
Sepakat dengan opini publik yang berkembang, Slumdog Millionair (SM) ibarat diorama peradaban bangsa dan negeri yang kalah dalam persaingan global. Melihat Mumbai dan hiruk-pikuk penghuninya dalam film arahan sutradara Danny Boyle ini, kita diajak untuk membayangkan Jakarta dan merenungkan derita bangsa sendiri.
Di sini ketidakadilan sosial dideskripsikan bukan sekedar sebagai latar romantisme cinta dua remaja pinggiran kota, Jamal Malik (Dev Patel) dan Latika (Freida Pinto), melainkan sebagai tema utama. Sejak awal penonton disuguhi adegan penyiksaan yang dilakukan (oknum) polisi terhadap seorang pemuda miskin tak berpendidikan yang dituduh melakukan kejahatan karena berhasil menjawab hampir semua pertanyaan pada sebuah acara kuis paling populer dan bergengsi di India. Pemuda tersebut tak lain adalah Jamal Malik sang Tokoh Utama. Gambaran ini persis dengan apa yang terjadi di tanah air, di mana aparatur negara merasa sebagai kepanjangan tangan Tuhan yang berhak memberi hukuman dan membuat jera orang-orang yang melanggar norma (hukum). Penyiksaan terhadap Jamal malik membuat kita membayangkan nasib para copet, pencuri motor, atau preman terminal di negeri ini yang sering keluar-masuk bui.
Setiap pertanyaan yang dialamatkan polisi kepada Jamal seputar alasan kenapa Jamal mampu menyelesaikan setiap pertanyaan, dijawab dengan potongan memori perjalanan hidupnya, di mana ia mendapatkan jawaban setiap pertanyaan yang dilayangkan sang Pemandu Kuis Prem Kumar (Anil Kapoor). Serpihan flash back inilah yang menyusun alur cerita.
Dalam film yang diangkat dari novel berjudul Q and A karya Vikas Swarup ini, digambarkan kondisi di mana rendahnya kualitas pendidikan menciptakan karakter masyarakat yang berpikir dangkal dan menganggap kekerasan sebagai cara lumrah untuk menyelesaikan persoalan. Konflik SARA yang masih menjadi ancaman di negari-negari “kalah” juga ditampilkan dalam salah satu flash back dalam film ini, yaitu ketika komplek pemukiman muslim kumuh di mana Jamal kecil dan komunitasnya tinggal diserang sekelompok Hindu bersenjata. Alhasil, ibu Jamal tewas dengan tragis dan mayatnya mengapung di kolam di tengah pemukiman. Kampung di pinggiran kota itu pun musnah dalam kobaran api. Kondisi ini sangat relevan dengan permasalahan SARA kontemporer di negeri kita. Masih segar ingatan kita bagaimana penyerangan kelompok masyarakat Islam yang mengatasnamakan kebenaran mutlak dan suara mayoritas menyerang kelompok-kelompok minor yang dianggap salah tanpa mengikuti prosedur hukum.
Sejak ibunya tewas, maka resmilah Jamal dan kakaknya Salim menjadi yatim-piatu. Kondisi ini membuat hidup mereka tak menentu di tengah belantara megapolitan yang melenggang angkuh tak hirau derita kemanusiaan. Diceritakan kemudian, Jamal, Salim, dan Latika, gadis yang kelak menebar benih-benih asmara di hati Jamal, termakan bujukan sindikat yang mengeksploitasi anak-anak sebagai pengemis dan penjahat. Pemandangan ini juga yang kita jumpai di kota-kota besar kita. Bocah-bocah kumal datang entah dari mana dan pergi entah ke mana. Mereka memadati pusat-pusat keramaian, dan mengumpulkan uang dengan bragam cara, dari mulai mengemis, mengamen, menyemir sepatu, mecopet, dan lain-lain. Banyak tayangan kriminal memberitakan bahwa mereka dikomando oleh suatu sindikat.
Dalam bingkai problema multi-sektor kota megapolitan negeri yang “kalah”, seperti tergambar di atas, SM menyisipkan drama asmara sepasang remaja. Dinarasikan kemudian, dengan semangat mencari Latika, gadis impiannya, Jamal mendaftar sebagai perserta kuis paling populer dan bergengsi di India yang berhadiah 20 juta rupee. Ia melakukannya semata demi cinta, tanpa ada pretensi mencari kekayaan atau popularitas. Mentalitas seperti ini jelas bukanlah paradigma mayoritas masyarakat yang kini tumbuh dengan ide-ide kapitalistik.
Tayangan-tayangan kuis yang sekarang populer di tengah masyarakat dunia, khususnya di negeri-nergeri “kalah” bermakna suatu ilusi tentang perubahan hidup yang lebih baik secara instan. Ini bisa disimpulkan sebagai bentuk keterasingan manusia, di mana mereka tak lagi mengenal hakikat dirinya: yaitu, bahwa mereka harus bekerja dengan kejujuran dan keikhlasan untuk memajukan peradaban manusia. Keterasingan tersebut dikonstruksi oleh sistem yang tidak pernah menghargai dedikasi dan orientasi manusia berkerja. Yang dilihat oleh sistem yang sekarang berkembang hanya seberapa hebat intelegensia dan seberapa kuat tenaga yang bisa ditukarkan manusia dengan uang. Cinta antara Jamal dan Latika merupakan suatu kritik terhadap mentalitas kapitalistik yang sekarang menjangkiti umat manusia, sekaligus juga seruan untuk memperkuat rasa cinta terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kemiskinan Sebagai Wacana
Walau digadang sukses, yang terbukti dengan raihan empat penghargaan di ajang Golden Globe, serta menjuarai kategori film terbaik serta penyutradaraan terbaik pada even Accademy Award, SM baru sebatas menjabarkan fenomena, belum menyentuh pada aspek hakikat dan memberikan solusi yang lebih tersurat. Kemiskinan di sini hadir hanya sebagai wacana. Tidak disinggung kenapa jurang sosial antarmanusia semakin lebar, dan tidak cukup muatan yang memeberikan gambaran solusi apa yang harus ditempuh manusia untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih berkeadilan sosial. Peran negara sebagai institusi yang paling bertangung jawab atas hidup manusia tidak disinggung di film ini.
Namun walau demikian, film-film seperti ini sejatinya lebih cocok untuk kita tonton mengingat relevansinya terhadap problema yang kita hadapi dalam realita sehari-hari. Sudah saatnya kita meninggalkan film-film yang hanya mengumbar aspek naluri hewani manusia, seperti seksualias dan kekerasan.***
Di sini ketidakadilan sosial dideskripsikan bukan sekedar sebagai latar romantisme cinta dua remaja pinggiran kota, Jamal Malik (Dev Patel) dan Latika (Freida Pinto), melainkan sebagai tema utama. Sejak awal penonton disuguhi adegan penyiksaan yang dilakukan (oknum) polisi terhadap seorang pemuda miskin tak berpendidikan yang dituduh melakukan kejahatan karena berhasil menjawab hampir semua pertanyaan pada sebuah acara kuis paling populer dan bergengsi di India. Pemuda tersebut tak lain adalah Jamal Malik sang Tokoh Utama. Gambaran ini persis dengan apa yang terjadi di tanah air, di mana aparatur negara merasa sebagai kepanjangan tangan Tuhan yang berhak memberi hukuman dan membuat jera orang-orang yang melanggar norma (hukum). Penyiksaan terhadap Jamal malik membuat kita membayangkan nasib para copet, pencuri motor, atau preman terminal di negeri ini yang sering keluar-masuk bui.
Setiap pertanyaan yang dialamatkan polisi kepada Jamal seputar alasan kenapa Jamal mampu menyelesaikan setiap pertanyaan, dijawab dengan potongan memori perjalanan hidupnya, di mana ia mendapatkan jawaban setiap pertanyaan yang dilayangkan sang Pemandu Kuis Prem Kumar (Anil Kapoor). Serpihan flash back inilah yang menyusun alur cerita.
Dalam film yang diangkat dari novel berjudul Q and A karya Vikas Swarup ini, digambarkan kondisi di mana rendahnya kualitas pendidikan menciptakan karakter masyarakat yang berpikir dangkal dan menganggap kekerasan sebagai cara lumrah untuk menyelesaikan persoalan. Konflik SARA yang masih menjadi ancaman di negari-negari “kalah” juga ditampilkan dalam salah satu flash back dalam film ini, yaitu ketika komplek pemukiman muslim kumuh di mana Jamal kecil dan komunitasnya tinggal diserang sekelompok Hindu bersenjata. Alhasil, ibu Jamal tewas dengan tragis dan mayatnya mengapung di kolam di tengah pemukiman. Kampung di pinggiran kota itu pun musnah dalam kobaran api. Kondisi ini sangat relevan dengan permasalahan SARA kontemporer di negeri kita. Masih segar ingatan kita bagaimana penyerangan kelompok masyarakat Islam yang mengatasnamakan kebenaran mutlak dan suara mayoritas menyerang kelompok-kelompok minor yang dianggap salah tanpa mengikuti prosedur hukum.
Sejak ibunya tewas, maka resmilah Jamal dan kakaknya Salim menjadi yatim-piatu. Kondisi ini membuat hidup mereka tak menentu di tengah belantara megapolitan yang melenggang angkuh tak hirau derita kemanusiaan. Diceritakan kemudian, Jamal, Salim, dan Latika, gadis yang kelak menebar benih-benih asmara di hati Jamal, termakan bujukan sindikat yang mengeksploitasi anak-anak sebagai pengemis dan penjahat. Pemandangan ini juga yang kita jumpai di kota-kota besar kita. Bocah-bocah kumal datang entah dari mana dan pergi entah ke mana. Mereka memadati pusat-pusat keramaian, dan mengumpulkan uang dengan bragam cara, dari mulai mengemis, mengamen, menyemir sepatu, mecopet, dan lain-lain. Banyak tayangan kriminal memberitakan bahwa mereka dikomando oleh suatu sindikat.
Dalam bingkai problema multi-sektor kota megapolitan negeri yang “kalah”, seperti tergambar di atas, SM menyisipkan drama asmara sepasang remaja. Dinarasikan kemudian, dengan semangat mencari Latika, gadis impiannya, Jamal mendaftar sebagai perserta kuis paling populer dan bergengsi di India yang berhadiah 20 juta rupee. Ia melakukannya semata demi cinta, tanpa ada pretensi mencari kekayaan atau popularitas. Mentalitas seperti ini jelas bukanlah paradigma mayoritas masyarakat yang kini tumbuh dengan ide-ide kapitalistik.
Tayangan-tayangan kuis yang sekarang populer di tengah masyarakat dunia, khususnya di negeri-nergeri “kalah” bermakna suatu ilusi tentang perubahan hidup yang lebih baik secara instan. Ini bisa disimpulkan sebagai bentuk keterasingan manusia, di mana mereka tak lagi mengenal hakikat dirinya: yaitu, bahwa mereka harus bekerja dengan kejujuran dan keikhlasan untuk memajukan peradaban manusia. Keterasingan tersebut dikonstruksi oleh sistem yang tidak pernah menghargai dedikasi dan orientasi manusia berkerja. Yang dilihat oleh sistem yang sekarang berkembang hanya seberapa hebat intelegensia dan seberapa kuat tenaga yang bisa ditukarkan manusia dengan uang. Cinta antara Jamal dan Latika merupakan suatu kritik terhadap mentalitas kapitalistik yang sekarang menjangkiti umat manusia, sekaligus juga seruan untuk memperkuat rasa cinta terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kemiskinan Sebagai Wacana
Walau digadang sukses, yang terbukti dengan raihan empat penghargaan di ajang Golden Globe, serta menjuarai kategori film terbaik serta penyutradaraan terbaik pada even Accademy Award, SM baru sebatas menjabarkan fenomena, belum menyentuh pada aspek hakikat dan memberikan solusi yang lebih tersurat. Kemiskinan di sini hadir hanya sebagai wacana. Tidak disinggung kenapa jurang sosial antarmanusia semakin lebar, dan tidak cukup muatan yang memeberikan gambaran solusi apa yang harus ditempuh manusia untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih berkeadilan sosial. Peran negara sebagai institusi yang paling bertangung jawab atas hidup manusia tidak disinggung di film ini.
Namun walau demikian, film-film seperti ini sejatinya lebih cocok untuk kita tonton mengingat relevansinya terhadap problema yang kita hadapi dalam realita sehari-hari. Sudah saatnya kita meninggalkan film-film yang hanya mengumbar aspek naluri hewani manusia, seperti seksualias dan kekerasan.***
No comments:
Post a Comment