU BHP. Apa pasal masyarakat menolak, dan apa pasal ini disebut pelanggaran HAM?

Hampir semua pihak yang resisten terhadap UU BHP memiliki kebulatan alasan, bahwa UU BHP bermasalah, baik secara yuridis dan paradigmatis maupun secara praksis. Secara yuridis dan paradigmatis, UU BHP dinilai tidak sejalan dengan cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam UUD 45 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang pendidikan sebagai alat mencerdaskan bangsa, dan negara wajib menjamin hak setiap warganya dalam mendapatkan pendidikan. UU BHP dianggap sarat dengan ide-ide kapitalisme, di mana modal dan persaingan menjadi asas yang dominan dalam setiap pertimbangan. UU BHP membuat pendidikan nasional berpotensi menjadi “komoditas” yang “diperjualbelikan” di pasar bebas. Kewajiban negara untuk menyelanggarakan pendidikan tanpa syarat juga seolah direduksi.

Hal ini misalnya tercermin dalam pasal 41 ayat 7 dan 8. Pada ayat 7 disebutkan, "peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya". Kemudian pada ayat 8 disebutkan, "biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 7, yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) atau Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD), paling banyak sepertiga dari biaya operasional”
.
Bercermin pada BHMN
Berbicara praksis, kita tidak perlu berandai. BHMN bisa kita jadikan pijakan untuk menilai praktek BHP di kemudian hari. Selama ini, prinsip otonomi seolah hanya berlaku untuk urusan pendanaan. Karena pada kenyatanya, pemerintah tetap membelenggu hak PT BHMN untuk menentukan nasibnya, lewat hak suara Mendiknas dalam Majelis Wali Amanat (MWA) yang mencapai 40%. Semakin minimnya anggaran dari pemerintah, juga secara otomatis memaksa PT BHMN untuk menambal kekurangan-kekurangan pendanannya. Misalnya UI hanya mendapatkan kurang dari 10 persen dari total kebutuhannya, yang mencapai 1,4 triliun. Karena kekurangannya itu, UI dan PT BHMN lainnya mencari tambahan dana dengan jalan membuka jurusan-jurusan baru, membuka jalur-jalur penerimaan mahasiswa mandiri, menaikan SPP dan pungutan lainnya, mengkomersilkan fasilitas kampus, dan masih banyak yang lainnya. Inilah yang menjadi latar belakang semakin mahalnya ongkos pendidikan.

BHP dan Pelanggaran HAM
Setidaknya dalam satu dekade terakhir, diskursus HAM terasa semakin meluas di kalangan publik tanah air. Di samping itu, Indonesia juga kemudian dianggap mengalami peningkatan prestasi dalam upaya penegakan HAM, dan puncak prestasi Indonesia dalam bidang ini adalah ketika pada 17 Mei 2007 lalu dipercaya duduk dalam Dewan HAM PBB periode 2007-2010.

Namun walau digadang mengalami perbaikan signifikan dalam upaya penegakan HAM, pada kenyataan di lapangan, tidak nampak capaian usaha nyata dari pemerintah untuk menjamin hak warga negaranya. Di bidang sipil-politik (Sipol), kaus-kasus yang dikategorikan pelanngaran HAM berat, seperti tragerdi ’65, tragedi Talangsari, tragedi Trisakti, dan masih banyak yang lainnya, masih belum terselesaikan. Praktek-praktek pelanggran HAM jenis ini juga masih sering terjadi, misalnya tindak kekerasan aparat keamanan negara terhadap petani, mahasiswa, atau kaum miskin kota. Sementara di bidang ekonomi-sosial-budaya (Ekosob), kasus palnggaran HAM yang tidak terselesaikan, serta praktek pelanggran yang dilakukan aparatus negara frekwensinya jauh lebih tinggi lagi. Hak warga negara di bidang Sipol, salah satunya adalah pendidikan. Masih banyaknya warga negara yang kehilangan haknya atas pendidikan, bisa dijadikan pijakan bahwa negara belum memerankan fungsinnya dengan benar.

Indonesia merupakan negara ke-155 yang meratifikasi Kovenan Hak Sipol dan ke-152 untuk Hak Ekosob. Keduanya disahkan lewat UU No. 11 tahun 2005 dan No. 12 tahun 2005. Dua kovenan inilah yang menjadi acuan tata aturan HAM yang paling populer dan paling luas digunakan di tingkat international.

Kemabli ke soal UU BHP. Dalam dokumen Kovenan Hak Sipol International, diterangkan dalam pasal 13 ayat 1, “Negara mengakui hak setiap orang atas pendidikan...”, ayat 2 poin (c), “Pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semua orang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap”. Di sini sangat terang sekali, bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia, dan negara wajib melinduungi hak warganya atas pendidikan.

Semangat yang terkandung dalam UU BHP tidak sejalan dengan apa yang termaktub dalam Kovenan Hak Sipol Internasional, sebagai acuan penegakan HAM yang telah disepakati negara-negara di dunia, termasuk Indonesia di dalamnya. Semangat yang terkandung dalam UU BHP sangat sarat dengan diskrimanasi. Dalam UU BHP, negara tidak menghormati hak warganya atas pendidikan, dan menarik tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pendidikan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.

Dengan mengkategorikan pengesahan UU BHP sebagai pelanggaran HAM, maka sudah cukup alasan bagi masyarakat untuk menolaknya. Dan aparatus negara seyogyanya menyikapi penolakan ini dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM baru. Dan dengan menimbang betapa pentingnya penegakan HAM di negeri ini, perlu kiranya uapaya bersama untuk membumikan HAM, agar tidak hanya sekedar dokumen, melainkan nilai yang harus dijaga dan ditegakan.***
Share:

No comments: