Foto: Langgeng Prima Anggradinata |
Wajah hitam legam dengan sisa-sisa otot kekar di kedua lengannya yang mulai mengeriput, tak bisa menyembunyikan perasaan galau di raut muka Akin, 56 tahun. Petani desa lusuh dengan peluh yang mengembun di dahinya ini adalah satu dari sekitar 500 orang petani yang menyerbu Gedung Sate Bandung, Senin (27/6).
Usianya yang sudah tak muda lagi membuatnya tidak bisa berlama-lama berdiri berdesakan di antara rekan senasib yang menuntut hak atas tanah garapan mereka. Akin pun memilih duduk berteduh di bawah pohon rindang, bersama petani tua lainnya.
Siang yang terik semakin terasa panas dengan teriakan dan orasi beberapa petani yang ikut ambil bagian dalam aksi demo. Mereka menuntut pengakuan atas tanah yang sudah hampir delapan tahun mereka gunakan untuk menanam bermacam sayuran.
Dengan menggunakan 10 truk engkel, mereka meninggalkan lahan garapan yang berlokasi di Sampalan, Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, menuju ke lokasi demo di Gedung Sate. Mereka tidak peduli harus berdiri berdesak-desakan dalam rombongan lebih dari dua jam perjalanan.
"Berangkat diangkut dengan truk seperti sapi, ya tidak apa-apa. Yang penting kami ingin kejelasan nasib, ketemu dengan Gubernur," ujar Akin.
Akin mengaku sudah hampir delapan tahun menggarap sejengkal lahan milik BUMD Provinsi Jabar, Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan (PDAP). Lahan milik PDAP yang selama ini digarap petani cukup luas, sekitar 134 hektare, namun harus dibagi dengan sekitar 500 orang petani penggarap.
"Sudah hampir delapan tahun menanam kentang, caisin, engkol, wortel. Namun tidak ada kejelasan, kapan kami mendapatkan lahan secara resmi," kata dia.
Harapan Akin dan rekan petani lainnya muncul karena sebelumnya mereka dijanjikan akan diberikan sertifikat tanah garapan, resmi oleh Pemprov Jabar. Namun sejak Maret 2011, mereka malah mendapatkan kabar sebaliknya. Mereka harus meninggalkan lahan garapan yang selama ini menjadi topangan hidup.
"Terus terang kami kecewa. Batal menjadi milik saja sudah sangat kecewa, ini malahan diusir. Kami nanti mendapatkan penghasilan dari mana? Tolong jangan diusir, tidak dapat tanah juga tidak apa-apa, tapi biarkan kami terus menggarap lahannya," ujar bapak lima anak dan delapan cucu ini.
Ratusan petani penggarap tersebut menyatakan akan tetap bertahan meski harus menghadapi tekanan dari pihak PDAP. Mereka menyatakan bertahan karena PDAP sendiri posisinya semakin tidak jelas setelah Pemprov Jabar berencana melikuidasi perusahaan daerah ini karena terus merugi.
Para petani sendiri sejak 2006 telah mencoba melakukan legalisasi atas tanah garapan tersebut berdasarkan UU Pokok Agraria tahun 1960. Namun, belum ada respons dari pemerintah. “Tolong perhatikan kami petani kecil, jangan diintimidasi apalagi diusir. Mau bertani di mana lagi, tanah sudah tidak ada,” tambah Akin.
September nanti, UU Pokok Agraria sudah berusia 51 tahun namun nasib petani di Indonesia tetap dalam keadaan terpuruk. Kepemilikan lahan semakin sempit, rata-rata 0,3 hektare ditambah dengan jatuhnya harga-harga di saat panen, menjadikan petani hidup dalam keadaan tidak layak.
Berbagai usaha petani untuk mendapatkan hak atas tanah sering berhadapan dengan kriminalisasi. Data BPS menunjukkan, luas lahan pertanian padi di Indonesia hingga tahun 2010 tersisa 12,87 juta hektare, menyusut 0,1 persen dari tahun sebelumnya. n teguh/N-1.
No comments:
Post a Comment