Di negeri yang konon dipuji sebagai salah satu keberhasilan demokrasi ini, adalah ironi jika kepentingan mayoritas tidak lagi menjadi prioritas. Itulah kondisi yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia yang tidak pernah merasakan kemerdekaan atas tanah dan, lebih parah, harus menghadapi sakitnya kekerasan yang dilakukan oleh negara. Sebagai bukti, mari kita tengok persoalan petani di Pangalengan.
Tercatat sejak akhir tahun 1970-an, Pemrov Jabar menyewakan tanah seluas 134 hektar kepada PD Kertasari Mamin-Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan (PDAP), sebuah perusahaan BUMD milik Pemrov Jabar. Sayangnya, perusahaan ini tidak mengalami kemajuan. Pada perkembangannya, hanya 1 hektar saja yang dimanfaatkan secara langsung, sementara sisanya disewakan kepada sejumlah tuan tanah lokal. Praktis, bukannya memberikan manfaat, perusahaan yang bekerjasama dengan para tuan tanah ini telah menciptakan kondisi yang sulit bagi warga karena memkasa mereka bekerja sebagai buruh tani dengan upah yang sangat rendah.
Pada tahun 2003, keadaan inilah yang mendorong warga untuk menggalang solidaritas sesama mereka dengan mendirikan perkumpulan bernama Forum Tani Pangalengan (FTP) yang kemudian mengintegrasikan diri kedalam organisasi Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Didorong oleh faktor perkembangan kesadaran mereka akan hak ekonomi dan politik, kelompok ini kemudian menduduki beberapa bidang tanah yang diterlantarkan oleh pihak perusahaan. Usaha mereka untuk mendapatkan kesejahteraan (yang tidak pernah diberikan negara) dengan jalan memanfaatkan lahan terlantar di sekitar mereka ibarat gayung bersambut karena dihadapkan pada situasi kolepsnya PD. Kertasai Mamin-PDAP. Akhirnya, setelah mengalami berbagai intimidasi, seperti teror preman dan perusakan tanaman dengan menggunakan alat berat, tidak ada yang sanggup membendung kehendak 1500-an warga tak bertanah dari empat desa di Pangalengan untuk bercocok tanam, menyambung hidup di kawasan tersebut.
Sialnya, alih-alih menyukuri keadaan bahwa warga telah mampu mengembangkan perekonomiannya secara mandiri, Pemprov Jabar, PD. Kertasari Mamin-PDAP, dan sejumlah pihak lainnya yang berkepentingan, selama bertahun-tahun terus berupaya mengambil alih kembali tanah yang sudah menjadi bagian dari “nyawa” petani tersebut, bahkan dengan cara-cara yang represif. Tak terhitung lagi berbagai bentuk intimidasi yang dihadapi petani di sana.
Dalam perkembangannya, setelah gagal mengandalkan para preman, kali ini kelompok antipetani tersebut menggunakan kekuatan aparat keamanan untuk melakukan penekanan dengan jalan melakukan praktik kriminalisasi terhadap pimpinan AGRA Pangalengan Sutarman. Sudah dua kali yang bersangkutan mendapatkan surat pemanggilan dari pihak kepolisian Resor Bandung sebagai respon atas laporan Otoritas Direksi PDAP Asep Sunarya. Dalam surat kedua yang bernomor S.Pgl/1142/V/2011/Reskrim, disebutkan bahwa Sutarman dipanggil sebagai saksi dalam perkara dugaan penguasaan tanah tanpa hak sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP atau Pasal 6 Perpu No. 51 tahun 1960. Kendati masih berstatus sebagai saksi, sangat kuat indikasi yang bersangkutan akan dijadikan sebagai tersangka dalam kasus yang dialamatkan.
Atas dasar di atas, kami Front Perjuangan Rakyat (FPR) Bandung menyatakan sikap dan menuntut:
- Cabutut laporan atas Sutarman!
- Berikan legalisasi atas lahan sengketa yang digarap petani Pangalengan!
- Hentikan monopoli dan perampasan tanah!
- Hentikan kekerasan terhadap kaum tani!
- Laksanakan reforma agraria sejati!
Demikian surat pernytaan sikap kami,
Bandung, 4 Juni 2011
Andi Nurroni
Koordinator FPR Bandung
Nb.: Untuk memberikan testimoni solidaritas, silakan menghubungi pimpinan AGRA Pangalengan Sutarman di nomor 0857-952-2124-52.
No comments:
Post a Comment